.

Dia yang Menunggu di Teras

Gilang Bina

6 min read

Malam semakin larut, gugusan bintang teramat kalut, tetapi harapnya belum surut. Bagai pungguk merindukan bulan, ia masih saja duduk mematung di atas kursi yang berada di teras rumahnya. Riuh ramai suara kendaraan yang melintas di jalan depan rumahnya semakin susut dihisap oleh kebisuannya. Matanya nanar menatap ke arah kursi kosong yang ada di hadapannya, yang hanya dibatasi oleh sebuah meja kayu. Di sanalah, terakhir kali kekasihnya duduk dan berbincang-bincang dengannya, sebelum sang kekasih berpamitan untuk pergi ke Jakarta selama dua bulan, tapi hingga berbulan-bulan tiada kabarnya. Ia tidak tahu tepatnya, berada di mana kekasihnya. Yang ia tahu, kekasihnya pergi ke Jakarta terkait dengan urusan organisasi yang diikutinya.

***

Malam itu masih terpatri dalam ingatannya, rinai gerimis masih berjatuhan sekitar pukul sepuluh malam. Ketika ia tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, ayahnya mengetuk pintu kamarnya, mengabarkan bahwa Bima, temannya datang untuk menemuinya. Ayahnya memang tidak mengatakan bahwa Bima adalah kekasih putrinya, tapi ia tahu kalau di antara putrinya dengan lelaki itu terjalin suatu hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan. Sebab, ketika putrinya masih bersekolah di SMU, Bima selalu mengantar pulang putrinya dan mampir sebentar untuk sekadar berbincang atau minum teh di teras rumahnya. Sampai sekarang pun Bima masih sering bertamu ke rumahnya, walaupun tidak sesering dulu.

Dengan perasaan agak jengkel, terpaksa ia meninggalkan tugas kuliahnya, dan menemui kekasihnya yang telah menunggunya di teras. Namun, rasa jengkelnya seketika lenyap digantikan rasa cemas yang entah dari mana asalnya, ketika ia merasakan kalau kekasihnya terlihat tidak seperti biasanya. Dia memasang wajah yang cukup tegang, mengenakan jaket denim yang sedikit basah dan membawa ransel merah marun favoritnya yang terlihat terisi penuh, seperti orang yang hendak bepergian jauh.

“Ayu,” begitulah Bima biasa memanggilnya.

“Ada apa, Bim, malam-malam kamu datang ke sini? Mau minum dulu?”

“Tidak perlu, Yu, aku hanya ingin berpamitan kepadamu.”

Ia sempat tertegun barang sejenak. Kini ia tahu dari mana asalnya rasa cemas yang tiba-tiba saja timbul di dalam dirinya. Walau begitu, ia berusaha untuk menguasai dirinya kembali dan tetap terlihat tenang.

“Pamit? Kamu mau pamit ke mana, Bim?”

“Aku akan pergi ke Jakarta.”

“Kenapa mendadak?”

“Situasinya teramat pelik, Yu. Beberapa pimpinan organisasi tertangkap, aku ditugaskan untuk menggantikan mereka.”

Bagai duri di dalam kepala, jawaban yang keluar dari mulut kekasihnya itu amat mengganjal di dalam pikirannya.

Ia tahu kondisi politik di Jakarta sedang kacau akibat kerusuhan yang menimpa sebuah kantor partai politik beberapa hari yang lalu. Aparat militer tengah berusaha mencari orang-orang yang dituduh sebagai dalang dari kerusuhan itu, bahkan seorang jenderal mengintruksikan tembak di tempat kepada orang-orang itu. Orang-orang yang sama, yang akan digantikan tugasnya oleh kekasihnya. Ia mengetahui kabar itu semua dari koran langganan ayahnya, yang biasa dibacanya untuk mengetahui situasi politik terkait urusannya dengan kekasihnya.

Sebenarnya ia hendak menahan kekasihnya, tapi rasanya percuma jika ia mencoba untuk menghalang-halangi kepergiannya, karena ia tahu, Bima bukanlah seorang penurut. Bukan berarti kekasihnya adalah orang yang egois, Bima adalah orang yang teramat peduli terhadap orang lain, sampai lupa untuk peduli terhadap dirinya sendiri.

Bima bisa membaca kekhawatiran dari raut wajah kekasihnya, ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Ingat kau, Yu? Dulu saat kita masih sekolah, kau melarangku untuk ikut berkelahi dengan anak sekolah lain. Dan apa yang terjadi? Tujuh jahitan di kepalaku, Yu, akibat terkena lemparan batu.”

Raut wajah sang kekasih berubah, menyungging senyum di ujung bibirnya ketika mengingat masa itu. Rahayu teringat ketika paginya ia menengok Bima di rumahnya. Walaupun kepalanya diikat perban, kekasihnya itu masih saja asik menceritakan bagaimana proses perkelahiannya dengan anak sekolah lain.

“Kau jangan khawatir, aku hanya pergi untuk dua bulan saja. Setelah semua keadaan membaik, aku akan kembali. Akan kuusahakan setiap hari menelepon ke rumahmu, Yu.”

“Sekarang kamu mau naik apa ke stasiun? Biar nanti Ayah saja yang mengantar.”

“Tidak perlu, Yu, sebentar lagi kawanku akan datang menjemput.”

“Kau akan menginap di stasiun, Bim?”

“Tidak. Aku akan menginap di rumah kawanku. Lalu sebelum azan Subuh, aku sudah harus berada di stasiun untuk menaiki kereta yang berangkat paling awal.”

Persis seperti yang dikatakan kekasihnya. Sebuah sepeda motor yang menembus rinai-rinai gerimis, berhenti tepat di depan teras rumahnya.

Sebelum pergi, Bima menengok ke arah kekasihnya yang berdiri di luar pagar. Ia perhatikan sorot matanya yang nanar, sorot mata itu seakan-akan berkata kepadanya, “jangan pergi! Kumohon jangan pergi, sesuatu akan terjadi!”

Awalnya sorot mata itu membuatnya ragu, tetapi ia segera menarik napas dalam-dalam. Bau tanah yang diguyur air hujan mulai mengikis keraguannya.

***

Di bulan pertama kepergian Bima ke Jakarta, beberapa kali Rahayu masih mendapatkan kabar melalui telepon yang terpasang di rumahnya. Bima selalu mengabarkan kalau dia baik-baik saja, dan akan segera pulang ke Solo. Bima juga menjelaskan kalau dia harus berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari pengejaran aparat militer. Kadang Bima menyebut kalau dia berada di Slipi, kadang berada di Tanah Tinggi, kadang berada di Klender, nama-nama tempat yang ia tidak tahu di mana lokasi tepatnya, ia hanya tahu kalau tempat itu berada di Jakarta.

Namun, memasuki bulan kedua kepergian Bima ke Jakarta, telepon yang terpasang di rumahnya tidak pernah berdering kembali untuk menyampaikan kabar tentang kekasihnya di sana. Bagai duri dalam daging, persoalan ini sangat mengusik rutinitasnya. Ia jadi sering melamun ketika proses pembelajaran di kampus. Teman-temannya juga mengatakan kalau kini ia terlihat kehilangan keriangannya.

Ia tidak hanya tinggal diam, dan menunggu sampai telepon di rumahnya kembali berdering. Pertama-tama, ia berusaha menemui kedua orang tua Bima di rumahnya, lalu mencari informasi dari teman-teman sekolah Bima. Tapi hasilnya nihil, kedua orang tuanya bahkan tidak pernah menerima kabar dari Bima semenjak dia pergi ke Jakarta.

Yang kedua, hampir setiap hari, ia tidak pernah absen untuk mengecek berita-berita di dalam koran. Ia berharap koran itu dapat memberi satu atau dua petunjuk kepadanya tentang keberadaan kekasihnya di sana. Tapi semakin hari, lembaran koran-koran itu semakin lama semakin lusuh, semakin usang, dan tiada lagi memberikan secercah harapan kepada dirinya.

***

Hingga suatu malam, sekitar pukul delapan. Ketika ia tengah tertidur, ayahnya mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Awalnya ia merasa kesal, karena tubuhnya teramat lelah sehabis menjalani aktivitas di kampus. Namun, ia seakan mendapat suatu dorongan yang entah dari mana asalnya, ketika ayahnya mengabarkan kalau Bima tengah menunggunya di teras. Ia tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu. Perasaan kesal dan rindu seakan menjadi satu kesatuan yang tak dapat dibedakan. Ingin sekali ia memarahi kekasihnya karena telah membuatnya khawatir, tapi di satu sisi ia juga teramat rindu bercengkerama dengannya.

Ia segera bangkit dan berjalan menuju teras rumahnya. Namun, sesampainya di teras, dengan tatapan tak percaya, ia mendapati dua orang pria berjaket tebal tengah memukuli kekasihnya seraya menyeretnya keluar dari teras rumahnya. Ia mencoba berteriak meminta tolong, tapi suaranya senyap, tiada yang keluar selain air mata yang merembes menuruni pipinya. Ia berlari masuk ke dalam rumah mencoba untuk menemui ayah dan ibunya, tetapi tiada seorangpun yang didapatinya. Hingga akhirnya, pekik azan Subuh membangunkan dirinya yang telah diselimuti peluh di sekujur tubuh.

***

Semenjak mimpi itu hadir ke dalam tidurnya, setiap hari menjelang pukul sepuluh malam, seperti saat ini, ia akan duduk di kursi yang berada di teras, menatap ke arah kursi kosong yang ada di hadapannya, dan sesekali melongok ke luar ketika mendengar suara kendaraan berhenti di depan teras rumahnya.

Ketika jarum jam hendak merapat ke angka sebelas, ibunya menengok ke arah teras dan berdiri tepat di ambang pintu masuk.

“Sudahlah, Nduk. Hari sudah larut malam, Bima tidak akan datang.”

“Sebentar lagi, Bu. Ayu yakin Bima akan datang.”

Ibunya dapat merasakan kegetiran dari kata-kata yang diucapkan oleh anaknya. Walau begitu, ia tidak dapat berbuat banyak. Mungkin, dengan membiarkan anaknya menunggu Bima datang, itu akan lebih membantunya.

Ia hanya khawatir jika terjadi kejadian seperti beberapa hari yang lalu. Malam itu masih pukul sepuluh ketika ia tengah berada di dapur menyiapkan kopi untuk suaminya. Dari arah depan terdengar suara ribut-ribut. Ketika ia dan suaminya menghampiri sumber suara itu, mereka mendapati anaknya tengah berdebat dengan dua orang pria berjaket tebal. Pria itu menanyakan informasi tentang Bima kepada anaknya, tapi sang anak bersitegang membungkam mulutnya dan menyangkal mengenali Bima.

Ia segera menghampiri dan memeluk anaknya yang lantas menangis tersedu-sedu dalam pelukannya, sedangkan suaminya mencoba untuk menjelaskan kepada kedua orang itu, kalau keluarganya memang tidak mengenali nama orang yang tengah dicari-cari oleh mereka.

“Ya sudah, nanti kalau sudah jam 11 kamu masuk dan tutup pintunya ya, Nduk. Banyak nyamuk masuk soalnya,” ucap ibunya seraya masuk ke dalam rumah.

Tak lama ibunya beranjak masuk ke dalam. Tepat ketika jarum jam merapat ke angka sebelas, seorang pengendara motor berhenti di depan teras rumahnya. Pengendara itu adalah seorang pemuda berperawakan pendek, dengan rambut sebahu, persis seperti Bima. Dia memarkir sepeda motornya, dan berjalan menghampiri Rahayu yang tengah bertanya-tanya dengan rasa curiga.

Pemuda itu berdiri di depan gerbang seraya mengucap permisi kepada Rahayu. Dia menanyakan apa benar kalau rumah itu adalah rumah Rahayu. Rahayu membenarkan kalau rumah itu adalah rumahnya, tetapi ia mencoba untuk tetap waspada, dan tidak langsung menyuruh pemuda itu masuk.

Pemuda itu mengaku bernama Lutfi, dia adalah seorang aktivis, kawan dari Bima, yang biasa bertugas sebagai seorang kurir dalam organisasi. Dia menyerahkan sebuah bungkusan hitam yang berbentuk persegi panjang kepada Rahayu. Namun, Rahayu tidak segera menerimanya, ia khawatir kalau orang ini adalah salah satu anggota dari dua pria yang mengunjunginya beberapa hari yang lalu. Tapi, pemuda itu segera menepis keraguannya dengan membuka bungkusan itu, yang ternyata adalah sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia. Salah satu novel yang dijanjikan Bima akan diberikan kepadanya setibanya kembali ke Solo.

Matanya agak sembap ketika tangannya menerima novel itu, ia lalu mencoba menanyakan kabar kekasihnya kepada pemuda itu. Pemuda itu menjelaskan kalau novel itu ditemukannya di rumah susun Klender tak lama setelah dia pulang dari rapat organisasi. Dia mengatakan sesampainya di sana, rumah susun tempat tinggalnya dalam kondisi berantakan. Dia menemukan novel itu di dalam ransel marun milik Bima. Dia teringat kalau suatu waktu Bima pernah menelepon kekasihnya di telepon umum, Bima berbicara kalau sepulang dari Jakarta akan memberikan novel itu kepada kekasihnya, tapi semenjak kejadian itu, Bima dan dua orang kawannya hilang dari radar pergerakan, ada yang menduga mereka bertiga diculik oleh pasukan khusus.

Namun, pemuda itu mencoba untuk menenangkan Rahayu dengan memberikan beberapa kemungkinan. Menurutnya, bisa saja Bima dan kawannya mencoba untuk bersembunyi dari kejaran pasukan khusus, sehingga mereka terpaksa memutus kontak dengan beberapa kawan aktivis lainnya.

Ketika situasi politik di Jakarta semakin kacau, Lutfi memutuskan untuk merunduk dengan pergi ke Solo. Sesampainya di Solo, dia teringat kembali dengan novel milik Bima. Dia sebagai sahabatnya merasa kalau barang ini harus segera diserahkan. Dia mencoba menanyakan ke beberapa kawan tentang alamat kekasih Bima yang bernama Rahayu. Hingga akhirnya dia mendapatkannya dari salah seorang kawan sekolah Bima.

Setelah menjelaskan semua informasi yang diketahuinya, pemuda itu lantas pamit undur diri. Dia tidak bisa berlama-lama karena akan berbahaya bagi dirinya dan juga bagi Rahayu.

Di kamarnya, Rahayu mulai membolak-balik lembaran novel itu, sekadar untuk mengobati rasa rindunya, dan upaya untuk mengikis berita buruk tentang Bima yang sedari tadi mengganjal di dalam hatinya. Ketika ia tengah asyik membolak-balik, sebuah kertas usang yang telah menguning tak sengaja jatuh dari lembaran novel itu. Ia mengambilnya, di bagian atas tertulis namanya. Ia mulai membacanya, sebuah sajak.

***

Untuk Rahayu

Kenang, kenanglah aku.

Seperti saat sekolah dulu.

Ketika seluruh waktu kucurahkan untukmu.

Ketika tiada waktu kulewatkan tanpamu.

Kenang, kenanglah aku.

Seperti saat pertama kali kita bertemu.

Waktu itu di kelas satu.

Engkau duduk di depanku.

Kenang, kenanglah aku.

Seperti waktu kita duduk di terasmu.

Berbicara dan tertawa tanpa jemu.

Sambil aku menikmati manisnya wajahmu.

Kenang, kenanglah aku.

Ketika waktu

merenggut semua itu.

Ketika waktu

menghalangi kita bertemu.

***

Bagai diterpa gelombang yang besar, seluruh air matanya yang terbendung kini tak dapat tertahan lagi.

“Tak perlu kau suruh, Bim, aku akan selalu mengenangmu,” ucapnya dalam hati yang teramat sendu.

***

 

Cibubur, 3 Oktober 2021

 

Gilang Bina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email