Demikianlah Cinta Itu

Gaza Manta

7 min read

Pertama, mari kita bayangkan bahwa sepasang manusia itu ada dan cinta itu ada.

Lalu kita menggelar sebuah panggung. Lantai kayu saja tidak apa-apa. Kita taruh beberapa buah meja di panggung yang sempit dan kita letakkan kursi mengitarinya. Di tengah kita menaruh meja bar yang ideal bagi panggung kita yang tak seberapa besar. Jangan lupa letakkan aneka gelas di belakang meja itu dan sebuah mesin pembuat kopi dengan besar yang cukup mencolok. Terakhir kita beri hiasan di sudut-sudut dan dinding dan penerangan yang temaram sehingga cukup meyakinkan bagi para penonton bahwa panggung itu adalah sebuah kafe.

Ini sebuah panggung. Kita tahu bagaimana ia karena kita yang mengatur. Maka baiknya kita bayangkan bagaimana keadaan di luar panggung agar semua lebih terlihat normal. Kita bisa memasang sebuah lingkaran di luar: sebuah bulan. Beberapa bintang kita tabur seperlunya. Lalu di ruang-ruang kosong, kita bisa menaruh pepohonan dan merkuri yang menunduk seakan memeriksa ada apa saja di bawah kakinya. Kemudian itu: sebuah halte tua bisa ditaruh di seberang jauh. Sebuah halte kosong saja, kali ini jangan ada orang yang menunggu dan patah hati di sana. Kita tak ingin cerita kita teralihkan dari panggung yang sebenarnya.

Dan sudah saatnya kita memberi peran. Mengapa kita tidak mengambil secara acak sepasang manusia dari mana pun lalu memberi mereka nama yang lain dan menyusupkan dalam hati mereka perasaan itu karena ingat, di awal, kita sudah bersepakat bahwa cinta itu ada. Sang lelaki, dengan tinggi ideal, kulit putih, dan wajah yang selalu tampak kelelahan hingga membuatnya terlihat lebih tua beberapa tahun. Di cerita dan kesempatan yang lain, kita akan memberinya nama Maruta, tetapi kali ini mari kita sedikit berteka-teki dan menyulitkan penonton. Pria itu kita beri nama Lelaki A. Sang perempuan; kita barangkali mengambilnya dari tempat yang dingin. Kulitnya pucat, urat-urat darah bisa terlihat di tangan dan sebagian wajahnya, dan matanya sedikit menonjol. Biasanya kita memberi nama perempuan tokoh kita dengan Mi atau nama yang lebih netral: Kai. Kali ini, mari bersepakat untuk menyebut ia Perempuan Z saja.

Kita dudukkan mereka di meja tengah dan kita susupkan perasaan demi perasaan ke hati mereka dan demikianlah cerita ini akan bermula.

“Sudah mau keluar kota lagi?” kalimat pertama keluar dari mulut Perempuan Z. Tangannya mencengkeram cangkir. Coklat panas sudah tandas separuh di sana. Setelah bicara tadi, bibirnya merapat. Ia memasang wajah cemas.

“Iya,” kata Lelaki A sambil mengangguk. “Jadwalnya berubah. Kantor cabang yang paling jauh ternyata harus diperiksa lebih dulu.” Dia menggerak-gerakkan cangkir berisi cairan hitam pekat. Lampu bisa menyorot ke sana sebentar, membuat penonton fokus ke isi cangkir alih-alih wajah si lelaki.

“Kau pesan apa?” penonton barangkali mengira Perempuan Z membaca pikiran mereka yang penasaran dengan nama minuman itu, tapi mereka salah. Semua yang terjadi di atas panggung adalah atas kehendak kita.

“Ini Americano.” Dia mengangkat cangkir. Meminum sedikit sekali. “Kata barista terbuat dari espresso yang diseduh dengan air panas. Jadi lebih encer.”

“Kalau begitu, espresso lebih kental?”

Lelaki A tersenyum. “Mungkin. Kamu ingat waktu aku cerita jantungku degdegan kencang sehabis minum kopi. Yang kupesan waktu itu espresso. Ah, tampaknya aku memang bukan peminum kopi yang ulung. Sia-sia saja ingin bergaya minum kopi tapi tak kuat dengan efek seperti itu. Kamu tahu, hampir saja aku mengirim pesan padamu saat itu.”

“Pesan seperti apa?”

“Hmmm. Seperti, ‘Kalau aku tak menghubungimu besok, tolong tengok ke rumahku. Barangkali aku mati.’ Ya, sesuatu seperti itu.” Lelaki A terkekeh geli. Tapi terhenti ketika kita menyorot wajah Perempuan Z. Rautnya berubah dari cemas menjadi kesal.

“Hush. Bercanda terus tentang mati. Lalu kenapa nggak jadi?”

Lelaki A tertegun. Kita tahu jika sekarang kita mengubah Lelaki A menjadi burung yang tengah terbang, burung itu akan terdiam di udara dengan posisi sayap yang kaku. Dia tergantung di udara seperti ada benang yang mengulur dari punggung si burung ke langit yang tinggi. Waktu seolah-olah berhenti padahal merekalah yang menghentikan tubuh mereka sendiri.

Lelaki A tampaknya berhenti menimbang dan mulai membuka mulut. “Istriku,” katanya sangat lambat. Seolah takut apa-apa yang akan keluar dari mulutnya akan berubah menjadi jarum dan melukai perempuan di depannya, “istriku semalaman di sampingku.”

Baiklah, kita berhenti di sini dulu dan mari membayangkan bagaimana Lelaki A menghadapi masalah jika itu berhubungan dengan istrinya. Oh, tentu tidak. Di sini, kita sudah saling mengerti bahwa Perempuan Z bukanlah istrinya. Karena inilah, di hari-hari yang lalu, kita akan mengerti bagaimana Lelaki A adalah pemendam masalah yang ulung. Dia bisa saja sudah saling angkat senjata dengan istrinya, tapi bekas luka seperti apapun ketika dia menghunuskan senjata tak akan pernah dia perlihatkan pada Perempuan Z. Luka dan masalah seperti itu hanya akan mengingatkan Perempuan Z pada istrinya. Sesuatu yang mengantarkan mereka—si Lelaki A dan Perempuan Z—bahwa cinta mereka mirip sebuah perjalanan di jalan berkerikil, tetapi tanpa ujung. Rasa sakit yang mereka rasakan sama dengan para kekasih lain—bahkan mungkin berlipat ganda—tapi tak ada tempat yang bisa dituju di akhir sana.

Jadi dari sini, mari bersepakat bahwa jika cinta itu ada, maka rasa sakit atas perasaan itu juga nyata.

Kita sudahi dulu jeda ini. Karena sudah saatnya mengambil megafon dan berteriak, “Mulai!” sehingga panggung kembali bergerak dari kebekuan yang kita pasang tadi.

“Ya, wajar kan seperti itu.” Perempuan Z lagi-lagi jadi yang pertama bicara. “Perempuan hamil katanya memang jadi lebih manja. Ingin dimanja.” Tidak ada nada getir. Penonton mengira barangkali demikianlah cinta itu. Perempuan Z mencintai Lelaki A sekalian seluruh seluk-beluk yang membarengi lelaki itu. Karena ia mencintai lelaki itu, ia juga: (1) mencintai kebiasaannya yang hanya memakai satu kaos saja seharian tak peduli sebusuk apa kaos itu membuatnya, (2) mencintai kucing yang diselamatkan lelaki itu ketika mereka berteduh di bawah jembatan dan memutuskan untuk memeliharanya dan memberinya nama Mimi, (3) terbiasa dengan jam karet si lelaki, yang meskipun selalu bikin kesal tapi tetap saja ia ceritakan kepada teman-temannya yang mau mendengarkan sebagai ciri khas kekasihnya yang layak dibanggakan, (4) dan akhirnya menyayangi istri Lelaki A dan tahu posisinya dan berharap mereka—Lelaki A dan istrinya—selalu bahagia dan sehat dan punya banyak anak.

Penonton boleh saja berpikir begitu. Tapi kita, yang memasang tokoh-tokoh kita dalam lakon di atas panggung itu, tahu lebih dalam daripada itu. Bahwa Perempuan Z mencintai Lelaki A dengan begitu dalam, kita sudah tahu itu—kita dan para penonton. Tapi sementara mereka hanya melihat ketulusan dan cinta yang begitu besar, kita bisa melihat rasa sakit yang juga begitu dalam. Tak ada suara yang bergetar karena menahan kepedihan menyemangati kebahagiaan kekasih kita dengan orang lain, tapi kegetiran itu sudah kita rencanakan hadir di hati Perempuan Z dan tentu saja Lelaki A dan kita sebenarnya harus menyelamati diri sendiri karena sudah memilih aktor yang baik.

Sudah saatnya kita memasang lagu sendu dan memberi sedikit petunjuk kepada penonton bahwa keceriaan yang kini ditampilkan di atas panggung sebenarnya tidak benar-benar ada. Terserah mereka bisa dan mau menangkap kenyataan itu atau tidak. Kita tak perlu memberi tahu kekosongan macam apa yang dilalui Perempuan Z ketika Lelaki A pamit untuk tidak menemui kekasihnya itu sementara waktu dulu. Anak pertamaku sedang sakit, kata lelaki itu. Aku kasihan dengan ibunya yang sedang hamil besar. Perempuan Z mengiyakan kepergian itu dan rasa sesak segera saja masuk ke rongga dadanya terburu-buru. Ia sadar. Kita juga sadar. Tapi apalah arti kesadaran di depan cinta?

Pun dengan Lelaki A tokoh kita. Betapa di hari-hari yang lain, rasa bersalahnya semakin menumpuk dan membebani dadanya. Dia tahu seberat apapun pilihan yang akan dia sambangi dalam hidupnya, pilihannya akan jatuh pada istrinya juga. Kita menjadi saksi bagaimana perasaan main-main dan rasa kesepian yang pada awalnya ditutupi oleh Perempuan Z semakin dalam dan berubah bentuk. Di satu titik, dia sadar bahwa rasa cintanya kepada Perempuan Z telah lebih besar daripada kecintaannya kepada istrinya. Di sini kita selalu kebingungan dengan tokoh kita ini: apa yang membuat Lelaki A masih bisa bertahan? Barangkali kita harus mengajari tokoh-tokoh kita pelajaran mengekang diri.

Lagu sendu kita tetap berjalan. Kontras dengan keceriaan yang sedang terjadi di atas panggung. Perempuan Z tahu bahwa kekasihnya merasa tidak enak kalau ia membahas istri Lelaki A dan ia membelokkan obrolan khas seorang kekasih yang tahu diri. Ia bertanya tentang fraud yang sering Lelaki A temukan di kantor cabang yang paling jauh. Paling tentang kelebihan pembayaran perjalanan dinas dan honor, kata Lelaki A.

“Dokter tidak pernah begitu?” tanya Lelaki A. “Dokter tidak pernah diaudit?”

“Yang diaudit tentu rumah sakitnya. Beberapa waktu sekali ada akreditasi. Kalau lolos, selain reputasi naik, tarif juga biasanya naik.” Ia tersenyum geli. Dan demi senyum itu terkembang, kita menghentikan lagu sendu dan membiarkan Lelaki A menikmati lagu ceria yang membuat beban-bebannya seakan hilang dan perasaan cintanya semakin dalam.

“Kalau dokter?” Lelaki A mengulangi pertanyaannya.

“Ada evaluasi dari komite medis dan dari perhimpunan, tentu saja. Kenapa tanya begitu?”

Lelaki A menoleh sebentar. Kita telah memasang figuran kita dan menempatkannya di sudut jauh. Tiga orang telah masuk ke panggung dan memesan minuman. Adegan itu membuat tokoh kita sedikit teralihkan.

“Tidak ada. Hanya kadang aku penasaran: kalau terus-menerus diawasi, apa manusia akan berhenti berbuat curang?”

“Lalu hubungannya?”

“Istriku…” Lelaki A melihat sekeliling. Dia cemas.

“Hamil? Iya.” Perempuan Z berusaha mencairkan suasana. Tapi kita tidak membiarkan itu. Kita telah memasang udara yang berat dan sesak. Lagu-lagu ceria berganti instrumen lirih. Sudah saatnya semua masalah memuncak.

“Entahlah. Sepertinya dia tahu aku menemuimu selama ini.”

Lelaki A memilih kata ‘menemui’ daripada ‘mencintai’ dan sejenisnya. Kita tahu bahwa Perempuan Z sadar bahwa Lelaki A memilih kata itu semata-mata karena rasa malu. Cinta yang sedemikian besar itu membuat dia malu mengatakan cinta kepada perempuan yang dia cintai. Seolah kata itu memang harus dikatakan pada satu orang saja dan tak boleh dibagi kepada orang lain. Harusnya Perempuan Z marah dan bisa menganggapnya penghinaan atas perasaannya. Tapi rasa malu ini membuat mereka—Lelaki A dan Perempuan Z—harus berkompromi dengan peyorasi semacam ini, yang bahkan dilakukan oleh kekasih sendiri.

“Ayo kita menikah!” kata Lelaki A.

Musik benar-benar berhenti. Dan kita bisa melihat sepasang danau menggenang di mata Perempuan Z. Penonton cemas. Kita menunggu. Lalu danau itu tumpah dan setitik bening mengalir dari sudut mata tokoh perempuan kita. Penonton ber-oh bahagia, tapi tak sedikit yang mencela.

Perempuan Z membuka suara, dan kali ini suaranya bergetar, “Apa kau mengajakku menikah gara-gara istrimu tahu kau berselingkuh?” tanyanya tegas.

“Aku, tidak…” dia gagap.

“Kau pasti sedang berpikir, ‘Aku sudah melangkah terlalu jauh, sekalian saja aku akhiri seperti ini.’”

“Kamu…sebentar…dengar.” Gagap itu lagi.

Perempuan Z menghela napas. Danau itu masih menggenang. “Tidak apa-apa seperti ini. Saat aku mencintaimu, apa aku pernah memberi syarat padamu untuk menikahiku?”

Lelaki A, kita menyusupkan rasa sesak di dadanya. Mata itu kita buat berkaca-kaca tapi kita meminta sepasang mata itu untuk tetap bertahan. Dia menggeleng. Dia menggenggam tangan kekasihnya. Mencoba mencari kekuatan yang memang benar-benar ada di sana.

“Tidak apa-apa seperti ini,” Perempuan Z mengulangi. Mengangguk. “Tidak apa-apa juga kalau harus berpisah.”

Lelaki A menggeleng. “Sebentar, dengar! Beri aku waktu. Setelah persalinan, aku akan bicara dengan istriku. Dia pasti setuju.”

Perempuan Z menimbang. Kita sudah mengangkat suasana berat di panggung. “Permintaanmu ini. Ini malah bikin aku canggung kalau ketemu istrimu nanti.”

Ia membereskan tasnya. Kita lupa menjelaskan kepada penonton benda remeh-temeh yang bertebaran di atas meja tapi kita tidak peduli dengan itu. Lelaki A tampak kaget dengan keputusan mendadak itu, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa, “Aku pulang dulu. Jangan lupa lusa istrimu ada janji periksa. Sudah waktunya aku harus mengambil darahnya lagi.”

Lelaki A berusaha di sela-sela waktu terakhirnya berbisik, “Aku mencintaimu.”

“Jangan pulang larut.” Perempuan Z menjawab lain.

Hampir selalu seperti itu. Mereka akan berpisah ketika masalah semakin memuncak dan hampir tidak ada jalan keluar yang berguna selain mengekang diri masing-masing. Barangkali demikianlah cinta itu mempertahankan diri di inangnya masing-masing.

Di luar panggung, kita sudah melempar lingkaran bulan entah ke mana. Kesunyian merambat dari halte yang tidak ditunggui siapapun lalu menyusup ke atas panggung, ke dalam kafe. Lelaki A kini sendirian. Dia memainkan ponsel. Ada pesan masuk dari istrinya tapi dia enggan membukanya. Tapi kita tahu bahwa isi pesannya sama dengan isi pesannya di malam-malam yang lalu: jangan lama-lama, minta es pisang ijo. Dan sebuah emotikon cium.

Kita menyalakan musik lagi. Instrumen yang sendu. Sebentar lagi kita akan mengakhiri panggung dan penonton sudah tahu itu. Berangsur-angsur mereka keluar. Sementara musik masih terus terdengar dan Lelaki A masih duduk menopang dagu di tengah panggung.

Kita menggelapkan panggung. Tapi temaram itu tetap kita pertahankan agar masih terlihat siluet Lelaki A. Tiba-tiba dari meja, ponselnya bercahaya. Pesan dari Perempuan Z. Isinya hanya satu kalimat: aku juga mencintaimu.

Selain mereka berdua, tak ada yang tahu selain kita.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Gaza Manta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email