G30S: Gerakan Penciptaan Dua Hantu

Editorial Omong-Omong

2 min read

Hari ini, 30 September, Indonesia akan mengingat dua gerakan yang telah dan akan memengaruhi perjalanan bangsa ini ke depan. Keduanya adalah gerakan menciptakan hantu untuk menakut-nakuti masyarakat supaya kelompok penguasa dapat mengonsolidasikan kekuatan dan melanggengkan kekuasaan mereka.

Sama-sama terjadi di akhir September, sebut saja kedua gerakan itu G30S. G30S yang pertama adalah gerakan pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto pada 1965 yang menciptakan hantu besar bernama komunisme.  Sementara G30S yang kedua adalah gerakan penciptaan hantu radikalisme yang  berujung pada pemecatan 58 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandang oleh masyarakat sebagai pegawai yang jujur, loyal, bekerja dengan baik dan tidak bisa disuap atau ditakut-takuti.

Gerakan 30 September 1965 yang kemudian oleh Soeharto ditambahkan kata PKI menjadi yang kita kenal sebagai G30S/PKI  menjadi dasar berkuasanya Soeharto dan rezim militer Orde Barunya selama 32 tahun sebelum runtuh pada 1998. Peristiwa tanggal 30 September 1965 tersebut merupakan legitimasi bahwa Soeharto adalah penyelamat bangsa sehingga layak mendapat mandat sebagai presiden.

Tetapi penyelamat dari bahaya apa? Maka dibuatlah hantu PKI ini dan disembelihlah setidaknya setengah juta orang hanya untuk membuktikan bahwa bahaya itu nyata.

Siapa yang membunuh para jenderal? PKI. Siapa yang berniat kudeta dan melengserkan Soekarno? PKI. Siapa yang berniat mengubah Indonesia menjadi negara komunis? PKI. PKI itu komunis. Komunis itu apa? Orang kaifir yang tidak percaya kepada agama dan Tuhan.

Siapa penyelamat dari bencana yang sedemikian besar ini? Soeharto

Dengan pengciptaan narasi seperti ini tentu saja masyarakat Indonesia, terutama kelompok agama, pada waktu itu menyerahkan bulat-bulat diri mereka ke dalam tangan Soeharto.

Indoktrinasi Orde Baru yang sedemikian kuat terus bertahan hingga hari ini  – 23 tahun lebih setelah rezim pimpinan Soeharto runtuh. Ini terlihat dari propaganda dan mentalitas Orba yang masih berkuasa dan terus dipelihara oleh kelompok-kelompok dan orang-orang yang dulu menjadi pendukungnya, termasuk generasi yang lebih muda yang hari ini turut jadi bagian kekuasaan termasuk yang  menguasai berbagai sumber daya negara dan swasta.

Lihat saja bagaimana setiap bulan September tuduhan “disusupi PKI” marak dikemukakan. Bahkan mantan panglima TNI, Gatot Nurmantyo baru-baru ini menuduh TNI telah disusupi PKI. Labelisasi PKI masih terus digunakan hingga hari ini sebagai senjata politik; untuk meraup simpati sekaligus untuk mengobarkan kebencian dalam masyarakat.

Pemutaran film “Pengkhiatan G30S PKI”  oleh setidaknya tiga stasiun TV nasional serta terbelahnya pandangan masyarakat tentang film dan kontroversi apakah film ini layak diputar kembali setiap tahun juga menunjukkan betapa kebohongan rezim Orde Baru masih kuat melekat dan menguasai pikiran banyak kalangan di masyarakat. Tentu pemutaran film ini menjadi hak sepenuhnya dari stasiun TV tetapi pihak televisi juga harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa film ini adalah fiksi dan bukan fakta sejarah yang selama ini banyak diklaim oleh beberapa kelompok masyarakat, terutama pihak militer dan beberapa kelompok Islam.

Para sejarawan yang punya kredibilitas tinggi umumnya sepakat bahwa film ini adalah film propaganda Orde Baru dan di dalamnya penuh dengan pembelokan fakta sejarah dengan tujuan menguatkan posisi Partai Komunis Indonesia sebagai hantu yang harus dibasmi dan musuh bersama bangsa Indonesia.

Pertanyaannya, jika film ini hanya propaganda Orde Baru dan demikian banyak berisi kebohongan, mengapa film ini terus diputar setiap tahun? Bukankah dengan demikian keputusan memutar film ini sama saja dengan melanggengkan kebohongan dan penipuan kepada masyarakat, terutama kepada generasi muda?

Terus diputarnya film ini dengan pemaknaan bahwa film tersebut adalah sejarah yang benar menunjukkan pentingnya bagi bangsa ini untuk segera menulis sejarah baru tahun 1965-1966 berdasarkan bukti-bukti baru yang telah ditemukan. Narasi sejarah baru inilah yang harus segera diajarkan di bangku sekolah dan disiarkan di berbagai media.  Untuk menjadi bangsa yang besar, Indonesia tidak mungkin membiarkan sejarahnya diselimuti kebohongan yang selamanya akan menjadi penghalang bangsa untuk bersatu dan maju.

G30S/TWK

Gerakan kedua yang menggunakan pola yang kurang lebih mirip adalah gerakan penciptaan hantu radikalisme yang mewujud dalam bentuk Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berujung pada pemecatan 58 pegawai KPK.

Di dalam TWK banyak terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menjebak dan hanya untuk memojokkan, dan bukan untuk mengetahui apakah seseorang loyal, jujur dan patriotis.

Pemecatan 58 orang yang terkena hantu radikalisme ini seterusnya bisa menjadi dasar dan preseden bagi tindakan-tindakan lain untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap berbahaya, kritis dan tidak bisa disuap.

Penciptaan hantu radikalisme untuk menakut-nakuti ini sudah mulai terlihat di mana-mana.Lihat saja bagaimana narasi yang sengaja dibangun pihak-pihak tertentu bahwa Indonesia sudah disusupi Taliban, bahwa Indonesia sebentar lagi akan ditalibankan. Label radikal dengan mudah dilekatkan pada siapa pun yang berbeda, yang hanya berdasarkan hal-hal fisik semata; celana cingkrang, jenggot, atau santri yang menutup telinga karena tak mau mendengar musik.

Ironi terbesarnya adalah ketika ada orang, kelompok, atau elite partai tertentu yang marah dan menolak dituduh PKI, kini justru menuduh pihak lain sebagai Taliban. Dua tuduhan yang semakin membuat masyarakat terbelah, terjebak pada halusinasi dan ketakutan yang tak berdasar, dan yang paling berbahaya adalah bagaimana tuduhan itu sama-sama dipakai untuk menyingkirkan orang.

Hari ini kita bangun dengan dua hantu yang membayangi kita, dan pada hari-hari nanti, jangan-jangan kita yang akan menjadi korban hantu-hantu itu.

Editorial Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email