Aku tak membenci bapakku, tetapi aku juga tak menyayanginya. Perasaanku terhadap bapakku kelabu. Aku tak pernah bisa memilah hitam-putih perasaanku padanya. Bahkan sampai detik kudengar kabar bapak meninggal, perasaanku masih saja kelabu. Aku sama sekali tak lega dan tak berduka. Aku tak merasakan apa-apa. Bapak dan kematiannya bagiku sama-sama hambar. Apakah rasa seorang bapak itu memang tawar? Atau hanya bapakku saja yang rasanya tawar?
Kabar kematian bapak tiba ketika aku tengah terbaring menyamping sambil didekap seseorang. Kulihat ponselku menyala juga kudengar itu bergetar. Namun, aku tak segera menggapainya. Aku masih mengatur napasku yang sebelumnya memburu, sambil kurasakan beban tangan seorang pria menghangatkan tubuhku. Kudengar napas pria itu sesekali bersahutan dengan napasku di sela keremangan kamar apartemen miliknya. Lalu, napas kami menjadi lembut, tenang, dan seirama.
Aku begitu meresapi hangatnya napas sang pria yang berembus seperti membelai-belai tengkukku. Hangat.
Dari sela kehangatan itu, aku mulai mempunyai niat untuk meraih ponselku di nakas. Aku berangsur merentangkan tanganku demi meraihnya. Kulakukan hal itu dengan hati-hati agar dekapan pria di sampingku tak sampai luruh. Aku ingin kehangatannya tak hilang.
Lantas kulihat layar ponselku. Kugulir layarnya sesekali. Belasan panggilan tak terjawab. Puluhan teks. Salah satunya kubaca, bapak telah meninggal dunia.
Aku tak merasakan apa-apa setelah membaca teks itu. Kuletakkan kembali ponselku di nakas. Aku beranjak bangun. Dekapan pria di sampingku luruh. Aku meniti beberapa langkah. Kutekan sakelar di dinding. Aku terbenam di dalam kamar mandi. Aku menatap wajahku sendiri di cermin. Tak ada mata yang berkaca-kaca. Tak ada juga air mengaliri kedua pipiku.
Aku kembali berbaring di ranjang setelah membasuh muka dan mematikan lampu kamar mandi. Kutatap langit-langit apartemen sembari berusaha bersedih, tetapi aku selalu gagal. Apakah aku bahagia? Kurasa tidak. Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Barangkali, aku bahkan memang tak merasakan apa-apa.
Aku mengalihkan tatapanku. Kupandang pria di sampingku seraya tubuhku kubuat mendekat ke arahnya. Saat itu, ia hanya berpakaian selimut sedangkan aku hanya mengenakan sehelai gelapnya malam. Aku menyusup ke dalam selimut pria itu kemudian kudekap tubuh tegapnya yang selalu kudamba. Ia membalas dekapanku segera.
Sudah tiga hari aku menumpang tinggal di apartemennya. Sudah tiga hari pula aku selalu didekapnya bilamana kami terlelap. Ia selalu memberikanku kehangatan dan ketenangan, meskipun aku masih asing baginya. Juga sebetulnya, ia masih asing bagiku. Namun, sungguh tak sulit untuk mengakrabi kehangatan dekapannya.
Apakah seperti itu pula rasa dekapan bapak? Aku tak tahu. Tak akan pernah tahu.
*
Sudah sepuluh hari aku kabur dari rumah. Aku menetap di apartemen milik kenalanku dari aplikasi kencan. Ia tiga belas tahun lebih tua dariku. Meskipun baru beberapa bulan berkenalan, pria itu sudah banyak tahu tentang permasalahan hidupku. Termasuk tentang hubunganku yang beku dengan bapakku sendiri.
“Kamu mesti pulang. Bagaimanapun ia bapakmu. Setelah itu, kamu bisa kembali padaku kapan pun kamu mau. Kamu boleh tinggal di sini sembari mencari pekerjaan yang cocok untukmu.”
“Bapakku sudah meninggal seminggu yang lalu.”
“Pikirkan juga tentang ibumu. Ia mungkin ingin kamu pulang.”
Pria itu tak sepenuhnya tahu permasalahanku. Aku tak pernah memberi tahu alasanku kabur yang sebenarnya. Padanya, kubilang aku pergi dari rumah untuk merasakan suasana baru. Padahal, aku kabur karena ibu dan bapakku. Pertengkaran mereka selalu berakhir menyudutkanku.
Bapak sudah tak bekerja. Ibu masih membutuhkan uang untuk makan keluarga kami sehari-hari. Karena itu, mereka sering cekcok. Imbasnya aku selalu ditanyai oleh ibu kapan akan segera bekerja. Oleh bapak, aku tak pernah ditanya apa-apa. Hanya bagaimana cara bapak melihatku selalu di sana tergambar bahwa aku ini adalah wujud kegagalan.
Tak sekali bapak menganggapku begitu. Bapak sudah menganggapku gagal bahkan sejak aku lahir. Bapak selalu menginginkan bayi perempuan, tetapi ia tak mendapatkannya. Aku selalu mengingat kalimat apa yang bapak katakan ketika pertama kali ia tahu aku bukan perempuan. Kata bapak, aku akan menjadi lawan berkelahi abangku sendiri. Aku mendengar kisah itu dari ibu. Aku tak akan pernah bisa melupakannya.
Bayang-bayang kegagalanku karena tak menjadi seorang perempuan selalu menghantui masa kecilku. Waktu itu aku mendambakan perhatian bapak, tetapi ia tak pernah memberikannya. Aku tak mampu mengingat satu pun kenangan indah bersama bapakku karena memang itu tak pernah ada.
Ada satu kenangan pahit yang akan selamanya aku ingat. Saat itu, aku belum genap umur lima tahun. Aku diam-diam mengenakan gaun milik teman perempuanku di kamarnya ketika kami bermain. Lalu, aku melihat diriku sendiri di cermin dengan gaun itu sembari berputar-putar sesekali.
Jika aku mampu kembali ke masa itu, aku akan memeluk diriku sendiri yang masih kecil. Sebelumnya, kusuruh diriku sendiri untuk menanggalkan gaun itu. Aku mendekapnya dengan erat kemudian aku akan menyuruhnya menghadap cermin. Kubilang padanya, kamu tak perlu menjadi seseorang yang bukan kamu—hanya demi bapak. Setelah itu, aku akan kembali mendekapku. Aku akan menjadi bapak bagi diriku sendiri.
Selama aku hidup, aku tumbuh sendiri tak dipandu oleh bapak. Aku belajar sendiri apa yang sebaiknya tak dilakukan oleh mereka yang bukan perempuan. Juga apa yang mesti dilakukan. Termasuk menanggalkan gaun itu.
*
Hari ini, aku memutuskan pulang. Tepat seminggu setelah bapak meninggal. Setelah pria kenalanku menyinggung bahwa ibu menginginkanku ada di sampingnya.
Tatkala aku tiba di rumah sederhana milik kedua orang tuaku, satu per satu bapak-bapak bersarung dan berpeci keluar melalui pintu depan. Aku mematung menunggu mereka sepenuhnya keluar. Meskipun saat itu aku menunduk, aku mampu melihat bahwa tatapan mereka mengajukan pertanyaan yang sama. Mengapa anak ini baru kembali?
Kukira, aku akan mendapatkan pertanyaan yang sama begitu aku masuk ke dalam rumah. Pertanyaan itu tak pernah muncul. Aku justru mendapatkan pukulan tepat di hidungku dari kepal tangan abangku sendiri. Tubuh kurus jangkungku terhuyung sebelum akhirnya terjatuh.
Aku segera bangkit seraya mengepalkan tanganku. Aku hendak membalas pukulan abangku. Namun, aku urung ketika ibu menghambur memeluk tubuhku sambil berkata, “Sudah! Sudah!”
Kulihat wajah abangku merah padam. Kedua tangannya juga masih mengepal. Meski besar tubuh abangku dua kali dari tubuhku, aku tetap akan melawannya jika ia memukulku lagi. Bapak akan senang sekali jika aku dan abangku berkelahi.
Namun, abangku tak kunjung juga bergerak. Ia malah berdeham lalu berkata, “Percuma bapak banting tulang menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi, jika kamu tak punya adab.”
Abangku berpaling meninggalkanku dan ibu. Aku menatap punggung abangku dengan penuh amarah. Aku selalu membenci abangku sendiri. Aku iri sebab ia mendapatkan perhatian dan kasih sayang bapak sementara aku tidak. Banyak sekali mainan sisa abangku yang turun padaku tetapi aku tak pernah dibelikan baru. Abangku punya sepedanya sendiri sedangkan aku tidak.
Aku iri sebab abangku mendapatkan kenangan-kenangan indah bersama bapak!
*
Saat ibu membersihkan lukaku di tikar tempat tahlil sore itu, aku meluapkan kebencianku pada abangku dengan cara mengutuknya.
“Abang itu egois! Abang tak mampu berbalas budi kepada keluarga ini, padahal bapak begitu menyayangimu waktu abang kecil! Dulu, meski abang sudah bekerja, abang tak pernah berniat memperbaiki rumah. Abang juga lebih memilih menikah daripada membantu bapak membiayai kuliahku.”
Ibu telah selesai membasuh darah yang mengucur dari hidungku. Kemudian, ia menggapai tanganku. “Terima kasih sudah pulang,” ucap Ibu diikuti pelukannya. Ibu tak pernah membalas untaian kalimat kebencianku kepada abang. Bahkan sampai tengah malam datang.
Sebelum aku tidur, batinku meronta-ronta mempertimbangkan apakah aku harus jujur kepada ibu atau tidak. Aku selalu ingin menjelaskan ketakterbukaanku pada ibu atau bapak, tetapi aku tak pernah bisa. Alasan aku menunda-nunda tak mau juga bekerja adalah karena abang. Aku merasa tak terima jika aku harus membiayai hidup ibu dan bapak, tetapi abang tidak. Abang yang mendapatkan kasih sayang bapak ketika ia masih kecil, mengapa harus aku yang membalas budi kasih sayang itu?
Kurasa aku tak akan pernah bisa mengungkapkan rasa yang mengganjal dalam batinku. Aku tak mau melukai ibu. Akan tetapi, aku pun tak mau menyiksa diriku sendiri. Aku benar-benar bingung. Selain itu, perkataan abang juga selalu terngiang-ngiang. Terutama bagian banting tulang. Lalu aku teringat bapak ketika kantukku menerjang. Dalam mimpiku, bapak datang.
Keesokan harinya, aku pergi ke makam bapak. Ibu ingin menemaniku, tetapi aku menolak. Aku ingin menemui bapak seorang diri. Di samping makam bapak, aku bersimpuh. Aku menyentuh nisannya sembari dalam hatikku muncul tanya: apakah selama hidup, bapak pernah menyayangiku?
Pertanyaanku dijawab keheningan. Dalam sela keheningan itu, aku merasakan angin mengembus tepat di tengkukku. Kurasa itu seperti belaian. Hangat.
*****
Editor: Moch Aldy MA
This is sad and beautiful at the same time.
Thank you for taking the time to read my writing.