Hasil investigasi The Independent Commission on Abuse in the Church (Ciase) yang baru dirilis pekan ini menyatakan bahwa lebih dari 330.000 anak menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di dalam gereja Katolik Prancis selama 70 tahun terakhir. Kejahatan seksual ini diperkirakan dilakukan oleh lebih dari 3.000 pastor dan orang-orang lain di dalam lingkungan gereja Prancis. Laporan ini mengguncang dunia bukan hanya karena jumlahnya yang sedemikian masif tetapi juga menggambarkan betapa banyaknya pedofil yang berkeliaran bebas di gereja-gereja Prancis.
Ketika jumlah sebesar ini bisa terjadi hanya di satu negara, timbul kekhawatiran bahwa kejahatan keji ini secara masif juga terjadi di negara-negara lain, termasuk di gereja-gereja di Indonesia.
Fakta tentang kejahatan seksual di lingkungan gereja ini semakin melengkapi laporan kejahatan seksual oleh ustaz dan guru agama di banyak pesantren di Indonesia, sebagaimana telah diungkapkan Omong-Omong dalam tiga tulisan sebelumnya. ( Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah: Saya Dianiaya dan Diancam UU ITE, Kebal Hukum: Kejanggalan Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Shiddiqiyyah, Pesantren Darurat Kekerasan Seksual)
Kejahatan Seksual di dalam Lingkungan Gereja Katolik Indonesia
Kasus terakhir yang sangat menggemparkan adalah kasus pencabulan 21 anak berusia antara 11 sampai 15 tahun di Gereja Paroki Santo Herkulanus di Depok, Jawa Barat yang mulai terungkap pada Mei 2020. Tersangkanya, seorang pengurus gereja Sahril Parlindungan Martinus Marbun baru ditangkap pada 14 Juni 2020 meskipun sudah melalukan kejahatannya bertahun-tahun.
Masih di Depok dan hanya berselang beberapa waktu, terungkap pula kejahatan seksual terhadap anak-anak asuhan sekolah dan panti asuhan Kencana Bejana Rohani oleh pengasuh lembaga Katolik tersebut, Brother Angelo Ngalngola.
Pelecehan seksual oleh pastor juga dilaporkan terjadi di gereja Katolik Maria Bunda Karmel Paroki Tomang, Jakarta Barat, serta di sekolah Katolik Sang Timur juga di Jakarta Barat.
Kejahatan seksual diduga lebih marak lagi terjadi di daerah-daerah pelosok di seluruh Indonesia di mana pengawasan media dan masyarakat sipil hampir tak ada. Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) RD Joseph Kristanto mengakui dalam sebuah diskusi di Jakarta bahwa kemungkinan lebih banyak kasus lagi yang belum terungkap di banyak gereja dan sekolah Katolik di seluruh Indonesia.
Kristanto memberi ilustrasi dengan mengatakan bahwa dengan Indonesia mempunyai 37 keuskupan dan jika masing-masing keuskupan terdapat lima sampai 10 kasus maka bisa dihitung jumlah kasus kekerasan seksual di dalam gereja Katolik di Indonesia. Ini belum termasuk sekolah-sekolah dan yayasan Katolik yang jumlahnya ratusan di seluruh Indonesia.
Sekretaris Komisi Kerasulan Awam KWI, Paulus Christian Siswantoko juga mengakui ada pelecehan seksual yang dilakukan oleh para rohaniawan Gereja Katolik di Indonesia, dengan mengungkap data tahun 2019 yang dimilikinya bahwa setidaknya terdapat 56 korban kekerasan seksual di kalangan gereja yang telah melapor. Pelakunya terdiri atas 33 imam dan 23 non-imam.
Menurut Kristanto, kemungkinan besar jumlah kasus yang diketahui jauh lebih sedikit dari kenyataannya.
Kejahatan Seksual di Lingkungan Gereja Protestan Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir terungkap sejumlah kekerasan seksual di lingkungan gereja Protestan yang cukup memprihatinkan.
Pada Juni tahun ini Benyamin Sitepu, Pendeta Pembantu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Sempakata Medan ditahan oleh polisi karena mencabuli setidaknya enam siswi sekolah dasar selama bertahun-tahun.
Awal tahun ini seorang pendeta di Batam bernama Nico Paham Sinaga ditangkap polisi karena melakukan tindakan cabul kepada remaja wanita berusia 15 tahun selama berbulan-bulan.
Beberapa bulan sebelumnya, seorang pendeta di Surabaya tahun lalu didakwa mencabuli jemaatnya selama enam tahun dengan menggunakan posisinya sebagai pemimpin gereja. Pendeta yang bernama Hari Lantara ini telah melakukan kejahatan seksual kepada seorang anak sejak ia berusia 10 tahun, serta diduga juga telah melakukan kejahatan yang sama terhadap anak-anak lainnya. Predator anak ini kemudian dijatuhi 10 tahun penjara oleh pengadilan.
Setahun sebelumnya terungkap bahwa DM (53) seorang oknum pendeta di Bekasijaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, melakukan tindakan asusila terhadap seorang anak 12 tahun selama bertahun-tahun sehingga anak tersebut hamil. Modusnya adalah pelaku kerap mengatakan bahwa yang dilakukannya adalah perintah agama.
Beberapa tahun sebelumnya, seorang pendeta berinisial IAG di Jawa Timur diduga melakukan pencabulan terhadap tujuh orang anak asramanya, lima perempuan dan dua anak laki-laki. Dia terbukti bersalah melakukan pemerkosaan di tahun 2014 dan divonis 15 tahun penjara pada 2016. Pada 2018 terungkap bahwa seorang pendeta di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, yang berinisial HSK diduga memperkosa dan membunuh seorang perempuan yang merupakan jemaatnya dan juga anak angkatnya di kamar mandi gereja.
Di kasus lainnya, seorang pendeta berinisial BS di Kalimantan Tengah telah mencabuli tiga anak perempuan di bawah umur yang berlangsung dari November 2017 hingga Januari 2018.
Perlunya Tindakan Tegas dan Segera
Meskipun kasus-kasus ini terungkap, masih banyak kasus yang luput dari pengawasan media dan korban terlalu takut untuk melapor terus terjadi. Pada saat kita membaca artikel ini ada kemungkinan kejahatan seksual sedang terjadi di salah satu gereja atau pesantren di Indonesia.
Kunci dari pencegahan dan penanggulangan kejahatan ini adalah tindakan tegas bersama dan terpadu serta peningkatan transparansi dan pengawasan di dalam lingkungan pesantren dan gereja.
Meskipun peningkatan pengawasan baik oleh pimpinan gereja Katolik dan Protestan serta gerakan-gerakan pengawasan masyarakat lokal terhadap pesantren harus dipuji, pemerintah dalam hal ini kementerian Agama, KOMNAS HAM serta lembaga-lembaga non-pemerintah seperti KWI, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah harus bersatu melakukan reformasi pengawasan di gereja dan pesantren untuk memastikan tidak ada tempat dan toleransi bagi kejahatan seksual.
Tindakan bersama untuk mendirikan lebih banyak pusat-pusat pelaporan yang ramah korban serta memberi rasa aman dan melidungi mereka juga perlu segera dilaksanakan.
Jika tidak ada tindakan nyata untuk mencegah dan menghukum kejahatan seksual terhadap anak dan siswa di lingkungan gereja dan pesantren maka predator anak dan remaja masih terus berkeliaran dan korban akan terus berjatuhan tanpa kita tahu berapa ratus ribu anak dan remaja Indonesia yang hidup menderita dalam trauma sepanjang hidup mereka.
One Reply to “Dari Pesantren ke Gereja: Tak Ada Toleransi untuk Predator…”