“Miwako pasti telah memperlihatkan tanda-tanda kejanggalan sebelum dia pergi… Setelah kematian temannya, berulang kali dia mengingat-ingat minggu-minggu terakhir kebersamaan mereka. Akhirnya, dia menyimpulkan sama sekali tidak tahu. Miwako menyembunyikan rahasianya, dia menjaganya baik-baik.” -Hlm. 205
Bagaimana rasanya jika orang yang kita sayangi terenggut nyawanya begitu saja karena bunuh diri? Hal semacam itulah yang dirasakan Ryusei atas kematian Miwako Sumida, seorang mahasiswi Universitas Waseda yang ditemuinya tanpa sengaja dalam suatu kencan buta.
Pertemuan itu bermula dari ajakan Toshi, seorang teman Ryusei yang putus asa sebab tidak segera mendapat pasangan. Jin, salah seorang temannya yang lain langsung menyetujui. Sementara Ryusei sendiri sangat malas meladeni permintaan semacam itu, meskipun diiming-imingi berbagai halโmendapat nomor telepon misalnya. Ia tetap berat hati menghadiri kencan buta yang juga akan diikuti oleh sekelompok wanita lain berjumlah sama (tiga orang). Tapi, apa boleh buat; Toshi memaksa, Ryusei pun mengikuti ajakan kawan-kawannya.
Sepanjang percakapan, Ryusei bergeming, kadang mengobrol seperlunya, tidak ada yang membuatnya begitu tertarik. Begitu pula dengan salah satu perempuan dalam kelompok tersebut, yang kemudian diketahui bernama Miwako Sumida. Sepanjang acara, ia terlihat tidak nyaman dengan terus melihat ke arah jam tangan yang dikenakannya, seperti ingin lekas-lekas pergi saja.
Hingga akhirnya Miwako memohon untuk undur diri lebih cepat dikarenakan ada janji yang harus ia penuhi di tempat lain. Ia hendak mengambil sebuah buku pesanan di toko buku bekas bernama ‘Ikeda’. Melihatnya sebagai peluang yang bagus untuk ikut pergi, Ryusei pun meninggalkan tempat tersebut dengan alasan yang sama.
Mengetahui Ryusei dan Miwako akan pergi ke toko buku bersama-sama, teman-teman mereka menganggap ini sebuah awal yang bagus dan pas untuk ‘saling mengenal’ satu sama lain. Meski sebenarnya mereka hanya ingin segera menyingkir dari segala basa-basi tak penting.
Sepanjang perjalanan ada banyak hal yang terlambat disadari, mereka rupanya adalah sepasang teman mengobrol yang cocok. Apalagi keduanya memiliki kegemaran membaca. Mendapatkan seorang pasangan yang mampu mengimbangi percakapan seputar perbukuan menurut saya adalah impian dari semua bookworm.
Takdir memimpin perjalanan dan kita yang mengikutinya di belakang tak dapat menyangkal. Lambat laun tumbuh kehangatan antar keduanya, sifat dari masing-masing pihak yang memiliki keunikan tersendiri mungkin menjadi penyebab utama. Diawali dengan penemuan kegemaran yang sama mereka pun semakin akrab dalam hubungan yang disebut ‘persahabatan’. Entah apa yang tidak ingin dilanggar, ketika Ryusei menyatakan perasaannya berkali-kali dan ingin melangkah lebih jauh lagi, Miwako selalu menolak secara halus maupun terang-terangan. Ia akan berkata:
“Tidak, … Sudah kubilang, hubungan kita tidak akan berhasil.” -Hlm. 46
Ryusei pun dibuatnya kecewa, namun sesekali ia terus mencoba. Hingga pada akhirnya semua harapan pun sirna ketika mengetahui Miwako pergi dari Tokyo di musim panas kedua dan memilih mengakhiri hidupnya di sebuah desa terpencil bernama Katsuyama.
Miwako adalah perempuan yang sangat tertutup, begitu kabar kematiannya diterima, orang-orang terdekatnyaโtermasuk Ryuseiโtidak tahu alasan di balik itu semua. Mereka begitu terpukul sambil dibuatnya bertanya-tanya. Semenjak itu, Ryusei dan sahabat-sahabatnya mencoba untuk memecahkan sandi yang akan menjelaskan semua rahasia perihal kematian Miwako Sumida.
Novel terjemahan dari bahasa Inggris berjudul The Perfect World of Miwako Sumida ini diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, ditulis pengarang kelahiran Surabaya yang menetap di Singapura, Clarissa Goenawan. Diterjemahkan oleh Lulu Fitri Rahman dan terbit melalui PT. Gramedia Pustaka Utama tahun 2020 lalu.
Penulis lihai menangkap isu urban-kontemporer yang sedang terjadi dan membuat pembaca menyadari jika karya fiksi tersebut diangkat dari fakta kebanyakan. Seperti kesehatan mental, trauma, kekerasan seksual, pencarian jati diri, perasaan kesepian, serta yang paling diberi highlight oleh penulis, suicide.
Ada kalanya membaca buku ini terasa heart-warming karena kisah yang disajikan amat sangat menyentuh, kadang lucu. Tapi kegetiran yang tampil juga tak kalah mengundang perasaan melankoli, ketegaran tokoh di cerita tersebut pada akhirnya harus ditanggapi dengan begitu cengeng oleh pembaca. Kadang pembaca menyayangkan, seandainya ia lebih dapat terbuka… tentu masalah tidak akan serumit ini.
Jalan hidup yang dipilihnya memang dipandang tidak layak bagi sebagian pihak, tapi dengan hal itu kita perlu membuka mata dan mengerti jika setiap individu menanggung beban berat yang tidak kita tahu apa, namun bisa membuat kita mengerti jika ragam permasalahan yang orang lain rasakan tidak sepatutnya membuat kita berhenti jadi pendengar yang baik.
Menjadi pendengar yang baik bukan berarti kita harus mencampuri urusan orang lain, tapi tentu ada ‘batas’ berupa ranah privat yang harus kita jaga. Selalu hadir untuk menjangkau siapapun yang terpuruk adalah ide utama buku ini. Meskipun korban sulit terselamatkan, setidaknya sudah ada upaya yang kita lakukan. Miwako Sumida sendiri berkata, yang masih membuat saya tercekat akibat kalimatnya:
“Kalau ada yang ingin kau ceritakan, aku bersedia mendengarkan … Kalau kau tidak mau membicarakannya, tidak usah … Tak ada salahnya menyimpan rahasiamu sendiri.” -Hlm. 276