Homofictus

Fana

Ikhsan Muhammad

5 min read

CINCIN emas yang melingkar di jari manisnya itu adalah satu-satunya alasan mengapa Fana tak lekas mengakhiri hidupnya. Pada satu hari yang membosankan, dengan penuh rasa bangga ia mengungkapkan detail peristiwa bagaimana cincin emas itu bisa terpasang di salah satu jari telapak kanannya, berdiam di sana, dan berniat tak akan pernah ia lepaskan—bahkan jika jarinya itu harus dipotong.

“Rey memasangkan cincin ini ketika kami sedang bercinta!!! Rey bilang dia mau menikah denganku. Dia melamarku. Dia melamarku!!!”

“Lalu … ?” responsku datar.

Aku masih mengingat dirinya semasa kuliah yang pernah berikrar tak akan menikah dengan siapa pun. Kedua orangtuanya telah memberikan contoh baginya bahwa pernikahan adalah hal paling konyol yang pernah dilakukan umat manusia. Dahulu aku sangat mengagumi sikap rebelisnya itu, tapi lihatlah dirinya sekarang, seorang laki-laki melamarnya dengan cincin emas saat tengah berkopulasi dan ia pun mabuk kepayang.

Sesungguhnya aku agak cemburu, sebab itu sebuah tanda bahwa Fana betul-betul mencintai lelaki itu.

“Aku terharu. He-he-he,” jawabnya sambil lekat-lekat memandangi cincin emas yang berkilau-kilau di jari manis telapak kanannya itu.

Namun dunia ini, selain dipenuhi cerita membosankan—seperti dilamar kekasih ketika sedang bersanggama—ada pula cerita tragis: Fana batal menikah lantaran kekasihnya mati dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Kepala kekasihnya yang tak mengenakan helm pecah berhamburan di aspal jalan, terlindas truk karena diduga si supir mengantuk. Fana memang tak melihat peristiwa menyakitkan itu secara langsung, seorang teman di lokasi kejadian mengabarkan berita buruk itu kepadanya.

Kenyataan pahit membuat jiwanya terguncang. Selepas kejadian memilukan itu, Fana mengurung dirinya di kamar, kurasa selama sebulan lebih. Ia yang periang jadi pendiam. Matanya yang penuh cahaya semangat berubah layu dan suram.

Setiap hari di depan jendela kamarnya yang sedikit terbuka, para tetangga melihat Fana melamun dengan wajah murung sambil memandangi cincin di jarinya. Terkadang mereka mendengar ia tertawa dengan nyaring persis orang sinting. Orang-orang yang melihat itu mengatakan mungkin saja ia jadi gila.

Aku tak tahu bagaimana rasanya ditinggal mati orang yang dicintai, beberapa kerabatku meninggal dunia dan aku masih baik-baik saja. Kucing peliharaan yang aku rawat sejak kecil mati, kukubur di halaman belakang kosku, dan itu sempat membuatku sedih juga. Adakah kesedihannya dan kesedihanku bisa dibandingkan? Adakah alat ukur bagi penderitaan?

Sejak kedua orangtuanya bercerai, Fana memang tinggal sendirian, tak ada saudara lantaran ia anak satu-satunya, yang ada hanya sepupu yang tak begitu peduli padanya. Aku sesekali datang berkunjung ke rumahnya, dan secara berangsur-angsur menjadi kegiatan rutin.

Aku akan datang membawakannya banyak makanan yang ia gemari sebagai alasan. Sudah sejak lama aku tahu Fana malas memasak dan sepengalamanku orang yang tengah bersedih memang kebanyakan tak berselera makan. Ah, itu semua adalah alibi yang kukarang saja, tujuanku sebenarnya adalah berjaga-jaga, kalau-kalau ia akan melakukan sesuatu yang tak seharusnya, siapa tahu? Pribadinya yang kerap tak tertebak menjadikan aku agak risau.

*

Suatu hari pada kunjunganku yang kesekian kali, Fana bilang padaku bahwa kekasihnya tak mati. Kekasihnya selalu bersamanya di mana pun ia berada, termasuk di kamar tempat ia mengurung diri. Ia merasa tak pernah sendirian. Agak seram mendengar perkataan itu darinya, tetapi sebagai teman yang baik aku memaklumi. Orang yang tengah bersedih suka berfantasi aneh-aneh. Tentu saja ia merasa tak pernah sendirian, ada aku yang selalu di sini menemaninya.

Kamar tempat Fana mengurung diri sontak jadi rumah kedua bagiku. Kami menjalani kehidupan seperti biasa, sewajarnya. Ia selalu bisa bebas mengobrol denganku tentang apa saja. Aku selalu setia mendengarkannya tanpa intrupsi. Kadang kudapati ia hanya melamun dan tak melakukan apa pun, jika kutanya ia sekadar memberikan aku tatapan kosong, seolah pertanyaan dan keberadaanku bukanlah hal penting. Kadang kami berbagi ranjang sembari sesekali bercerita dan tak sengaja tertidur bersama. Kadang aku menggunakan kamar mandi di kamarnya, dan ia telah biasa mendapatiku dalam keadaan telanjang dada.

Ia bahkan pernah menemukanku tengah masturbasi di kamar mandi, saat ia tergesa masuk untuk mengambil bedaknya yang ketinggalan. Aku memang tak pernah mengunci pintu, tak ada yang harus kujaga darinya, tak pula merasa terganggu sebab telah sejak lama aku mencintainya. Fana juga tak merasa risih atau protes sebab kupikir ia tak mencintaiku.

*

Hingga suatu hari … kami bercinta. Hal itu terjadi begitu saja. Memang terasa konyol saat coba kuceritakan.

Aku terjatuh dari tangga saat mengganti bohlam kamarnya yang redup. Seingatku, aku jatuh ke sisi ranjangnya dan menyebabkan kakiku cedera. Fana membantu aku berbaring dan mengoleskan salep pada lutut kiriku yang memar. Kurasa … dalam nuansa yang tak sepenuhnya aku sadari, Fana mencium bibirku, aku membalas ciumannya. Dan begitu saja, tahu-tahu kami sudah berbaring di ranjang dalam keadaan telanjang.

Seusai kami bercinta, Fana seperti tersadar akan sesuatu dan bilang bahwa ia menyesal. Tak seharusnya kami melakukan itu. Tak seharusnya ia mengkhianati kekasihnya, sebab mereka akan menikah, katanya. Aku tak mengerti, tetapi kucoba memahami situasi yang terjadi di antara kami.

Mungkin ia bingung. Mungkin aku membuatnya bingung. Walau jujur, ia juga membuatku tak habis pikir dengan mengatakan bahwa ia telah mengkhianati kekasihnya sehingga kekasihnya kini sakit hati dan kecewa melihat kami. Dalam benakku, aku bertanya-tanya: bagaimana seseorang yang sudah mati tetap bisa merasa kecewa dan sakit hati?

Setelah itu Fana seperti menjaga jarak. Ia bilang tak bisa menemui aku lagi. Saat kutanya apa alasannya, ia sendiri tak mengerti, tak mampu menjelaskan. Katanya dengan nada canggung, ada sesuatu di antara kami yang tak bisa ia terima. Meskipun kami sudah tidur bersama? Barangkali itulah alasan yang sebenarnya, sebab seharusnya kami hanya berteman, bukan berciuman.

Sejujurnya saat mendengar pengakuannya itu, aku merasakan sakit di ulu dadaku dan tak mampu berbuat apa-apa selain menuruti kemauannya. Adakah ia menyadari orang yang masih hidup sepertiku yang selayaknya bisa merasa kecewa dan sakit hati?

*

Pada akhirnya aku harus melanjutkan kehidupanku. Sudah sering kudengar petuah bahwa waktu akan menyembuhkan luka, entah dengan cara apa. Dan jujur harus kuakui aku tak mengerti apa yang mesti kulakukan sekarang, sekalipun aku punya seluruh waktu di dunia untuk merenungkan segalanya, aku masih tak mengerti apa yang telah terjadi di antara aku dan Fana. Ada penyesalan, ada amarah, dan yang lebih aneh adalah kecemburuanku terhadap orang yang sudah mati. Dan rasa bersalah terhadapnya karena baginya kami tidak bisa lebih dari sekadar teman. Perasaan janggal terus memenuhi batinku, membuatku tak bisa tidur, tak berselera makan, dan seolah telah dibuang.

Kuupayakan berbagai cara melupakannya, termasuk berkencan dengan beberapa wanita. Di lain waktu bersama rutinitas-rutinitas hidupku, dari orangtuaku kudapati kabar adik laki-lakiku kabur dari rumah. Orangtuaku mengetahui kalau dia gay dan itu membuat mereka frustrasi. Aku tak sempat memperhatikannya karena aku sibuk dengan urusan-urusanku. Kupikir jika dia gay dan kabur dari rumah, maka biarlah itu jadi masalahnya. Aku pun punya masalah asmaraku sendiri.

Waktu berjalan bersama segala upayaku untuk tak memikirkannya. Aku bahkan mengikuti sebuh klub buku dan di sana aku bertemu dengan pacar baruku. Di antara kesibukanku untuk melupakannya, kudapati  kabar Fana menggantung diri dalam kamarnya dengan tali. Desas-desus tentang penyebab kematiannya menguar seperti bangkai busuk ke tiap-tiap orang yang mengenal dirinya hingga sampai kepadaku. Betapa rapuh nyawa manusia, orang yang kita cintai bisa mati dengan mudahnya.

Oleh kerabatnya, rumah miliknya pun dijual. Keputusan menjual rumahnya barangkali bukan keputusan sulit. Tak lama oleh pemilik kedua rumah itu dijual kembali. Dan tanpa pikir panjang aku membelinya dengan harga lumayan murah sebab pemilik kedua sedang sangat membutuhkan uang dan dia bercerita tentang usahanya yang mendadak bangkrut sejak tinggal di rumah itu.

Aku membawa pacarku ikut serta menempati rumah itu. Mengetahui riwayat rumah itu, awalnya pacarku menolak, dengan berdalih betah dengan rumah kami yang sebelumnya, meski kecil dan tetangga sering membuat kami merasa tak nyaman.

Pada satu malam saat kami bercinta, di waktu-waktu orgasme aku menyebut nama Fana dan membuat pacarku marah. Meski kemarahannya mereda kala aku meminta maaf, tetapi harus kuakui hubungan kami tak berjalan baik, kendati dia adalah wanita paling sempurna yang pernah kukenal. Tapi apa makna kesempurnaan yang ia miliki jika nyatanya hubungan kami jauh dari kata berhasil? Apa yang bisa kulakukan?

Hingga akhirnya pacarku menyerah, dan memutuskan hubungannya denganku sebab merasa semenjak menempati rumah itu aku semakin menyerupai makhluk lain, pacarku bilang aku seperti alien.

Di hari pacarku pergi membawa semua barang-barangnya, dia menyarankanku untuk memeriksakan kondisi kejiwaanku. Permintaannya itu terdengar tulus meski kutahu dia tak mampu menyembunyikan kemarahannya. Bagaimana harus kujelaskan tentang perasaanku? Jika aku pun tak mampu melukiskan apa yang kurasakan di sebuah kanvas, barangkali yang bisa dia lihat hanya berupa coretan-coretan abstrak menyedihkan yang aku sendiri tak sepenuhnya mengerti.

*

Kutatap langit biru yang cerah tak berawan saat keluar dari bangsal psikiatri. Sepuluh kali sesi pertemuan, diberikan padaku obat-obat untuk aku tidur nyenyak. Kemudian aku membayar, lalu aku pulang. Kau tahu, aku masih sulit tidur, di halaman belakang kos aku menatapi makam kucingku dan kupikir kegiatan itu membuatku merasa damai, meski mimpi buruk yang coba kuhindari masih kerap berulang.

Sebuah mimpi tentang wajah Fana yang menyaru menjadi cincin emas di jari manisnya. Mimpi itu terus membawa aku kembali ke kamarnya yang sudah tak kutempati lagi. Ketika membuka mata dan mengembuskan napas di pagi hari, sisa dari bayangan dalam mimpi itu akan mengingatkan aku pada rasa bersalah. Bersalah karena tak mampu menyelamatkannya. Bersalah karena telah mencintainya.

Aku bertanya-tanya apakah Fana masih akan tetap hidup jika di hari itu kami tak bercinta? Apakah ia tak akan menggantung lehernya dengan tali jika aku menyarankan ia memeriksakan kondisinya ke psikiater alih-alih bertindak seolah-olah keberadaanku akan membuatnya merasa cukup? Aku membenci diriku sendiri karena semua pengandaian itu.

Pelan-pelan, aku menyadari sesuatu setelah Fana tiada. Tatkala aku teringat padanya, tak ada kenangan apa pun yang bisa kujadikan pegangan lagi, seolah aku berjalan di atas seutas tambang dan langkah kakiku menjadi gamang.

*

Aku duduk di kursi kamar kosku hanya dengan celana dalam, membayangkan wajah Fana yang kian hari kian samar, menyaru dalam sewujud bayangan ganjil; sebuah cincin. Di penghujung hari, aku mandi, lalu mendapat kabar dari orangtuaku jika adik laki-lakiku belum juga pulang. Aku mendengus, pergi tidur, dan bermimpi.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ikhsan Muhammad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email