Pop Sociologist.

De Oost dan Kekejaman Westerling

Gunawan Wibisono

3 min read

Republik ini belum benar-benar bebas dari cengkeraman tangan penjajah selepas gaung proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Pekik kemerdekaan yang diucap dengan lantang itu tak lantas membuat mental penjajah ciut. Sebagian serdadu Jepang masih tersisa sambil berusaha merampas harta warga, lebih-lebih pasukan Belanda. Kompeni sama sekali tak mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 1945. Ragam cara dan upaya mereka tempuh untuk mendapatkan kembali tanah surga koloninya yang begitu indah: Indonesia.

Kecamuk di negeri elok tak kunjung usai di tahun-tahun awal kemerdekaan. Negara yang masih seumur jagung ini tetap diperebutkan oleh berbagai pihak. Terutama oleh kolonialis Belanda. Terhitung sejak tahun 1946-1949, londo tetap ngotot bertahan untuk berusaha merekolonisasi bumi pertiwi. Ditambah, kondisi republik memang masih rentan perpecahan saat itu: kelompok agama, komunis, nasionalis, dan seterusnya.

Situasi ini menjadi angin segar bagi pasukan Belanda untuk terus merongrong stabilitas politik Soekarno-Hatta. Melalui kekuatan angkatan bersenjata, Belanda menancapkan pos-pos militernya yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Salah satu tokoh militer termasyhur kala itu ialah Raymond Pierre Paul Westerling atau dikenal dengan julukan ‘The Turk’.

Dalam catatan sejarah Indonesia, Westerling adalah serdadu bengis yang siap membunuh kapan dan di mana saja. Ia adalah penembak jitu yang andal. Cukup dengan sekali dor! saja, peluru sudah tepat menembus ke kepala lawan. Bahkan, ia dikenal khalayak atas peristiwa Pembantaian Westerling yang terjadi di Sulawesi Selatan. Di pihak lain, Westerling adalah legenda di negerinya. Bahkan media-media Eropa sempat memujanya karena karir militernya yang mentereng di negeri jajahan.

Sineas Belanda, Jim Taihuttu, memotret sepenggal kisah Westerling ini dalam film berjudul De Oost. Hal pertama yang menarik dari film ini adalah, ini karya seorang Belanda tentang sejarah bangsanya. Tetapi, ini bukan tentang heroisme klise yang biasa kita tonton di film-film perang ala superhero. Karya ini bicara lebih banyak dari itu. De Oost seakan mengajak penonton berziarah ke kuburan massal korban perang. Tak heran jika film ini menuai pro kontra di negaranya sendiri.

Sebagai penonton Indonesia, kita tidak memikul beban sejarah sama sekali. Justru dibuat kian penasaran. Film garapan New Amsterdam Film Company ini berkisah tentang tokoh fiktif bernama Johan de Vries (diperankan Martijn Lakemeier), seorang relawan tentara Belanda yang ditugaskan ke Indonesia untuk menjaga stabilitas tanah jajahan dari serangan pemberontak. Kita memahami ini sebagai peristiwa agresi militer. Johan adalah sosok serdadu muda yang enerjik dan memiliki rasa ingin tahu tinggi.

Pertemuan Johan dengan Westerling (diperankan Marwan Kenzari) terjadi di pasar. Saat Johan berusaha melawan serdadu Jepang yang sedang menyiksa pribumi. Dari pertemuan itu, diam-diam Johan mengagumi sosok karismatik Westerling yang dingin tapi sebenarnya penuh perhatian. Sejak saat itu, Johan secara tidak langsung direkrut menjadi pasukan Westerling dan kerap diajak patroli rahasia pada malam hari. Operasi senyap ini yang memulai jejak darah Westerling.

De Oost menyuguhi sinematografi yang apik: lahan hijau membentang, hutan yang luas, pasar era kolonial, hingga dialek Belanda-Indonesia yang memukau. Tak luput juga detil-detil kecil seperti gaya busana dan makanan khas Jawa: pecel. Semuanya bisa dinikmati secara natural. Hanya saja, De Oost menggambarkan pribumi sebagai sosok yang lemah, jorok, kotor, pelacur, dan sejenisnya. Hampir tidak ada tokoh ‘pemberontak’ pribumi yang dengan gagah berani sedang baku tembak dengan tentara Belanda.

Jika sudah begini, kita mudah saja kembali teringat dengan film Rambo yang berusaha merekonstruksi perang Vietnam. Selain aspek sinematografi, scoring musik yang digarap Gino Taihuttu juga terdengar rancak. Anasir suara gamelan yang digunakan saat pasukan Belanda masuk ke Indonesia seakan penanda terbukanya tirai sejarah yang kelam.

Pada beberapa sisi, Jim Taihuttu cukup disiplin dengan data dan fakta sejarah. Di antaranya seperti Westerling adalah sang ‘ratu adil’ yang dipercaya menjadi pemimpin sejati bagi pribumi, kemudian seorang yang mendapat mandat langsung dari kerajaan Belanda untuk menumpas pemberontak, serta memimpin dan melatih pasukan khusus bernama Depot Speciale Troepen (DST) yang berjumlah 120 anggota. Sebagian anggota juga beberapa dari serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).

Kekejaman Westerling digambarkan saat melakukan operasi rahasia yang dilakukan malam hari bersama Johan. Dengan menyamar dan bermodal sebilah pisau, Westerling menggorok leher serta mencabik lawan-lawannya. Bahkan pada satu scene, Jim Taihuttu menggambarkan kepala dan kelamin manusia yang sudah tergorok dipajang di halaman depan rumah. Sadis.

Di zaman perang seperti ini, hanya ada dua jenis manusia di bumi: menjadi mangsa, atau menjadi pemangsa,” demikian tutur Westerling kepada Johan. Sebuah petuah yang bikin Johan makin linglung. Alur cerita bisa dibilang berjalan lambat. Selama hampir 90 menit, emosi penonton belum terkoyak oleh konflik film. Adegan cenderung monoton tentang kehidupan kamp, hiburan malam atau patroli.

Saat Westerling ditugasi untuk menumpas pemberotakan di Sulawesi, konflik mulai bergairah. Westerling sangat berapi-api dalam tugas itu karena ia diberi kewenangan penuh sebagai komandan DST. Johan ikut terlibat dalam misi penumpasan itu. Sebelum berangkat ke Sulawesi, Westerling melakukan pidato kepada anak buahnya, bahwa misi penumpasan di Sulawesi ini adalah untuk jalan ‘perdamaian’.

Dalam melakukan aksi ‘bersih-bersih’ di Sulawesi Selatan, Westerling tidak menggunakan standar operasional militer yang semestinya. Ia acuh dengan semua peraturan militer dan tata cara politik yang sudah ada sebagai pedoman perang. Dengan penuh percaya diri, Westerling menggunakan metodenya sendiri—alias cara cepat melakukan pembunuhan massal. Taihuttu sangat puitik dalam mengilustrasikan pembantaian ini: Westerling menembak satu persatu warga yang dipanggil sambil duduk manis di kursi. Dor! dor! dor! seketika puluhan mayat bergelimpangan.

Melihat kesadisan ini, perlahan Johan kehilangan simpati terhadap Westerling. Ia merasa tindakan pembersihan ini sudah tidak masuk akal kemanusiaan. Dari sini, Johan memberanikan diri untuk protes langsung kepada Westerling dan memutuskan untuk melarikan diri dari pasukan DST. Taihuttu menutup cerita lagi-lagi dengan cara yang puitik dan patuh pada fakta sejarah. Jika biasanya karakter antagonis mati ditangan protagonis, itu tidak terjadi dengan De Oost. Johan de Vries justru yang memilih mati dengan cara ksatria dan meninggalkan Westerling sebagai badut opera.

Keberanian sosok Johan de Vries sebenarnya merepresentasikan pula keberanian si pembuat film. Jim Taihuttu layak diacungi dua jempol atas karya ini. De Oost adalah sikap lugas dari salah satu arsip sejarah Belanda yang penuh luka—jika tidak boleh dikatakan sebagai pengakuan dosa. Karena kita semua yakin tidak semua penonton Belanda mengamini film ini.

Meski demikian, ini bukan tentang pembuktian siapa benar atau siapa salah. Paling tidak, film ini memandu kita untuk memahami bagaimana cara bijaksana dalam menyikapi sejarah luka. Sikap ksatria tidak melulu lahir dari rahim kemenangan, tapi juga keberanian dalam hal pengakuan. Toh, fakta sejarah bukan hanya tentang sifat kepahlawanan, tapi juga tentang kekalahan, darah, dan air mata. Seperti sebait lirik yang dilantunkan Iwan Fals pada lagu beken berjudul Pesawat Tempurku: kalau hanya senyum yang engkau berikan, Westerling pun tersenyum.

Gunawan Wibisono
Gunawan Wibisono Pop Sociologist.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email