Pedagang Martabak dari Mars

Dunia Digital dan Masyarakat Mata-mata

Alfian Bahri

3 min read

Bagaimana bila seluruh aktivitas yang selama ini kita kira berbasis kebebasan ternyata sedang dipantau, diawasi, dan dikontrol? Apa yang akan terjadi?

Sebenarnya, sudah tidak ada kebebasan pada masa kini. Selalu ada hal yang ditukarkan.

Alat Mata-mata

Beberapa waktu lalu, kepolisian resmi memberlakukan surat tilang elektronik (ETLE-Electronik Traffic Law Enforcement). Mekanisme kerjanya, pengawasan bukan lagi dilakukan oleh manusia, melainkan oleh teknologi semacam CCTV. Hasilnya, perolehan uang denda ETLE mencapai 639 miliar dari 1.771.242 kasus. Entah itu angka yang besar atau kecil, permasalahan bukan ada pada jumlahnya, melainkan keberlangsungan dari praktik pengawasan berbasis teknologi itu sendiri.

Dalam dunia olahraga khususnya sepak bola, ada tekonologi bernama VAR. VAR dapat merekam dan mendeteksi suatu pelanggaran dalam pertandingan. Hal itu dilakukan guna terciptanya suatu pengawasan keputusan yang menyeluruh. Dengan hadirnya VAR, wasit terbantu dalam menentukan pelanggaran. Bahkan, moral, etika, serta keputusan wasit dipertaruhkan akibat kehadiran VAR, sebab ia bukan lagi satu-satunya yang menilai objek. Kini wasit menilai objek dengan pantauan dan transparasi dari pihak luar melalui hasil VAR. Semua penonton baik di lapangan dan layar kaca bisa bebas melihat, menilai, dan mengomentari kejadian.

Fenomena dari konsep pemantauan dan transparansi teknologi juga viral beberapa waktu lalu. Hal itu terjadi melalui sorotan kamera pertandingan sepak bola. Ada seorang perempuan yang pamitan untuk pergi mengerjakan tugas kelompok kepada kekasihnya. Sedangkan kekasihnya itu berada di rumah menonton pertandingan sepak bola. Pada waktu pertandingan, sorotan kamera mengarah ke tribun. Sorotan kamera itu membuat si laki-laki kaget. Melalui siaran itu, ia melihat kekasihnya yang pamitan tugas kelompok sedang berada di tribun bersama pria lain. Fenomena ini sungguh menggelikan sekaligus jadi bukti bahwa konsep pemantauan dan transparansi ini berjalan tanpa kesadaran sekaligus dengan kerelaan.

Dari kacamata yang lebih jauh, sebenarnya konsep ETLE, VAR, dan sorotan kamera TV ini merupakan bentuk perluasan suatu kekuasaan. Teknologi semacam itu bekerja sebagai relasi kuasa yang sempurna. Foucault menggambarkan hal ini dengan konsep panopticon. Dengan menggunakan konsep CCTV (pemantauan), masyarakat menjadi objek yang harus diawasi, didisiplinkan, dan dikontrol. Dan ini diklaim menjadi cara paling efektif.

Semua Saling Memata-matai

Saya jadi ingat novel The Circle karya Dave Eggers. Dalam novel tersebut dikatakan “semua yang terjadi harus diketahui.” Singkat cerita, digambarkan ada suatu masyarakat yang sedang dihadapkan pada teknologi pemantauan yang cukup canggih. Bahkan diilustrasikan bahwa alat pemantau itu cukup fleksibel, terjangkau, dan tersebar. Unit pantaunya menyeluruh dan dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun dan di mana pun. 

Gambaran fenomena dalam novel tersebut bukan lagi penguasa memantau masyarakat, melainkan masyarakat memantau masyarakat. Sekilas, fenomena yang demikian hanyalah fiksi belaka, tetapi tanpa disadari kita sekarang sudah melakukannya di dunia nyata.

Dalam skala kecil, teknologi seperti yang diilustrasikan dalam The Circle sudah ada. Kita bisa lihat itu dari aktivitas media sosial,  mesin pencari, dan platform lainnya. Bahkan, paradigma baru yakni viralitas sudah menjadi tolok ukur dalam penerapan nilai dan hukum. Sudah berapa banyak kasus dan fenomena yang terekspos dan terpantau dari dan oleh media sosial?

Tidak sampai di situ, dalam The Circle juga diceritakan pula bahwa para pejabat juga semestinya perlu dipantau dan diawasi.

“…. setiap percakapan, setiap pertemuan, dan semua kegiatan Anda sehari-hari akan disiarkan…”(The Circle: 250). 

Sungguh tidak adil bila hanya penguasa yang mengawasi masyarakat. Poin inilah yang menarik untuk dikaji. Penguasa, dalam hal ini pejabat, juga harus diawasi.

Menurut Dave Eggers lebih lanjut, justru pemantauan transparansi dan menyeluruh akan membawa masyarakat ke tahapan demokrasi yang lebih tinggi. Bagaimana tidak, semua orang punya andil dalam melihat dan menilai (ini persis seperti kerja VAR dalam sepak bola). Itulah dunia demokrasi yang sesungguhnya (dalam novel The Circle). Berbagi berarti peduli, rahasia adalah kebohongan, dan privasi adalah pencurian.

Baca juga:

Mungkin kita sedang menuju ke arah masyarakat seperti yang diilustrasikan dalam novel The Circle. Sebuah masyarakat di mana transparansi menjadi ideologi utama. Kejahatan menjadi lebih minim karena pencuri akan lebih takut dan berpotensi besar terpantau, terekam, dan tertangkap. Para pejabat juga lebih minim korupsi karena aktivitasnya terpantau dan tersiar langsung. Seorang kekasih juga lebih minim berbohong karena kebenaran sudah terpampang. Begitulah kiranya gambaran akhir dari konsep masyarakat mata-mata, sebuah masyarakat yang berparadigma transparansi.

Hilangnya Privasi 

Risiko nyata dari penggunaan konsep pemantauan dan transparansi berbasis teknologi adalah hilangnya privasi. Kalau ingin lebih serius dan jujur, sebenarnya privasi hari ini sudah tidak ada. Semua hal yang kita lakukan sejatinya terpampang dengan jelas pada big data mesin pencari dan algoritma media sosial. Bahkan, saking berharganya, data-data privasi dijual.

Paling ekstrem, Google mengetahui kapan terakhir kali dan sering Anda menonton video porno. Google lebih mengetahui itu dari siapa pun. Petugas HRD hari ini lebih sering meminta data media sosial ketimbang riwayat hidup. Sebab bagi mereka, postingan Anda lebih menunjukkan karakter sebenarnya ketimbang soal psikotes.

Apa kita menyadarinya? Tentu saja tidak. Itu semua berjalan dengan kerelaan tanpa sadar. Apa Anda pernah berpikir mengapa kita harus menginput data diri saat log in pada aplikasi tertentu? Mengapa ada iklan tiba-tiba muncul sesuai pencarian terakhir kita? Semua itu sudah terprogram dan tersistem dengan rapi, cermat, dan tepat.

Dalam dunia periklanan digital, bukan algoritma yang menghasilkan uang, melainkan privasi itu sendiri. Data, aktivitas, dan selera kita yang tercatat di jagat digital dirangkum dan dimanfaatkan sebagai bahan baku kinerja jangkuan iklan. Itu sebabnya digital marketing selalu menjual slogan iklan tertarget dalam bentuk insight.

Tanpa disadari, semua konsep itu terjadi atas dasar kerelaan dan kewajaran. Tidak ada yang benar-benar gratis dalam masyarakat digital. Kita sedang menukarkan privasi kita dengan kebebasan. Hal yang terlihat bebas nyatanya diawasi dan dimanfaatkan.

Semua ini adalah risiko dari masyarakat digital. Nyatanya, semua yang selama ini kita nikmati, akses, dan manfaatkan memerlukan timbal balik yang cukup privat. Mungkin, beberapa tahun ke depan, saat teknologi pengawasan menyeluruh itu hadir dan masyarakat kita sudah terbiasa dan terbuka dengan itu, privasi sudah tidak lagi menjadi pembicaraan utama.

Namun yang jelas, kini kita perlahan sedang menuju masyarakat mata-mata. Semua sedang memata-matai satu sama lain. Semua sedang memanfaatkan satu sama lain. Kita sudah menjalankannya. Ini sebuah risiko utama atas pencapaian masyarakat digital. Suatu hal yang tidak mungkin bisa dihindari. Tinggal kita sendiri sebagai pribadi yang bertanggung jawab atas moral dan kemanusiaan masing-masing.

 

Editor: Prihandini N

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

2 Replies to “Dunia Digital dan Masyarakat Mata-mata”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email