Membaca “Senja di Pelabuhan Kecil”
Di album-album lama
Berdebu pula
Aku tak menemukanmu ada
Ini televisi juga sama
Tak ada cerita diputar dalam sana
Kupikir ada siaran; tentang kita,
tentang adegan membaca puisi
sama-sama, atau malam
yang tak mau lama
Jadi untuk apa juga barang-barang lama ini digantung seantero rumah kopi?
Mobil tua, oh mobil tua
Kau pun cuma mainan saja
Mana kuat kau, bawa koper
penuh kisah lalu dua orang manusia!
(Sewon, 2020)
–
Disebabkan Malioboro
Disebabkan Malioboro
Kendaraan yang tua-tua
Melipat jarak menghimpun cerita
Malam kita habisi
Mampir di kios-kios kaki lima
Dan lalu pergi lagi
Menjemput lain-lain kisah
Jalan-jalan pusat kota
Meneriakkan lengking-nyaring
Nyanyian orang-orang miskin
Lampu-lampu malam
Meninabobokan mata-mata letih
Suara kaki kuda berlarian
Mengetuk telinga kanan-kiri
Malam itu, keloneng dokar
Menggemerincingkan ucapan
Selamat tidur yang paling ibu
Pulanglah kita…
Pagi-pagi buta besok harinya
Kujemput kau kembali
Berjalan-jalan lagi ke Malioboro
Membangunkan orang-orang tidur
Di sepanjang Jalan Katamso.
(Yogyakarta, 2023)
–
Yang Sebetulnya Terbakar
Langit terbakar
Adalah kalimat klise
Dalam puisi
Yang ditulis seorang
Penyair muda, yang pemula
Sok puitis, dan
Melebih-lebihkan
Tapi,
Puisi memang, kadang
Mesti berlebihan
Seperti kelaparan
Yang meringkuk
Di belanga kecil
Yang ditinggalkan
Perut terbakar
Adalah kalimat
Yang tak laku ditulis
Dalam puisi mutakhir kita
Yang mensyaratkan
Kalimat mendayu-indah
Tapi tak jujur apa adanya
Seolah kelaparan
Bukan
Bagian
Dari
Ungkapan
Perasaan
Manusia.
(Tamanan, 2023)
–
Mitos Kecantikan
Disebabkan Naomi Wolf…
Di kota ini
Seorang bidan menangis
Lebih kencang
Dari ibu yang beranak
Sebab anak-anak kecil
Yang lahir
Tak dapat memesan
Nasibnya sendiri
Orang-orang datang
Berdoa panjang-panjang
Di tanah, tempat
Wagirah pernah meratap
Menangisi anaknya
Yang dipaksa
Jadi cantik
Agar dilirik
Kota ini tengah bersolek
Merapikan diri
Melupakan kemiskinan
Dan kemelaratan
Yang buruk rupa
Tempat nyawa ditiup
Dalam periuk, pada
Pawon di desa-desa
Orang-orang meringkuk
Kelaparan-Kedinginan
Mengumpul-satukan
Penderitaan di jalanan
Mitos kecantikan
Adalah penyakit, yang
Hinggap di tubuh kota
Tempat tinggal kita
Dan kita akan terus
Merebut kesederhanaan
Yang disembunyikan
Sudut-sudut gelap
Tempat puisi ini
Megap-megap
Agar dibaca, sebab
Memang tak indah
Dan kita akan terus
Membaca Naomi Wolf
Sebagai seorang perempuan
Yang bukan, manusia
Sebab cantik itu luka
Dan kota romantik ini
Tak pernah berhasil
Melukai perasaan kita?
(Tamanan, 2023)
–
Pertanyaan
Dapatkah aku terjatuh
Pada susunan lenganmu?
Jauh-jauh hari
Pada hari-hari yang lalu
Sudah kurencanakan juga
Perjalanan panjang itu
Menuju kota
Yang panas membakar
Setiap cerita yang akan
Ada, kita dalamnya
Dapatkah aku terjatuh
Pada susunan lenganmu?
Sebab aku sudah saksikan
Sendiri dengan mataku
Perempuan-perempuan
Yang memanen berahi lelaki
Pada dadanya, yang
Ranum mawar
Tak indah menawan
Tapi segar memang
Dapatkah aku terjatuh
Pada susunan lenganmu?
Agar perjalanan
Tak selalu memaksa
Kita berlari, menuju
Kesia-siaan yang satu
Sebab ibu, sudah
Merindukan anakku
Sebab aku, sudah
Memilih rahimmu.
(Tamanan, 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA