Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga merupakan pemenang ketiga sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019 dan peraih penghargaan Kusala Sastra Katulistiwa 2021 kategori prosa. Buku karya Erni Aladjai ini cukup tipis untuk ukuran sebuah novel, hanya 143 halaman. Akan tetapi buku ini kaya akan pesan moral dan kritik sosial. Salah satu isu besar yang ada di dalamnya adalah tentang penjajahan yang pernah dilakukan negara terhadap petani cengkih di era 90-an.
Tokoh utama dalam buku ini adalah seorang ibu dan anak bernama Haniyah dan Ala, keluarga petani cengkih. Mereka tinggal di sebuah rumah kayu yang sudah berusia 109 tahun, warisan dari Arumba nenek buyut dari Ala. Orang-orang menamai rumah mereka Rumah Teteruga, sebab di sebelah rumah itu dahulu terdapat kolam yang berisi teteruga kuala (penyu kuala).
Selain Haniyah dan Ala, banyak tokoh menarik lainnya seperti Naf Tikore sosok penuh misteri, yang merupakan anak dari mantan mandor kebun cengkih milik kumpeni. Ido, sosok arwah gentayangan, yang datang menemui Ala untuk mengungkap misteri di dalam Rumah Teteruga dan kebun cengkih milik Naf Tikore. Dari kisah para keluarga petani cengkih di Desa Kon ini banyak pesan moral dan kritik sosial yang dapat kita ambil.
Mata Juling yang Dirundung
Ala terlahir dengan dengan mata kiri juling. Haniyah berpikir hal tersebut mungkin disebabkan pada saat menjelang kelahiran Ala, Haniyah sempat memukul seekor biawak dengan sebilah bambu dan mengenai mata kiri biawak tersebut. Semenjak itu dia sangat menyesal dan merasa bersalah. Haniyah bertobat dan berubah menjadi sehalus tepung terigu.
Haniyah berjanji tidak akan lagi menyakiti semua makhluk, termasuk makhluk tak hidup. Bahkan dia tidak pernah membuang langsung air panas sisa memasak. Haniyah akan menunggu air itu dingin baru membuangnya ke tanah. Selain itu Haniyah juga selalu meminta izin kepada tanamannya sebelum mengambil buah, bunga, atau daun dari tanaman-tanamannya.
Akibat mata kirinya yang juling haniyah selalu mendapat perlakukan tidak baik di sekolahnya. Bukan hanya temannya yang melakukan perundungan, bahkan salah satu gurunya Bu Hijima juga pernah mengejek Ajul (ala Juling). Anak-anak yang mengolok-mengolok Ala tidak pernah mendapat teguran dari guru-guru, sebab mereka anak dari seorang Babinsa. Hal tersebut membuat Ala tidak betah di sekolah, bahkan sempat berpikir untuk berhenti sekolah.
Selain melakukan kekerasan verbal, Bu Hijima juga sering memberikan hukuman fisik kepada muridnya. Kekerasan fisik di sekolah juga pernah dialami oleh generasi Haniyah. Hal tersebutlah yang membuat anak-anak di generasi Haniyah hanya bersekolah sampai tingkat SD. Mereka berpikir guru di sekolah lanjutan pasti lebih kejam dari pada guru-guru SD mereka.
Doktrin Pendidikan
Ala berpikir Bu Hijima acap kali berlaku buruk terhadapnya karena dendam padanya. Ceritanya waktu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila di kelas 2, Bu Hijima mengajukan pertanyaan kepada Ala: “Seorang anak berlaku baik adalah ketika: A. Rajin membersihkan kebun, B. Menolong nenek-nenek menyebrang jalan saat lalu lintas ramai, C. Menyembunyikan pensil temanya, D. Bernyanyi dengan suara keras saat tetangga tidur siang.”
Ala memilih jawaban A, namun menurut Bu Hijima jawaban yang benar adalah B. Ala mempertahankan pendapat dengan alasan membantu orangtua membersihkan kebun adalah perbuatan baik. Bu Hijima tersinggung dibantah muridnya dan menyahut, “begini yang tertera di buku Bank Soal, juling.” Lalu dia menjewer telinga Ala. Padahal, Desa Kon adalah sebuah pelosok yang tidak memiliki jalan raya, apalagi lalu lintas yang ramai.
Hoaks dan Prasangka
Markeba Tikore ibu dari Naf Tikore mati bunuh diri, setelah tiga hari kematian suaminya, Tago Tikore. Semenjak tragedi kelam yang menimpa keluarganya tersebut, seluruh warga desa menjauhi segala hal yang berhubungan dengan Naf Tikore. Setelah kejadian itu banyak omong-omong miring tentang Naf Tikore.
Mulai dari Naf Tikore menyembah Mokoroimbu (Gurita raksasa), badanya bau, umurnya panjang karena bersekutu dengan setan, dan masih banyak lagi. Selain itu, segala kejadian buruk yang terjadi di Desa Kon selalu dikaitkan dengan Naf Tikore. Orang-orang beranggapan setiap kejadian buruk adalah tumbal, agar Naf Tikore memperoleh kekuatan. Desas-desus tentang Naf Tikore ini berlangsung dari generasi ke generasi, yang membuat Naf Tikore dikucilkan.
Selain kisah Naf Tikore ada juga kisah Madika, seorang budak di perkebunan cengkih milik Tuan Vlinder. Madika tewas ditembak oleh Tuan Vlinder, setelah laporan mandornya yang mengatakan Madika ingin berbuat tidak senonoh pada putrinya. Padahal apa yang dilihat mandor tersebut tidak benar, justru sebenarnya Madika sedang menolong putri Tuan Vlinder.
Mendobrak Patriarki
Ada satu tokoh yang sangat unik dalam buku ini, yaitu Bibi Ati. Bibi Ati adalah salah satu buruh tani yang bekerja pada Haniyah. Dia merupakan simbol wanita modern yang mendobrak budaya patriarki. Sosok wanita kuat yang mampu menyembunyikan segala kesusahannya. Dia menolak dikasihani dan dianggap lemah. Dia lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dari pada bergantung pada lelaki. Bahkan dia melakukan pekerjaan yang dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan.
Bibi Ati juga memilih tidak menikah, walaupun sangat digilai oleh Paman Hairun. Selain Bibi Ati banyak juga wanita-wanita hebat lainnya dalam buku ini, termasuk Haniyah dan Ala. Ada juga kisah-kisah tentang penindasan terhadap wanita yang diperlakukan sewenang-wenang, salah satunya Bibi Gebe. Bibi Gebe harus berjuang menghidupi anak-anaknya setelah ditinggal oleh suaminya yang seorang penyiar agama menikah lagi.
Monopoli Cengkih
Inilah isu besar yang ingin disampaikan oleh Erni Aladjai. Bagaimana ketika seorang anak penguasa negri ini mendirikan BPPC (Badan Penyaggah dan Pemasaran Cengkih). Lahirnya BPPC tak ubahnya mengulang apa yang dilakukan Vereenidge Oostindisce Compagnie (VOC) di Nusantara dalam memonopoli rempah-rempah. BPPC yang menentukan ke mana petani harus menjual hasil panennya. Harga cengkih pun dipermainkan sesuka hati. Buku ini mengajak kaum muda untuk mengetahui salah satu sejarah kelam negeri ini, di mana negara pernah membunuh para petani cengkih.
“Cengkih ini milik petani. Tanah ini milik petani. Kami jumpalitan merawat kebun cengkih kami sendiri, kenapa mereka membuat aturan tanpa peduli nasib kami? Meskipun kami orang bodoh, kami tahu aturan BPPC ini mencekik leher, mereka memainkan harga serendah-rendahnya, lalu menjual kembali dengan harga semahal-mahalnya ke perusahaan kretek, mereka tidak pernah peduli cucuran keringat orang-orang kecil.”