Bagi para pengarang, fenomena di tengah masyarakat merupakan bahan bagi penggarapan karya sastra yang strategis. Pengarang dituntut peka terhadap permasalahan di sekelilingnya. Berbagai problematika kemudian terangkum dalam karya-karya mereka, mulai dari permasalahan manusia sebagai individu, hingga permasalahan budaya (sosial, ekonomi, politik, dll.) dalam pengertian yang luas. Hal tersebut disebabkan objek karya sastra adalah realitas–apa pun yang dimaksud sebagai realitas oleh sang pengarang (Kuntowijoyo, 2006: 171). Teks yang mereka hasilkan, dengan otonominya, kemudian dapat dilihat sebagai salah satu dari kemungkinan-kemungkinan model bagi dunia.
Berkaitan dengan otonomi tersebut, Pavel (dalam Ryan dan Bell, 2019: 9) mengingatkan agar tidak lantas memberikan batasan yang kaku antara fiksi dengan realitas, sebab yang demikian akan “mencegah” fiksi memberikan wawasan tentang dunia secara nyata, dan dengan demikian berpotensi meminimalisasi—bahkan menghilangkan—nilai-nilai eksistensi, etika, politik, dan sebagainya dari sastra. Karya yang baik adalah karya yang mampu menawarkan kebenaran berupa kemungkinan, probabilitas, dan kemasukakalan cerita (Adler dan van Doren, 2012: 233). Dengan argumen-argumen tersebut, bukan merupakan masalah ketika latar, peristiwa (konflik), karakter, dan komponen-komponen lain fiksi kemudian tidak dapat diverifikasi kebenaran dan keberadaannya dalam realitas, asalkan ia menyuguhkan hal-hal yang relevan—terutama, katakanlah “utile” (kebermanfaatan) seperti nilai kebajikan, pelajaran, dan sejenisnya—bagi kehidupan manusia.
Baca juga:
Kita dapat menjadikan dunia atau bangunan cerita dalam novel Razonca: Rumah Merah Kita (Copernican, 2008) karya Irwan Bajang (selanjutnya: RRMK) sebagai contoh bahasan bagi argumen di atas. Latar utama dari novel tersebut, yakni Negara Sailon, tidak pernah terbaca dalam peta—tidak ada pulau Koblem, Jagze, dan Balihoem di dunia nyata. Demonstrasi, pemberontakan, dan chaos yang melandanya, juga tidak ditemukan dalam dokumentasi surat kabar mana pun. Tidak pernah ada Razonca, Verzaya, atau Ariaseni yang berbicara kepada publik, bahwa negara mereka terancam disintegrasi akibat kepentingan elit penguasa, dan organisasi Rumah Merah yang mereka dirikan berusaha mempertahankan keutuhannya. Singaktnya, di dunia nyata, keberadaan mereka tak bisa diverifikasi—kebenaran latar dan pelaku tidak demikian berarti, namun yang berharga ialah apa yang mereka kerjakan dan hal-hal yang relevan (seperti kebijakan penguasa, pemantik-solusi konflik, solidaritas, dsb.) dengan situasi kita hari ini.
Secara garis besar, RRMK mengisahkan perjuangan tiga orang mahasiswa, aktor utama organisasi bernama Rumah Merah yang telah disebutkan sebelumnya, yang berupaya menghindarkan negara mereka dari disintegrasi akibat ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah, yakni kerja sama luar negeri guna eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) setempat (hlm. 11-14). Sayangnya, jelang ending, mereka gagal membendung kecamuk pemberontakan akibat tidak solidnya ikatan antaranggota—bahkan, dua di antara mereka (Verzaya dan Razonca) menjadi aktor penting bagi pemberontakan Balihoem dan Jagze. Ringkasnya, RRMK menghadirkan cerita mengenai nasib warga negara di hadapan kekuasaan yang kerap bertindak semena-mena dan minim melibatkan suara rakyat dalam berbagai keputusan (hlm. 76-81).
Protes dan perlawanan-perlawanan pun muncul secara nyata sejak babak pertengahan (“Sailon Tergadai”) hingga akhir RRMK. Dalam situasi tersebutlah, sebagaimana di dunia nyata, kita dapat melihat bagaimana “kebengisan” penguasa bekerja: siapa pun yang dianggap berbahaya atau berpotensi mengancam kebijakan dan laju pemerintahan Negara Sailon, akan “dibabat habis” oleh tangan aparatus, tidak terkecuali warga negara sendiri—kader-kader Rumah Merah dipukul dan diculik dalam demonstrasi (hlm. 81-108), kelompok resistan lain diserbu hingga ke basis-basis pertahanan terdalam (hlm. 135-148). Padahal konon, Negara Sailon menganut sistem demokrasi (hlm. 99-101), yang artinya kedaulatan ada di tangan rakyat mereka sendiri.
Dalam konteks hukum, negara demokrasi sendiri selalu tampil membawa janji kesetaraan, keadilan, dan absennya kekerasan dalam kehidupan bersama (Sudibyo, 2019: 3). Akan tetapi, pada praktiknya justru kerap terjadi momentum penangguhan hukum, pengabaian prinsip pemisahan kekuasaan, serta pelanggaran hak-hak sipil tatkala negara mengalami kekacauan seperti perang saudara, revolusi, invasi asing, pemberontakan, atau ancaman terorisme. Keadaan tersebut dinamakan oleh Agamben sebagai penyelenggaraan keadaan-darurat atau keadaan-pengecualian (state of exception), yang senantiasa dicirikan oleh penangguhan-hukum (suspension of law) yang konon bertujuan melindungi masyarakat dari kekerasan (Agamben, 2005: 4). Garis pemisah kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dihapus, sementara kekuasaan militer diperluas hingga menjangkau urusan publik yang lebih dari sekadar urusan pertahanan (Sudibyo, 2019: 3). Imbasnya, warga negara yang diekslusi dari tatanan oleh Yang-Berdaulat, yang dianggap sebagai ancaman nyata, menjadi kian rentan terpapar kekerasan.
Kekerasan hanya akan dianggap sebagai kekerasan apabila dinyatakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum (Benjamin, 1986: 277-300). Akan tetapi, dalam konteks keadaan-darurat, kekerasan tidak lagi diakui oleh hukum sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebab yang dikenai adalah homo sacer, yakni figur-figur yang berada dalam zona transisi terus-menerus antara konsep hidup-alamiah (zoe) dan hidup-politis (bios), antara kemanusaiaan dan kebinatangan, serta tidak memiliki signifikasi politik karena telah diekslusi dari tatanan (Agamben dalam Mills, 2008: 61). Mereka rentan terpapar berbagai kekerasan karena hukum di tubuhnya telah dilucuti oleh negara. Artinya, pelaku-pelaku kekerasan (aparatus, kelompok-kelompok mayoritas, dll.) terhadap subjek homo sacer memiliki impunitas atas tindakannya tersebut.
Termasuk dalam RRMK, dalih-dalih pemberlakuan keadaan-darurat yang dilontarkan oleh penguasa senantiasa dikemas dalam wujud kebijakan yang “mengandung kebaikan bagi warga”, padahal dalam praktiknya dominan kepentingan elit: pemerintah Sailon dinarasikan sebagai orang-orang korup, lantas berencana mengeruk kekayaan pulau-pulau lain dengan bantuan asing, diatasnamakan sebagai penyangga bagi terbentuknya Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Akan tetapi, para aktivis Rumah Merah dengan mudah membaca gelagat pemerintah sebagai tipu daya sebagaimana rentetan fakta-fakta sebelumnya. Mereka dan massa lain yang juga resistanlah yang kemudian menjadi sasaran peng-homo-sacer-an. Pemberlakuan keadaan-darurat pun “mendapatkan” tambahan dalih ketika gejolak resistansi, dari yang semula sekadar berwujud protes, menjelma perlawanan fisik (pemberontakan), berdiaspora ke pulau-pulau lain seperti Jagze dan Balihoem: pemerintah akan menertibkan dan membasmi pemberontak semacam Andorasia CS dari Jagze, atau Verzaya CS dari Balihoem.
Kerapuhan Rumah Merah
Kita mafhum, gambaran dominasi demikian dimungkinan menjadi berlarut-larut (kronis), salah satunya lantaran ketiadaan oposisi militan yang bergerak secara terstruktur dan kokoh, yang sukar dicerai-beraikan oleh strategi pemerintah Sailon sendiri. Hingga babak pertengahan, perlawanan Rumah Merah memang ditampakkan “sangar-dan-menawan”, namun terbukti ia “kolaps” jelang pemungkas cerita.
Dapat kita baca, hal itu diakibatkan adanya degradasi karakter dan watak ambivalen dari tokoh-tokoh sentral Rumah Merah sebagai oposisi utama negara dalam konteks novel: mereka digambarkan sebagai aktivis yang penuh wawasan, serta direkrut secara tidak sembarangan (hlm. 149-155), namun ironisnya pada masa-masa genting dan krusial, justru pendiri organisasi dan tokoh sentralnya (Verzaya dan Razonca) cepat sekali “dikibuli” oleh asumsi pribadi—mengenai Aria yang baru mereka ketahui merupakan anak menteri terkorup—lantaran beberapa larik berita di koran (hlm. 157-179). Ya, mendapati kondisi itu, kita dapat menyebut cita-cita besar mereka bagi keutuhan Sailon jelang perpisahan (hlm. 126-134) sebagai utopia belaka, atau bahkan sesuatu yang “nonsens”.
Watak kritis para aktivis terhadap negara dalam RRMK, semestinya tidak bisa terjebak begitu saja dalam asumsi pribadi. Tindak-tanduk aktivis yang baik—dan juga dinyatakan direkrut secara tidak sembarangan—harusnya full dengan data-data terlebih dahulu, serta lazimnya berperspektif cukup kaya.
***
Kelabilan karakter-karakter aktivis tersebut, sekaligus menjadi titik tolak kritik bagi novel RRMK karya Irwan Bajang: transisi atau proses degradasi karakter rasanya kurang dieksplorasi. Sepertinya, butuh tambahan bab-bab baru bagi penceritaan proses tersebut: terkesan terburu-buru jika perubahan haluan tokoh, hanya dialasankan oleh berita dalam selembar surat kabar. Kritik lainnya: RRMK juga kian minim mengeksplorasi perwatakan tokoh-tokoh antagonis, yang sebagian besar kebobrokannya hanya dimunculkan dalam wujud institusi (kecuali pada diskusi bagian pembuka dan selintas perwatakan ayah Aria).
Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, kemungkinan dunia yang dihadirkan oleh RRMK kepada kita selaku pembaca, sejatinya dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam mengambil keputusan, sehingga tidak terjadi perpecahan mengerikan sebagaimana digambarkan dalam novel—dalam konteks Indonesia, ada sisi-sisi yang bermiripan antara konflik dalam novel dengan apa yang pernah tercatat dalam sejarah kita: negara vis-à-vis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), konflik dengan Timor-Leste yang berjalan selama lebih kurang tiga dekade (1975-1999), atau yang terkini makin memanasnya situasi di tanah Papua. Akan tetapi, pertanyaannya, “Apakah mereka, para pemerintah kita, berkenan membaca sastra?” Jika orang-orang di kalangan pemerintahan tak memiliki waktu luang untuk itu, maka setidaknya RRMK—bagi saya—telah memberikan tawaran bagi para aktivis agar tidak gegabah mengambil kesimpulan sebagaimana tokoh-tokoh dalam cerita. Aktivisme, bagaimanapun, tidak boleh rapuh di hadapan dominasi negara yang bertindak semena-mena.
Referensi:
Adler, Mortimer J., & Charles van Doren. 2012. How to Read a Book. Jakarta: Indonesia Publishing, hlm. 233.
Agamben, Giorgio. 2005. State of Exception. Chicago: The University of Chichago Press, hlm. 4.
Bajang, Irwan. 2008. Razonca: Rumah Merah Kita. Yogyakarta: Copernican.
Benjamin, Walter. 1986. Reflections: Essays, Aphorisms, Autobiographical Writings. New York: Schocken Books, hlm. 277-300.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 171.
Mills, Catherine. 2008. The Philosophy of Agamben. Montreal: McGill-Queen’s University Press, hlm. 61.
Ryan, Marie-Laure, & Alice Bell. 2019. “Introduction: Possible Worlds Theory Revisited” dalam Possible Worlds Theory and Contemporary Narratology. Dalam Alice Bell & Marie-Laure Ryan (Ed.). Lincoln & London: University of Nebraska Press, hlm. 9.
Sudibyo, Agus. 2019. Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, hlm. 3.