Kalau kalian ingin tahu kenapa aku sampai tega melakukan perbuatan keji itu, aku akan menceritakan semuanya secara jujur. Namun, tanpa berusaha melebih-lebihkan, harus kuperingatkan bahwa ceritaku ini mungkin terdengar sedikit aneh dan bisa membuat siapa saja yang mendengarnya merasa tidak nyaman. Aku juga yakin beberapa dari kalian, barangkali sebagian besar malah, akan sulit memercayai setiap kalimat yang meluncur dari mulutku. Tapi sungguh, pengalamanku ini betul-betul nyata, dan bahkan sampai sekarang pun aku masih bisa mendengar rintihan iblis kecil itu mengalun di telinga dan kepalaku.
Supaya kalian memahami kronologinya dengan lebih gamblang, aku akan memulai cerita ini dari pernikahanku sekitar satu tahun yang lalu. Istriku adalah seorang janda beranak satu dan sehari-harinya ia bekerja di sebuah warung makan di pinggir jalan. Suami pertamanya konon seorang supir travel, dan aku tidak benar-benar tahu kenapa mereka bercerai; kecuali menurut versi istriku yang mengatakan ia suka main gila dengan perempuan lain dan baru ketahuan setelah umur anak mereka menginjak sembilan tahun. Hanya sebatas itu yang aku tahu. Selebihnya, aku tidak peduli. Aku toh mencintai istriku dan bersedia menerimanya walaupun ia janda.
Kehidupan kami di bulan-bulan pertama setelah pernikahan cukup bahagia. Aku bekerja di sebuah pabrik sepatu dengan bangga, meski penghasilanku hanya cukup untuk membayar sewa kontrakan sekaligus menopang kebutuhan kami sehari-hari—itu pun kadang aku masih berutang sedikit pada pinjaman online. Sementara istriku menggunakan uang hasil kerjanya di warung untuk biaya sekolah dan jajan anaknya, bocah lelaki berwajah bulat dengan kulit kecokelatan dan agak dekil. Kalau boleh jujur, aku tidak terlalu menyukai anak itu karena ia seorang pembohong yang parah; ia sering berbohong mengenai iuran ini dan itu di sekolah kepada sang ibu hanya agar memperoleh uang saku lebih. Ia terus melakukannya, padahal sudah sering ketahuan dan sudah sering kunasihati dengan berbagai cara.
Selain soal berbohong, hal lain yang membuatku sering muntab dengan kelakuan bocah itu adalah kebiasaannya membawa kucing ke rumah. Aku tidak menyukai kucing karena bagiku mereka adalah pencuri dan hewan yang bikin risih. Sudah beberapa kali kucing yang ia bawa mencuri pindang atau tempe di dapur, sehingga membuatku selalu kesal setengah mati. Dan kekesalanku makin bertambah bila melihat mereka mengeong ke arahku dengan mata memelas sambil menggosok-gosokkan kepala ke kakiku, bahkan setelah melakukan pencurian lauk, seolah mereka pantas dikasihani. Cih! Sungguh, rasanya ingin sekali kubanting mereka sekeras mungkin di lantai sampai mampus.
Namun, aku selalu ingat istriku dan hanya karena ia sajalah aku berusaha keras menahan gejolak amarah. Karena itu, yang paling sering kulakukan paling sekadar memarahi anak itu supaya tidak membawa kucing-kucing kampung masuk rumah lagi.
Pada suatu hari, kutegaskan padanya bahwa kucing adalah hewan terkutuk yang lebih baik tidak ada.
Sialnya, anak itu malah memberiku tatapan seperti para kucing kampung yang ia bawa. Dengan suara lembut yang dibuat-buat, ia berani menceramahiku sambil mengutip nasihat gurunya: kita harus mencintai semua mahluk hidup, termasuk binatang seperti kucing.
Aku tertawa dan kemudian dengan nada tinggi berkata bahwa kucing bukan mahluk yang pantas dicintai. Mereka itu mengganggu seperti hama atau mungkin lebih buruk lagi. Pokoknya, waktu itu banyak ungkapan kasar dan merendahkan yang kusampaikan ke anak tiriku berkaitan dengan bagaimana aku memandang kucing selama ini. Dan ia hanya menunduk murung. Aku tanpa henti mengatakan hal-hal buruk mengenai kucing, meski diam-diam saat itu aku juga mulai bertanya-tanya mengapa aku sebegitunya membenci mereka.
Setelah kumarahi, ia memang sempat berhenti membawa kucing ke rumah. Namun, ternyata cuma bertahan sebentar, karena delapan hari kemudian aku justru mendapati empat ekor bayi kucing dalam kardus teronggok di samping rumah pada suatu sore yang panas.
Aku baru pulang dari pabrik dan duduk sebentar di ruang depan untuk melepas penat sewaktu kudengar suara bayi-bayi kucing merintih. Rintihan mereka saling bersahutan, mungkin sedang menangis, memanggil-manggil induknya. Semula, aku berusaha cuek karena suara mereka kedengarannya tidak berasal dari dalam rumah. Lama-lama aku jengkel juga mendengar keparat-keparat itu. Suara mereka sangat menggangguku karena semakin lama didengarkan, rasa-rasanya suara rengekan mereka seperti telah masuk ke dalam kepalaku.
Maka, aku pun bangkit dari tempat duduk, lantas mulai mencari sumber suara, dan akhirnya kutemukan keparat-keparat itu dalam kardus di samping rumahku. Pikiranku tentu langsung tertuju kepada anak tiriku. Langsung saja kuseret ia yang sedang mengerjakan PR di kamar. Kubawa ia ke hadapan kardus berisi bayi-bayi kucing tersebut dan sambil menuding-nuding ke arah kardus, kumuntahkan kemarahanku sampai membuatnya ketakutan. Namun anak itu, karena saking takutnya melihatku marah, jadi tak mau mengaku kalau ia yang membawa bayi-bayi kucing tersebut.
Dasar penipu cilik!
Dengan nada mengancam, kuperingatkan ia bahwa aku tidak akan segan-segan mengubur empat bayi kucing itu kalau ia tidak mau mengaku. Ia tetap bergeming sambil menatapku ngeri. Kuulang peringatanku sekali lagi, tapi ia masih ketakutan dan tak mau mengaku. Akhirnya, pada peringatanku yang ketiga, ia mengaku memang telah membawa kucing itu ke rumah. Ia bilang, ia menemukannya di dekat persimpangan sekolah dan memungutnya karena kasihan. Bagus, kataku puas, sekarang kuperintahkan kau mengembalikan lagi mereka ke tempat di mana kau menemukannya!
Ia menuruti perintahku tanpa membantah. Dibawanya kardus berisi bayi-bayi kucing menyedihkan itu menjauh dari rumah.
Malam harinya, istriku meminta agar aku mengizinkan anaknya memelihara kucing. Sebelum menyampaikan maksudnya, terlebih dahulu ia benamkan aku dalam sebuah persetubuhan yang dahsyat. Istriku sangat menyayangi bocah itu dan ia tahu kelemahanku. Besoknya, kardus berisi empat anak kucing itu sudah ada lagi di samping rumah.
Aku sangat menyayangi istriku dan hanya karena menghormati kemauannyalah kubiarkan anak tiriku membawa si bayi-bayi kucing terlantar kembali. Jujur saja, aku masih merasa risih dan, karenanya, bila ada kesempatan aku selalu berusaha mengintimidasi anak tiriku supaya ia merasa tertekan dan mau berhenti mengurus kucing-kucingnya. Namun, usahaku tidak pernah berhasil; ia sangat meyayangi kucing-kucingnya.
Walau begitu, agaknya Tuhan jauh lebih sayang kepadaku. Sebab, tanpa aku perlu berbuat lebih jauh, tiga dari empat bayi kucing yang ia pungut rupanya mati secara beruntun dalam waktu yang agak berdekatan, entah kenapa. Hanya satu kucing saja yang tersisa, yang berwarna kuning kecokelatan layaknya tahi. Kucing sebatang kara itu bertahan sampai ia bisa berlari dan melompat. Itu menjadikannya lebih mengganggu daripada sewaktu masih bayi. Ia kerap nyelonong masuk ke kamarku bila aku sedang tidur. Tentu saja perbuatannya membuatku marah sampai-sampai pernah kulempar ia melalui jendela. Ia juga pernah mencuri telur yang baru kudadar dan tak memakannya. Hanya menyeretnya dari piring selagi aku ke toilet sebentar. Begitu mendapati perbuatan terkutuk si kucing, aku menghadiahinya sebuah tendangan tepat di bagian perut.
Entah bagaimana, kucing itu lalu menjadi bulan-bulananku setiap kali aku sedang dalam situasi kesal dan lelah. Terkadang, tanpa alasan jelas, aku kesal hanya dengan melihatnya tidur di meja ruang tamu. Kemudian, aku akan melemparnya dan menendang muka atau perutnya, dengan kencang, seperti menendang sebuah bola. Anak tiriku tak pernah berani terang-terangan marah padaku tiap kali kuaniaya kucingnya. Ia cuma akan membawa si kucing pergi, merawat lukanya, dan memberinya makan.
Aku makin sering menjadikan kucing itu sebagai samsak. Apa lagi sejak aku kena PHK dari pabrik tempatku selama ini bekerja. Kurasa, waktu-waktu itu rezekiku sedang seret karena setelahnya aku sulit memperoleh kerjaan lagi. Sehingga, untuk menopang hidup, aku pun bekerja serabutan atau ikut tetangga menggarap proyek-proyek pembangunan sambil menanti peluang lain.
Penghasilanku tidak lagi sebanyak dulu, meskipun aku bekerja lebih keras. Aku juga merasa istriku mulai meremehkanku sebagaimana para tetangga. Terkadang, dengan nada sedih, ia memberiku sejumlah uang; tapi alih-alih menganggapnya sebagai bentuk kasih sayang, aku justru merasa diperlakukan sebagai suami yang tak memiliki harga diri. Dalam situasi tertekan, aku mulai mencari penghiburan untuk jiwaku yang nelangsa, dengan mabuk saban malam.
Namun, tiap hari rasanya aku seperti direndam dalam kemarahan. Dan aku mulai melampiaskannya pada apa saja, termasuk kucing itu. Aku betul-betul kesal tiap kali melihatnya menatapku dan mengeong; kini bahkan tatapan kucing itu seperti menghinaku. Aku sungguh tak tahan dan selalu mengganjar tatapan menyedihkannya dengan sebuah tendangan atau lemparan sandal hampir tiap hari. Hingga suatu ketika, kemarahanku meluap sedemikian rupa, dan kugorok leher kucing tersebut sampai ia tewas.
Bocah itu, anak tiriku, tidak tahu apa yang terjadi dengan kucingnya karena aku segera mengubur mayat si kucing di belakang rumah. Ia hanya mengira kucingnya sedang berkeliaran ke suatu tempat. Aku merasa tenang, tapi entah kenapa, aku juga merasa hampa, setelah membunuh kucing itu; bagaimana pun, sebenci-bencinya aku terhadap kucing, ini pertama kalinya aku sampai membunuh hewan tersebut. Aku tidak bisa melupakan tatapan putus asanya ketika pelan-pelan kuiris lehernya yang kurus dan suaranya yang lemah merintih bagaikan meminta ampun.
Dan pada malam hari setelahnya, aku seperti bisa melihat bayangan kucing yang kubunuh duduk di meja ruang tamu atau masuk ke kamar. Terkadang, tanpa bisa kupahami, aku bahkan seperti mendengar suaranya merengek, persis seperti ketika aku hendak menggorok lehernya.
Aku berusaha cuek pada mulanya. Kuanggap itu sekadar khayalan. Namun, dalam beberapa hari terakhir, bayangan-bayangan dan suaranya selalu hadir tiap malam, entah dalam mimpi atau ketika aku terjaga. Aku sungguh tidak tahan. Bahkan sebotol anggur merah yang biasanya sukses mengusir gelisah pun tak mampu membuyarkan sosok kucing itu. Ia pasti jelmaan iblis! Pasti!
Sempat aku menceritakan ihwal gangguan yang kualami kepada istriku. Namun, ia malah curiga akulah orang di balik hilangnya kucing peliharaan anaknya. Tentu aku tak mengaku. Lagi pula, anak tiriku juga tidak akan bertanya kepadaku soal ini. Saat itu, ia masih mengira kucingnya sedang berkeliaran dan percaya bahwa suatu hari binatang itu akan kembali. Ia sendiri berusaha tidak kelihatan khawatir, meski diam-diam ia terus mencari kucing kesayangannya, sampai kemudian terjadilah peristiwa yang tragis itu.
Hari itu, aku bangun pukul sepuluh pagi. Istriku kebetulan sedang libur dan kudengar suaranya memasak di dapur. Aku bangkit dari tempat tidur dan hendak menyusulnya ke dapur untuk makan, ketika aku mendengar suara kucing mengeong dari arah ruang tamu. Aku tidak yakin, tapi kedengarannya itu seperti suara kucing anak tiriku. Maka sembari mengumpulkan kesadaran, aku pergi menuju ke arah sumber suara tersebut dan betapa kaget aku melihat kucing berwarna kuning kecokelatan itu kembali hidup!
Ia duduk di atas meja sambil menatapku dengan sorot matanya, tapi kali ini bukan tatapan putus asa, melainkan tatapan yang merendahkan.
Sekali lagi, aku kalap. Aku tak peduli kau hantu kucing atau siluman atau apa pun! Seruku waktu itu. Maka aku pun menangkapnya, lantas membantingnya ke lantai. Kali ini aku memukul-mukulkan sandal ke mukanya dan kemudian mencekik lehernya sekuat mungkin.
Tiba-tiba saja istriku menghambur ke arahku dan berusaha menarik tanganku dari si kucing. Namun, aku malah semakin kuat mencekik lehernya dengan hasrat membunuh yang dahsyat sampai kudengar istriku menangis dan memohon-mohon. Aku menoleh ke arahnya dengan heran. Istriku berseru, jangan bunuh anak kita!
Anak kita? Seketika aku pun disusupi rasa ngeri yang sukar dijelaskan. Lalu aku kembali menoleh ke arah si kucing dan betapa terkejutnya aku karena ternyata aku justru sedang mencekik anak tiriku sendiri.
Yogyakarta, 2021
Ceritanya sangat bagus dan menarik.
Saya bahkan terlarut dalam suasana. Terlebih saya paham betul si penulis adalah pecinta kucing. Namun dia begitu piawai menceritakan alasan bagaimana seseorang begitu bencinya terhadap kucing.
Saya sempat berfikir cerita ini bisa saya masukkan pengantar untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sayangnya ada beberapa kalimat vulgar yang tidak boleh ditampilkan untuk anak SD. Jadi saya pikir cerpen ini untuk kategori remaja-dewasa.
Salam sayang untuk si penulis. Saya tunggu karya-karya selanjutnya.
Sebagai seorang yang anti kucing , saya cukup tertegun dengan penggambaran pengarang terhadap sosok yang anti kucing.