“Himbauan dilarang membuang sampah sembarangan”
Kalimat itu terpatri di tengah tumpukan sampah yang menggunung pada sebuah pasar tradisional di Kota Palembang. Kalimat pengumuman dari instansi pemerintahan yang biasa kita baca di ruang publik seperti kalimat itu kerap terbaca begitu miris.
Ini bukan kali pertama spanduk yang terpampang di jalanan ataupun jagat maya milik instansi pemerintahan tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah kebahasaan. Hal yang seakan telah mewajar ini bertentangan dengan isi Peraturan Presiden Nomor 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang mengatur bahwa institusi pemerintah dan swasta wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi.
Bukannya menguatkan bahasa Indonesia pada masyarakat sesuai amanat Sumpah Pemuda, kesalahan berulang dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh lembaga pemerintah berpotensi melunturkan bahasa persatuan Indonesia. Masyarakat yang terpapar kesalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah formal secara menerus lama-lama menganggap ini sebagai suatu kebenaran. Sementara itu, bahasa Indonesia yang sesuai EyD akan semakin tenggelam karena sangat jarang dijumpai penggunaannya.
Rendahnya tingkat kesadaran akan kelalaian dalam penggunaan EyD menunjukkan kurangnya profesionalitas sumber daya manusia yang bekerja di institusi pemerintah. Minimnya perhatian terhadap EyD dalam penulisan siaran pers, pengumuman, hingga spanduk di ruang publik mencerminkan sikap acuh tak acuh dan kurangnya kompetensi karyawan pemerintahan.
Padahal, sistem perekrutan karyawan instansi pemerintahan termasuk ketat. Hanya mereka yang memiliki nilai tinggi yang dapat mengisi bangku kosong di kantor-kantor mereka. Selain itu, mayoritas karyawan instansi pemerintahan berasal dari kalangan terdidik. Minimal, mereka telah menamatkan pendidikan sarjana atau diploma. Lantas, bagaimana bisa fenomena ini masih lestari di tengah banyaknya kaum terdidik yang duduk di instansi pemerintahan?
Rendahnya kemampuan menulis yang dimiliki birokrat di pemerintahan tak lepas dari gagalnya pelajaran bahasa Indonesia di tingkat pendidikan dasar. Selama dua belas tahun, para peserta didik diwajibkan belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Ironisnya, setelah menamatkan bangku sekolah, masih banyak alumni yang kesulitan mengerjakan tugas karya ilmiah hingga menuntaskan skripsi di tingkat perguruan tinggi.
Hal itu selaras dengan temuan penelitian Mutakien pada tahun 2012 bahwa sebesar 83,8% mahasiswa memiliki keterbatasan pemahaman tentang skripsi. Pada makalah yang rilis tahun 2018, Hardjono mendukung temuan itu dengan menunjukkan bahwa kesalahan berbahasa mahasiswa dalam penulisan skripsi kerap terjadi pada aspek gramatikal, ejaan, dan diksi. Temuan-temuan ini mengungkap bahwa pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah seakan hanya formalitas.
Tak heran, Indonesia menduduki peringkat 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Berdasarkan penilaian Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2019, literasi pelajar Indonesia berada pada urutan ke-62 dari 70 negara. Bahkan, Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC) mendapati sebanyak 70% orang dewasa di Jakarta kesulitan memahami informasi dari tulisan yang lebih panjang dan kompleks. Mereka hanya memiliki kemampuan memahami informasi dari tulisan pendek.
Literasi merujuk pada kemampuan seseorang untuk membaca, memahami, dan menggunakan informasi tertulis dalam berbagai konteks. Tingkat literasi yang tinggi membuat seseorang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang tata bahasa, penggunaan kata yang tepat, struktur kalimat yang benar, dan keselarasan pikiran dalam menulis. Fakta bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah dapat menjadi pecutan bagi pemerintah untuk mengevaluasi silabus Bahasa Indonesia di tingkat sekolah.
Selama ini, pelajaran literasi yang didapat siswa masih berada di level menghafal dan memahami. Kemampuan berlogika siswa cenderung tidak diasah dalam proses pembelajaran di kelas. Siswa hanya terpaku pada benar atau salah untuk menjawab soal ujian, alih-alih menganalisis suatu persoalan yang menuntut kemampuan logika. Selain itu, tendensi sebagian guru untuk mengabaikan ketepatan EyD turut berperan menyebabkan kurangnya kecakapan siswa dalam berbahasa secara tertulis. Hal ini menyebabkan siswa kesulitan mengaplikasikan bahasa Indonesia dalam konteks formal.
Baca juga:
Jika terus berlanjut, permasalahan itu akan berdampak serius pada kualitas generasi penerus bangsa di masa depan. Kegawatan permasalahan ini tercermin pada para birokrat yang tidak dapat melakukan tugas sederhana menulis sesuai kaidah kebahasaan sebagaimana yang telah mereka pelajari selama belasan tahun.
Lebih jauh lagi, ketidakpiawaian birokrat dalam menulis sesuai pedoman berbahasa Indonesia ini bisa berdampak fatal apabila dilakukan dalam merumuskan undang-undang. Misalnya saja, multitafsir atau kesalahan penafsiran pasal dalam undang-undang. Alhasil, penegakan hukum tidak diterapkan secara maksimal.
Editor: Emma Amelia