Mungkin kita harus menilik kembali petuah Machiavelli dari abad ke-15. Karena terkadang, sebuah negara tampak seperti tubuh yang dimiliki banyak kepala, yang menyebabkan masyarakat semakin bingung dan mengeluh. Terkadang juga, negara seperti memiliki kepala yang tidak jelas atau jangan-jangan tidak ada kepala sama sekali. Dalam hal ini, Machiavelli menyarankan penguasa untuk berperilaku layaknya binatang, baik seperti rubah yang licik maupun singa yang buas.
Rubah yang licik mampu beradaptasi dengan kecerdikannya ketika berhadapan pelbagai masalah. Sementara itu, singa akan mendominasi segala-galanya secara kasar dan ganas. Oleh sebab itu, sangatlah agung dan adiluhur bagi para penguasa yang mampu memegang kata-katanya dan hidup berdasarkan integritas dan kebijaksanaan untuk kepentingan masyarakat. Akan tetapi, kita dapat melihat dari sejarah manusia bahwa penguasa yang mencapai kebesaran pastinya sadar atas pentingnya konstruksi wacana dalam pikiran masyarakat. Dengan demikian, penguasa tidak mempermasalahkan atau bahkan memikirkan kehidupan yang agung dan adiluhur selain untuk kepentingan dirinya.
Kepentingan penguasa akan terancam apabila masyarakat sadar atas hal tersebut. Untuk itu, diperlukan adanya pembodohan atau setidaknya, delusi-delusi yang diciptakan agar masyarakat percaya bahwa kehidupan baik-baik saja. Bisa dilihat dari terjadinya Revolusi Rusia.
Setelah Perang Dunia I, Rusia mengalami penderitaan yang membawa mereka ke ambang kehancuran. Diperkirakan 1,7 juta tentara tewas, harga makanan tidak terkendali, dan akhirnya Tsar Nicholas II pun turun tahta pada tahun 1917. Di tahun yang sama, Bolshevik, organisasi sosialis revolusioner yang dipimpin Vladimir Lenin dan Leon Trotsky mengambil alih kekuasaan. Akan tetapi, masih ada simpatisan keluarga kerajaan dan kelompok kelas atas—borjuis. Yang mengakibatkan terjadinya Perang Saudara antara Bolshevik dengan Tentara Putih selama lima tahun. Perang Saudara tersebut berakhir dengan berdirinya Uni Soviet dan pada tahun 1924 Lenin meninggal, akibatnya perebutan kekuasaan antara Leon Trotsky dengan Joseph Stalin pun sulit dihindari.
Di bawah Stalin, Uni Soviet menjadi rezim totaliter yang represif. Ia memulai serangkaian rencana lima tahun industrialisasi dengan cepat: menetapkan target tinggi untuk batu bara, baja, minyak, dan listrik. Demikian juga dengan dunia perpolitikan. Stalin melakukan pembersihan kepada semua lawan politiknya. Dari dua puluh tiga yang dulu bersamanya dan Lenin selama Revolusi, hanya tersisa dirinya seorang yang masih duduk di kursinya. Yang lain menghilang, meninggal, dihukum mati, bunuh diri, atau diasingkan, seperti Trotsky yang nanti juga dibunuh.
Tentu Trotsky tahu bahwa dirinya akan dibunuh, meskipun telah dibuang dari tanah Rusia dan hidup jauh di Coyoacán, Meksiko. Akan tetapi, pembersihan itu tidak berhenti pada diri Trotsky saja. Anak-anaknya juga diperlakukan dengan tidak jauh berbeda. Anaknya yang perempuan, Zinaida Volkova meninggal—bunuh diri—karena depresi. Anak yang lainnya, yaitu: Lyova (Lev) Sedov, seorang aktivis, mati di rumah sakit Prancis, yang kabarnya diracun.
Itu di Eropa. Berbeda dengan Indonesia. Apabila di Indonesia akan lain cerita, meskipun tidak jauh berbeda. Mungkin, ketika masyarakat sadar dan melakukan pemberontakan, penguasa akan berlagak—bertransformasi—seperti tokoh wayang. Dasamuka, misalnya, yang selalu muncul—menjelma—dengan wajah yang baru yang tak kunjung mati. Dan saat muncul, suara dari kata-katanya sangat lucu. Terkadang menggelembung seperti tiupan balon, terkadang juga tidak bunyi sama sekali, tetapi lebih sering suaranya krincing seperti koin-koin yang berjatuhan.
Demikian pula dengan kata-kata yang biasa mereka keluarkan. Itu-itu saja. Belum lagi trik berkelit yang kian hari kian menjadi tren. Misalnya saja, segala-galanya dianggap terkendali. Lalu, kebijakan yang diperpanjang tanpa mau mendengar suara lapar masyarakat. Berharap saja tidak ada adu penalti dengan “komisaris” sebagai hadiahnya.
Pertanyaannya, mengapa para penguasa begitu lihai bermain kata-kata? Dapat secara mudah berganti wajah? Bisa dibilang, masyarakat terlampau menyukai istilah-istilah baru. Mulai dari orang ramai yang menaruh hati pada “Demokrasi Terpimpin”, lalu muncul “Orde Baru” yang membangun, setiap perubahan disebut “reformasi” atau “revolusi”, dan kembali tergugah dengan “hak kebebasan berpendapat”. Akan tetapi, di zaman yang katanya paling “demokrasi”, tidak jarang yang berpendapat akan dilabeli “ekstrim kiri” ataupun “ekstrem kanan”. Terutama yang tidak sependapat dengan pemerintah. Pembungkaman dan penekanan dikerahkan: dari pintu kelas kampus sampai gerbang penjara.
Gerak-gerik yang berlawanan arah akan diawasi. Institusi pendidikan dipertanyakan integritasnya. Karena ada keinginan untuk berkuasa secara represif. Yang menandakan kecemasan para penguasa terhadap munculnya revolusi, atau bahkan, perebutan kekuasaan yang dilakukan masyarakat. Sebagai contoh, mahasiswa menduduki gedung DPR.
Dalam hal ini, kita terlalu terlena pada istilah-istilah: radikal, revolusi, dan reformasi. Benarkah yang diinginkan masyarakat adalah perubahan yang direpresentasikan istilah-istilah tersebut? Bukankah perubahan yang kerap kali menggunakan istilah yang hebat-hebat itu tidak berarti banyak selain upah yang lebih baik dan jam kerja yang lebih sedikit?
Jangan lupakan keberadaan BuzzerRp yang seperti lalat hijau, selalu berdengung terhadap kritik masyarakat. Mungkin berkerumun di kotoran juga. Bisa dibilang, sudah bukan rahasia umum BuzzerRp adalah bagian tubuh lain dari penguasa yang memiliki banyak kepala, tetapi tidak memiliki integritas. Tidak juga berani buka suara.
Sebuah kisah lama, masyarakat Indonesia menyukai para penguasa yang bercitra baik, sopan, dan merakyat. Apalagi masyarakat akan merasa dekat dengan para penguasa di kala pemilu dan pilkada mendekat. Pesta demokrasi, katanya. Langkah awal: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, katanya. Ketika seseorang yang dicitrakan begitu dekat, selundupan ke sana-kemari, masuk ke pasar tradisional, dan mau, turun ke gorong-gorong, maka kita seolah-olah dipertontonkan drama Cinderella dengan masyarakat sebagai gadis teraniaya yang kehilangan sepatu kacanya.
Wajah yang berbeda-beda yang dilengkapi tangan mengepal atau memberi tanda nomor urut beserta kata-kata bijak yang tersebar di mana-mana. Semua calon penguasa berusaha menjadi pangeran yang menawarkan segala macam sepatu kaca. Mulai dari sepatu kaca yang dulu memperjuangkan kemerdekaan, ikut dalam pembangunan ekonomi, hingga yang berada di garis depan reformasi. Para calon penguasa mengerahkan segala daya-upaya di pentas demokrasi Indonesia. Identitas agama diperlukan untuk mendulang suara. Tentunya hal ini sejalan dengan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Setidaknya lima tahun sekali.
Dengan tegas Soekarno pernah berujar: “Indonesia, pilihlah demokrasimu jang sedjati”. Akan tetapi, yang sejati itu yang seperti apa? Yang terpimpin, maksudnya? Tidak boleh kebarat-baratan? Harus sesuai budaya ketimuran yang penuh kesopansantunan? Apa yang berdasarkan gotong-royong dan kekeluargaan? Ataukah, demokrasi yang dimaksud adalah pemilu dan pilkada saja?
Waktu terus berjalan, zaman berubah, Indonesia telah jauh merdeka, tapi polemik demokrasi masih sama tajamnya. Sebab, bukan karena masyarakat tidak mau mengganti nasib dan mencari yang sejati itu, justru sebaliknya. Bisa jadi, demokrasi telah menjadi istilah yang dielu-elukan di saat para calon penguasa membutuhkan legitimasi atau bahkan, berhenti di tahap istilah tanpa pemaknaan dan realisasi yang jelas. Salah satunya adalah pesta demokrasi yang berlangsung lima tahun sekali malah menjadi kewajiban pahit, pergulatan antara hak rakyat dengan pihak mana lagi yang akan berkuasa.
Tidak mengherankan apabila Socrates tidak menyukai demokrasi dan bahkan cenderung cemas. Karena dengan demokrasi, masyarakat memiliki peran dan pengaruh terhadap berjalannya suatu negara. Akan tetapi, apa yang diketahui oleh masyarakat perihal negara? Kok bisa, kalangan masyarakat yang kurang berpendidikan dan tidak mengetahui seluk-beluk pemerintahan, selain bansos yang ditunda, diberi hak untuk menentukan nasib negara? Ketidaksukaan Socrates, dan khususnya: pertanyaan seperti sebelumnya akan memicu amarah besar apabila diutarakan secara terang-terangan, utamanya di Indonesia. Tempatnya masyarakat yang mendesah-kegirangan ketika para calon penguasa berubah-ubah wajah, juga berteriak dan mengaduh di kala “calon” berubah istilah menjadi “perwakilan”, lalu melupakan masyarakat.
Kiranya, analogi Dasamuka yang memiliki sepuluh wajah tidak tepat untuk merepresentasikan para penguasa di Indonesia. Terlalu sedikit. Rubah dan singa juga terlalu kebarat-baratan. Oleh karena itu, bisa jadi analogi yang lebih tepat menggambarkan wajah demokrasi Indonesia adalah penggalan dari puisi Chairil, Aku Berkaca:
Ini muka penuh luka
Siapa punya?