Hari itu, aku dan kedua orangtuaku pergi ke bioskop. Kami menaiki Revo kuning milik Ayah. Aku duduk di tengah, memeluk pinggang kurus Ayah, sementara Ibu nampak tertekan di belakang karena khawatir sisa jok tak muat pada tubuh besarnya dan ia sewaktu-waktu akan terpelanting ke aspal. Langit cerah dan udara hangat menerpa wajahku. Sangat jarang kami pergi bersama. Aku senang, meski ibuku tak henti-hentinya mengeluhkan keram di pantatnya.
Aku dan Ayah sebenarnya tidak harus ikut. Satu-satunya alasan yang membuat Ayah pergi adalah karena dia merasa bertanggung jawab atas keterlambatan Ibu. Sejak asam lambungnya kambuh, Ayah selalu bikin ulah waktu sarapan pagi dan itu membuang lima belas menit berharga Ibu untuk berdandan. Hari ini ia diperlukan untuk menembus macetnya jalanan kota. Sementara aku sendiri diikutkan karena ibuku khawatir aku akan menghabiskan liburan dengan menonton video-video tak senonoh di warnet. “Melihat antusiasme penonton hari ini,” komentar ibuku atas kemacetan, “kita benar-benar harus sampai ke bioskop sebelum pukul sembilan. Kalau perlu sebelum mall buka, berdiri di antrean paling depan.”
Ayah selalu memprotes, apa menariknya sih film berjudul Roman di Bawah Langit Kairo 2 itu. Ia mungkin tak tahu, tetapi aku bisa mengerti perasaan Ibu. Menurut Bilqis, teman sebangkuku di kelas tujuh, itu adalah film romantis yang akan membuat siapa pun menangis tersedu-sedu di akhir cerita. Hanya orang yang gak update sajalah yang tak mengetahuinya, kata Bilqis dengan lagak sombong. Film itu merupakan kelanjutan dari cerita sebelumnya, di mana Fahri, si mahasiswa miskin yang bersekolah di Mesir harus menikah lagi dengan Zaenab, janda kaya raya. Lagi-lagi cinta segitiga.
“Perasaan Nayla hancur,” kata Bilqis, “Dia ingin bunuh diri tetapi takut masuk neraka. Jadi, Nayla merelakan suaminya untuk menikah lagi.”
“Berarti suaminya jahat, dong?” sahut Mail Botak.
“Suaminya tidak jahat!” sergah Bilqis, “Suaminya melakukan poligami dan itu diperbolehkan dalam agama.”
Kami memang tidak mempelajari poligami di SMP. Namun, aku tak meragukan kecerewetan Bilqis. Bocah dengan kawat gigi itu tahu banyak pembicaraan orang dewasa dibanding siswa lain di kelas kami. Di usianya yang seperti itu dia sering mendapat teguran dari guru karena kebiasaannya berdandan menor seperti ibunya. Ia tahu banyak hal, termasuk semua aktor pemeran film ini; Fahri diperankan oleh artis muda keturunan Indo-Spanyol, Raul Williams. Zaenab diperankan oleh artis berpengalaman Rosa Amantia, dan Nayla yang sebelumnya membintangi film anak-anak. Bilqis juga mengutip perkataan bapak Menteri Agama yang memuji film tersebut, mengatakan bahwa ini lebih mendidik ketimbang film Dono atau Suster Ngesot.
Hari ini jalanan benar-benar penuh sesak. Aku ragu dengan perkataan Ibu bahwa kemacetan terjadi karena semua orang memiliki tujuan yang sama dengan kami. Kendaraan di depan kami tak bergerak seinchi pun. Dari spion aku bisa melihat ekpresi gelisah Ibu yang terus-menerus mengipasi bedak di wajahnya. Ia meminta ayah untuk mengambil jalan lain tetapi pemandangan di belakang kami tak memungkinkan untuk memutar balik. Barisan mengular sejauh mata memandang, orang-orang mengeluarkan kepala dari jendela mobil, membunyikan klakson yang bikin pusing kepala.
Tiba-tiba beberapa remaja pengamen berlarian melawan arah menuju kami. Mereka meneriakkan sesuatu yang memancing orang keluar dari mobil masing-masing. “Apa katanya?” tanya seseorang di belakang kami. Lelaki yang berada di Avanza depan menyahut, memberitahu sepertinya ada insiden di depan sana. Dan seorang lain entah siapa mulai berteriak, “Api… api…!!!” “Sesuatu nampaknya telah terbakar,” sahut yang lain. Itu benar, aku pun mencium bau gosong. “Mungkin teroris sedang meledakkan gereja.” Ayah bersiap untuk memutar paksa Revo kuningnya.
“Tidak,” kata pengamen yang melintas di samping kami, “mereka telah membakar seseorang.”
Mereka sungguh membakar seseorang. Polisi datang terlambat dan hanya mendapati seonggok mayat gosong dengan sekujur badannya masih menyisakan bunga-bunga api kecil. Bau daging naik ke udara dan ketika kami melewati mayat itu, Ibu mengoek pendek. Ia mengatakan perutnya mual dan ingin muntah dan memaksa kami untuk segera enyah dari tempat itu. Namun, kendaraan yang berhenti di tengah-tengah dan rasa penasaran orang-orang menjadikannya mustahil. Semua orang turun dari kendaraan mereka dan mengeluarkan ponsel untuk beberapa gambar.
Aku menggandeng tangan Ayah, menyebrangi jalan untuk mendekati lokasi dan meninggalkan Ibu sendirian di atas motor. Mayat itu tergeletak di Jalan Mesjid Besar nomor 18. Seorang lelaki berpakaian gamis panjang berwarna putih sedang berbicara dengan polisi gendut. Petugas yang datang belakangan segera menelpon ambulans sambil berteriak kasar, menghalau warga lain yang memegang balok dan batu di sekeliling korban. Orang-orang ini nampaknya sangat marah dan terus-terusan mengumpati si mayat. Polisi itu berbicara melalui handy talky-nya dengan kesal, melapor bahwa massa jadi tak terkendali.
Adu mulut terjadi antara si petugas dan lelaki berbaju putih yang dipanggil ustad. Polisi gendut itu mencoba meyakinkan bahwa bagaimana pun tindakan mereka tetap tidak bisa diterima secara hukum. “Anda seharusnya menelpon polisi dan bukannya main hakim sendiri.”
“Tapi, Pak Polisi,” kata si Ustad, “Perbuatan lelaki ini telah menyinggung kebesaran Tuhan. Adakah dosa yang lebih besar selain dosa yang dilakukan di rumah Allah? Di masjidNya?” Polisi itu memandangi orang-orang yang mengelilinginya, tahu bahwa perkataan si ustad mendapat dukungan semua orang. Berlindung di belakang kaki Ayah, kuperhatikan sekali lagi mayat itu, tubuhnya masih memercikkan bunga-bunga api.
“Kalian belum lagi memastikan bahwa dia memang terbukti melakukan kejahatan ini. Bagaimana jika dia tak bersalah?”
“Tidak mungkin,” sergah yang lain. “Jelas-jelas dia ketangkap basah ketika hendak membawa barang curiannya pergi,” Ia menunjuk motor milik pelaku di parkiran.
Polisi itu mengusir warga dengan kibasan tangannya dan pergi memeriksa barang bukti. Aku dan Ayah kembali ke sepeda motor bersama warga yang lain. Disebutkan bahwa lelaki itu mati dibakar atas tuduhan mencuri amplifier mesjid. “Tapi, apakah itu tidak begitu berlebihan?” tanya Ibu kepada sepasang muda-mudi yang baru saja akan naik ke motornya.
“Tidak, Tante,” kata si lelaki, “mencuri dari masjid adalah tindakan paling menghina Tuhan.”
“Dia mencuri di rumah Allah. Itu tak bisa dibenarkan oleh alasan apa pun,” sambung yang perempuan, dan keduanya nampak puas dengan penyimpulan yang mereka kutip dari si ustad.
Beberapa orang lain yang ada di sana muncul dengan rasa penasaran, bertanya dari balik jendela mobil masing-masing, dan hanya mengangguk pendek dan berlalu seolah membenarkan bahwa balasan untuk perbuatan sejenis ini adalah kematian yang kejam. Dengan dibakar hidup-hidup, misalnya.
Ketika kami berhasil keluar dari kemacetan, Ayah dan Ibu masih membicarakan kejadian ini. Ibu memandang jauh ke suatu titik di langit, terlihat shock dengan apa yang dilihatnya. Ia terus-terusan menutupi mulutnya dan merasa pengin muntah. Ia bahkan tak lagi memprotes ketika Ayah kehilangan konsentrasi dan salah mengambil jalan sehingga kami harus memutar sejauh dua kilometer untuk kembali ke jalur yang tepat.
Ibu juga tak memedulikan ketika petugas tiket bioskop salah memberi kami kursi. Ia hanya tersenyum hambar sementara Ayah tak mengatakan apa pun. Sepanjang berlangsungnya film aku masih mendengar keduanya membicarakan satu dua hal tentang mayat itu. Bahkan ketika film memutar adegan Nayla divonis kanker stadium akhir dan Fahri bersujud di bawah langit malam sambil berderai air mata memohon kepada Tuhan untuk keselamatan istrinya, Ayah dan Ibu masih bertukar komentar dengan saling mendekatkan telinga dan mulut di belakang kepalaku.
“Kau pikir coba,” bisik Ayah, “bagaimana jika yang mati itu adalah ayah dari sebuah keluarga dengan anak-anak yang masih kecil.”
“Sudah, Bahar. Jangan bilang itu lagi. Perutku serasa diblender,” balas Ibu.
Keluar dari gedung bioskop aku bertemu dengan Bilqis dan ibunya. Seperti biasa Bilqis menceritakan ulang jalan ceritanya seolah-olah aku tidak bisa memahami film tanpa bantuannya. Aku bertanya apakah ia sudah dengar peristiwa mayat yang terbakar itu? Tapi ia sepertinya tak mendengarku dan malah memperlihatkan foto-fotonya dengan Raul Williams. Aku bertanya kepada Ibu apakah ingin mengantre seperti orang-orang itu, untuk beberapa foto dengan para pemeran utama? Ibu tak menjawab apa pun dan hanya menggeleng sambil menutupi mulutnya. Kami memahaminya sebagai ajakan untuk segera pulang.
Sesampainya di rumah, Ibu muntah-muntah hebat. Ia keluar masuk toilet sebanyak enam kali dan terus-terusan menyumpahi pemandangan yang dilihatnya tadi pagi. Aku tak pernah menyangka bahwa hari minggu kami akan berakhir seperti itu. Aku bahkan belum menanyakan tanggapan Ibu tentang bagaimana ceritanya sehingga film itu berakhir bahagia bagi Fahri sementara kedua istrinya tak saling bicara. Ibu telah jatuh tertidur di ruang tengah.
Pukul tujuh malam ayahku menyetel berita televisi dan duduk di samping ibuku. Presenter membacakan kronologi berita tadi siang. Polisi mengeluarkan laporan bahwa lelaki yang mati dibakar itu adalah seorang tukang servis radio. Polisi menemukan banyak barang bekas dan perkakas kelistrikan di dalam bagasi motornya. Tapi mereka tak menemukan satu pun benda masjid yang hilang. Lelaki yang mati dibakar itu bukan pencuri.
Namun, polisi kebingungan untuk menemukan siapa pelaku pembakaran. Sebab setiap orang yang ada di lokasi pagi itu, ramai-ramai ikut membakar.
Polisi juga telah menemui istri dan anak-anak korban yang masih kecil di rumah kontrakan mereka di sebuah gang sempit. Perempuan itu menangis histeris mengetahui bahwa suaminya telah mati dibakar. Ia mengatakan bahwa sudah jadi kebiasaan suaminya untuk singgah pada jam-jam seperti itu di masjid mana pun untuk melakukan sholat dhuha memohon kemudahan rejeki.
Ayah mematikan televisi dan mengumpat kasar, “Biadab!!” Ia berpaling kepadaku dan berkata, “Cuci kakimu dan masuk ke kamar.”
Sesaat setelah mengatakan itu Ayah menghambur masuk ke toilet. Aku mendengar banyak oekan panjang, tumpahan cairan ke lantai dan bunyi keran air untuk waktu yang lama. Aku menyalakan televisi kembali, penasaran dengan cerita sebenarnya. Namun berita telah berganti.
Sekarang mereka menayangkan berita tentang kesuksesan Roman di Bawah Langit Kairo 2 yang mendapat banyak keuntungan penjualan tiket di hari pertamanya. Itu adalah liputan di bioskop tempat kami menonton tadi siang. Kamera menampilkan bapak Menteri Agama yang menghimbau masyarakat untuk menonton film ini karena penuh dengan pesan-pesan moral dan kebaikan Islam.
“Tentunya ini sebuah kemajuan bagi industri film kita,” katanya sambil memasang senyum ke kamera. Di latar belakang aku melihat Bilqis dan ibunya, dalam tampilan norak seperti biasa, tengah melambai-lambai ke kamera. Saat itu juga aku bisa merasakan sesuatu sedang teraduk-aduk dalam perutku, menekan kasar, memaksa untuk naik ke kerongkonganku.
Ketika tak tertahankan lagi, aku melompat masuk ke toilet dan berdiri di samping Ayah dan menumpahkan semuanya. “Sudah kukatakan untuk tidak menyalakan tvnya,” bentak Ayah. Kami lalu muntah sama-sama.[]