Tidak ada yang salah dengan ingin menjadi kaya; mendapat penghasilan bagus, punya aset, dan kapan saja bisa berlibur tanpa harus mengecek flash sale atau saldo rekening. Semua itu amat normal. Tapi dengan cara bagaimana?
Dua tahun ini, pandemi Covid-19 mengubah arah banyak hal. Banyak orang kehilangan pekerjaan yang berarti mereka harus memanfaatkan setiap koin tersisa atau aset yang dimiliki agar bertahan di tengah ketidakpastian. Singkatnya, pandemi membuat penduduk dunia kehilangan penghasilan. Hanya segelintir — bahkan mikro — saja golongan yang pendapatannya naik: taipan teknologi.
Saya sempat menonton video Robert Kiyosaki yang menganjurkan orang berinvestasi pada Bitcoin dan perak. Ia yakin The Fed, bank sentral Amerika, pondasi fundamentalnya rapuh. Mungkin juga fraud karena terus mencetak Dollar tanpa underlying emas. Kiyosaki yakin Bitcoin adalah aset masa depan.
Pasar merespon situasi tersebut. Harga Bitcoin terus melaju dibanding Dollar Amerika hingga mencapai 300% sepanjang tahun 2020. Orang tergiur easy money dan mendepositkan uang ke merchant kripto. Sehingga ada guyonan: monyet pun pasti untung kalau beli Bitcoin. Periode pandemi 2020–2021 adalah tahun panen terbaik bagi mereka yang menyimpan Bitcoin.
Hal yang sama terjadi di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terdiskon 70% pada kuartal pertama 2020. Namun pada tahun yang sama, emiten perbankan, tambang, dan konstruksi menghasilkan keuntungan yang tinggi. Sederhana, karena orang menginvestasikan uang ke surat berharga. Pada masa pandemi jumlah investor lokal meroket 93% dari tahun 2019. Tertinggi sepanjang sejarah bursa efek.
Fenomena easy money ini jelas bukan sesuatu yang permanen. Ketiadaan pekerjaan tetap dan sektor perdagangan riil yang jalan di tempat membuat orang terjun ke pasar kripto dan saham. Mereka yang dijuluki “trader angkatan Corona” itu tak selalu dibekali pengetahuan mekanisme pasar. Teknis maupun psikologis. Kadang mereka untung, tapi lebih sering ngedumel di media sosial kalau sedikit saja rugi.
Permainan uang ini juga menghasilkan keramaian pada produk-produk lain seperti trading binary dan Non Fungible Token (NFT). Sesuatu yang bahkan tak pernah terdengar (atau pelajari) sebelumnya.
Seluruh kegiatan ini bermuara pada seberapa besar profit yang mereka dapat. Media sosial dan influencer pun ikut mengamplifikasi situasi sehingga orang terlihat lebih sering memantau candle stick daripada sebelumnya. Konten yang dipilih pun selektif segmen keuntungan. Padahal, trading adalah zero sum game: kalau ada yang pamer untung ya karena ada orang lain merugi.
Robert Kiyosaki dalam buku legendaris Rich Dad Poor Dad mengajukan tesis yang sederhana: Kekayaan adalah ketika aset lebih besar dari liabilitas. Rumah, mobil, atau iPhone terbaru bukan aset, sejauh orang masih mengeluarkan biaya pemeliharaannya. Ketika rumah disewakan atau iPhone menghasilkan konten yang menghasilkan uang barulah disebut aset.
Tesis ini banyak terlewat ketika pandemi orang berlomba mencari penghasilan. Sayangnya tanpa pengetahuan bijak keuangan. Kasus asuransi berbalut unit link, robot trading, hingga scam NFT adalah kasus-kasus finansial yang belakangan beredar. Alih-alih untung, orang justru kehilangan uang mereka.
Kemilau Konten
Tidak ada kekayaan lewat cara instan sekalipun trading saham atau kripto. Pun kekayaan tidak semestinya dipamerkan berlebihan. Kekayaan yang telah sustain cenderung silent karena beragam pertimbangan: privasi, keamanan, atau Dirjen Pajak.
Ini yang sering terlewat. Konten “sultan” media sosial seperti satu-satunya cara mudah berguru. Apa yang mereka suarakan itulah “wangsit” untuk aksi di pasar esok hari. Semuanya dibalut dengan kata investasi.
Saham dan uang kripto bukanlah satu-satunya instrumen penambah aliran uang. Banyak ragam selain trading yang bisa dipilih sesuai kapasitas pengetahuan dan profil risiko. Ada Surat Berharga Negara, reksadana, atau deposito. Masing-masing relatif punya plus minus soal tata cara pengelolaan, yield, dan pajak.
Mati surinya sektor riil membuat banyak orang semakin percaya bahwa bekerja pada sektor riil tak akan cepat kaya ketimbang trading. Padahal tak selalu demikian.
Mempercayakan uang kepada pihak ketiga adalah sesuatu yang berisiko tinggi. Investor (atau trader) yang baik adalah yang menentukan langkah dan tujuan mereka sendiri. Tahu produk dan siapa pengelolanya; sempat membaca laporan keuangan atau prospektus; tahu kapan harus berhenti atau lanjut. Jangan pernah mudah membeli instrumen yang tidak dipahami.
Gugatan terhadap platform binary dan unit link, misalnya, adalah bukti ketidakmengertian cara kerja instrumen. Simulasi yield return di atas kertas bukanlah gambaran nyata di pasar. Volatilitas tidak menjamin kepastian return di muka. Kecuali untuk Surat Berharga Negara yang dijamin pemerintah.
Baca juga: Teknologi Kian Cerdas, Kita Kian Resah
Jika telanjur membeli produk pada instrumen yang dikelola pihak ketiga tidak ada salahnya meminta bukti pengelolaan uang ke agen atau manajer investasi. Hal itu akan memberi gambaran dan penyesuaian terhadap tujuan keuangan. Sebagai nasabah, kita berhak tahu ke mana aliran uang diperdagangkan. Konsekuensi apa yang diterima bila terjadi gagal bayar. Nasabah atau investor ritel tidak selalu memiliki kemampuan menyewa pengacara andal untuk mengatasi situasi gugatan hukum yang akan memenangkan mereka.
Di tengah pandemi orang semakin berlomba mendapat kekayaan dengan instan. Walau bukan berarti ketika sektor riil pulih orang akan berhenti trading saham dan kripto. Bagi pelaku pasar yang baru mengenal jargon “investasi”, “saham”, “trading”, sebelum memutuskan ambil bagian hendaklah memahami segala detilnya. Pasar bisa menjadi arena pembantaian yang Tuhan pun tak akan ikut campur.
Mengikuti nasihat Kiyosaki, aset yang bertumbuh adalah kekayaan yang akan sustain. Hal itu tidak terjadi dalam semalam. Apalagi dengan main untung-untungan.