Mereka Membusuk Hidup-Hidup
Bau bangkai dan danur bercampur baur
Sementara mayat-mayat terseok
Di antara trotoar dan comberan
Di dalam angkutan dan gedung-gedung;
Perut mereka membulat bengkak
Terisi arak
Uang-uang
Harta
Juga berlian sebesar batu-bara.
Menghitamlah kuku-kuku jari
Yang selalu dipakai mencuri
Tubuh-tubuh perempuan pulang hari;
Butalah netra mereka
Yang selalu tertutup
Saat ada yatim yang kuyup;
Hanguslah mulut mereka
Yang selalu dipakai untuk membunuh
Kebohongan yang mereka kayuh
: Mereka membusuk hidup-hidup,
Mengejang jemput maut.
–
Debur Dendam Kesumat
Aku mengutukmu!
Yang telah menggurat
Luka-luka
Yang telah melempar jangkar
Dan membakar suar
Aku mengutukmu!
Semoga kau miliki
Mimpi buruk yang kupunyai
Semoga jiwamu berlayar selamanya
Tanpa ada dermaga di ujung sana
Aku mengutukmu!
Agar lebam terpagut darah
Agar tak ada kunjung ziarah
Agar sedih membunuhmu
Seperti rindumu yang pernah
—membunuhku.
–
Aku dan Engkau
Semasa hidup ia tumbuh melupa
Aku tumbuh berakar ingat
Sengkarut rasa
Serupa berkat
Kemudian setapak berpisah
Begitu saja terbelah
Tak bertemu kepala lagi
Datang-tinggal, datang lalu pergi
Meski kelingking sempat terpaut
Semuanya jadi semrawut
Waktu terlanjur jadi abu
Dan ia datang padaku;
menghitung umurku.
–
Jendela Duka
Beritahu aku,
apakah engkau masih akan serupa
dengan kesedihan tanpa akhir,
seperti memar yang biasa kutemui
pada kepal tinjumu.
Apakah engkau masih akan menjadi
segaris luka yang tercetak dalam
tanda tanya basah yang bersetia
menggantung pada pipi ibumu.
Hampir-hampir aku menyerah
menunggu pintumu yang tertutup
oleh sebaris kata-kata indah
dan pusara yang dingin.
Sepuluh kaki di bawah tanah
Tanah seberat puluhan kilo
Sialnya, kau bahkan tak tahu:
“Apakah itu hening yang menjelma sepi?Ataukah teriak yang terbungkam sunyi”