Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Dari Hasrat Berkuasa hingga Pengkhianat Kemanusiaan

Hillbra Naufal Demelzha Gunawan

4 min read

Junta militer merupakan istilah yang disematkan pada komite militer yang mengendalikan pemerintahan secara absolut dan diktatoris. Beberapa negara di dunia pernah berada di bawah kekuasaan junta militer, termasuk Argentina, Brasil, Chile, dan Myanmar. Dari keempat negara tersebut, Myanmar merupakan satu-satunya negara yang masih berada di bawah kekuasaan junta militer.

Junta militer Myanmar bermula dari kudeta militer terhadap pemerintahan sipil pada tahun 1962. Kudeta tersebut diprakarsai oleh Tatmadaw, militer resmi Myanmar, di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win. Tatmadaw beranggapan bahwa pemerintahan sipil telah gagal dalam mengendalikan gerakan etnis minoritas dan oposisi bersenjata. Setelah pemerintahan sipil berhasil dilengserkan, Jenderal Ne Win segera melakukan instalasi rezim otoriter, yaitu junta militer.

Kudeta militer tersebut bukan satu-satunya kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar. Kudeta itu justru menjadi pintu pembuka kekuasaan junta militer yang dikenal karena kekejamannya dan pelanggaran hak asasi manusia.

Jatuh Bangun Demokratisasi Myanmar

Kepemimpinan Jenderal Ne Win dalam junta militer menimbulkan kebencian di kalangan mahasiswa yang menuntut sistem demokrasi multipartai. Sayangnya, rezim militer lama tampaknya hanya bereinkarnasi dalam bentuk rezim militer baru dengan pembentukan State Law and Order Restoration Council (SLORC). Demokrasi menjadi mimpi yang sulit dicapai bagi rakyat Myanmar. Pasalnya, otoritas militer membantai ratusan demonstran yang berperan sebagai oposisi.

Narayanan Ganesan dalam jurnalnya yang berjudul Myanmar’s 2021 Military Coup, Its Impact on Domestic Politics, and a Revolutionary Road to Democratization menyebutkan bahwa peristiwa berdarah tersebut dikenang dengan istilah 8888 Uprising atau Pemberontakan 8888.

Pada era tersebut, muncul seorang aktivis pro demokrasi bernama Aung San Suu Kyi, putri dari Mayor Jenderal Aung San, yang menentang rezim militer. Ia mendirikan National League for Democracy (NLD) sebagai upaya untuk mendesak pemerintah agar segera mengadakan pemilihan umum.

Tekanan nasional dan internasional mendorong rezim militer untuk mengadakan pemilihan umum pada tahun 1990. NLD berhasil memenangkan pemilihan tersebut, namun junta militer menolak untuk mengakui kemenangan NLD. Kemenangan NLD dianggap sebagai ancaman bagi keberlanjutan junta militer. Sebagai respons, mereka menahan pejabat terpilih, aktivis, dan menempatkan Aung San Suu Kyi, pemimpin NLD, dalam tahanan rumah selama dua dekade.

Pada tahun 2008, rezim junta militer menerbitkan amandemen konstitusi yang kontroversial, yang mengalokasikan 25% kursi parlemen untuk pejabat militer. Kebijakan ini semakin memperkuat posisi junta militer dalam pemerintahan, meskipun rezim junta militer akhirnya lengser. 

Tahun 2011 merupakan titik balik bagi demokrasi Myanmar. Kekuatan sipil berhasil merebut kembali kekuasaan dari genggaman junta militer. Aung San Suu Kyi terus berusaha mempertahankan popularitasnya baik di tingkat nasional maupun internasional. Sebagai bukti signifikan, ia memenangkan pemilihan umum pada tahun 2015 dan 2020 secara berturut-turut.

Era pemerintahan sipil tidak bertahan lama. Pada 1 Februari 2021, junta militer kembali melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil. Junta militer berhasil mengambil alih kekuasaan setelah menahan Presiden Win Myint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, dan beberapa pejabat politik yang terafiliasi dengan NLD. Wakil Presiden Myint Swe kemudian diangkat menjadi pemimpin negara yang baru. Meskipun demikian, junta militer tetap menekan pemerintah sipil untuk mundur dari kursi kekuasaan. Kudeta ini terjadi karena pemerintahan sipil dianggap gagal dalam mengimplementasikan pemilihan yang adil dan transparan.

Mengutip dari jurnal karya Willi Ashadi yang berjudul Kudeta Junta Militer Myanmar Terhadap Aung San Suu Kyi 2021, junta militer menerbitkan Surat Edaran Nomor 9/2021 yang mengumumkan pembentukan State Administration Council (SAC) sesuai dengan Pasal 419 Konstitusi 2008. SAC dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing, yang hingga kini menjabat sebagai kepala junta militer Myanmar. Dengan demikian, SAC telah mengambil alih kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara mutlak. Melalui SAC, junta militer mencopot 24 menteri dan wakil menterinya, dan menggantikannya dengan 11 pejabat militer.

Baca juga:

Where is Humanity?

Kekuasaan absolut junta militer membuat mereka kehilangan simpati dan empati terhadap kemanusiaan. Junta melakukan berbagai upaya untuk mencapai absolutisme kekuasaan di Myanmar. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) memberikan keterangan bahwa pasukan keamanan junta telah membunuh setidaknya 263 orang melalui serangan artileri, serangan udara, dan pembakaran pemukiman. Hampir 500 orang, termasuk guru, pengacara, dan tenaga kesehatan, ditangkap dan dihukum tanpa proses peradilan yang jelas.

Vonis yang sarat akan penyalahgunaan kekuasaan diberlakukan terhadap para tahanan politik. Vonis makar dan penghasutan ditetapkan untuk memperluas kriminalisasi terhadap gerakan oposisi. Parahnya, The Independent Investigative Mechanism for Myanmar (IIMM) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemukan bukti kuat bahwa junta militer Myanmar telah menargetkan masyarakat sipil dalam operasi pengeboman udara yang dilakukan tanpa melakukan rasionalisasi sasaran.

Pelanggaran yang terstruktur dan sistematis terhadap masyarakat sipil merupakan bukti bahwa junta militer telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan menggunakan akal sehat, kita dapat menilai junta sebagai pengkhianat kemanusiaan. Sejak tahun 2021, junta telah membunuh lebih dari 3.000 orang dan menahan lebih dari 20.000 orang secara sewenang-wenang.

Resolusi Dewan Keamanan PBB pada Desember 2022 menyerukan akses kemanusiaan yang penuh, aman, dan tanpa hambatan. Junta memberikan respons yang keras terhadap resolusi tersebut. Sebagai bentuk “hukuman” terhadap warga negara yang melawan, mereka melakukan blokade terhadap bantuan kemanusiaan dari berbagai penjuru.

Ke Mana Para Anggota ASEAN?

Solidaritas yang mumpuni tidak ditampakkan oleh negara-negara ASEAN. Vietnam dan Laos lebih memilih posisi abstain. Disusul dengan Thailand, Filipina, dan Kamboja yang tidak ingin ikut campur. Posisi berbeda ditunjukkan oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang kian cemas dengan adanya konflik yang berkecamuk di Myanmar.

Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Jakarta pada 24 April 2021, yang menghasilkan Lima Poin Konsensus ASEAN. Isi konsensus tersebut mencakup penghentian kekerasan, dialog konstruktif, bantuan kemanusiaan, dan penunjukan utusan diplomatik khusus. Namun, sayangnya, konsensus tersebut tidak membahas pembebasan tahanan politik dan proses demokratisasi di Myanmar.

Pemerintah bayangan Myanmar, atau National Unity Government (NUG), menyatakan bahwa konsensus yang dihasilkan dari KTT ASEAN pada 24 April 2021 telah gagal. Lima Poin Konsensus ASEAN tampak lebih seperti pernyataan sikap daripada komitmen negara-negara ASEAN untuk turut serta dalam penyelesaian konflik di Myanmar. Indra Kusumawardhana dalam jurnalnya yang berjudul Mengapa Rezim Internasional Gagal? Analisis Legalisasi Lima Poin Konsensus ASEAN tentang Myanmar Pasca Kudeta Militer 2021 menyebutkan bahwa banyak pihak menganggap konsensus ini mirip dengan peribahasa anjing menggonggong, kafilah berlalu.

ASEAN sangat berbeda dengan Uni Eropa, yang memiliki legitimasi untuk menerapkan keputusan kepada negara-negara anggotanya melalui jalur hukum dalam penyelesaian masalah regional. Budaya The ASEAN Way menjadi salah satu faktor kegagalan konsensus tersebut untuk digunakan sebagai instrumen penyelesaian konflik di Myanmar.

Amitav Acharya dalam bukunya yang berjudul Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order menegaskan bahwa ASEAN selalu menggunakan konsensus dalam pembuatan keputusan yang mengedepankan sikap santun dan ramah yang dituntun oleh komitmen terhadap moderasi dan akomodasi. Prinsip tersebut seringkali menghambat ASEAN dalam menangani masalah regional yang membutuhkan sikap tegas.

Akan tetapi, sebenarnya ide untuk mengubah prinsip tersebut telah muncul sebelumnya. Gagasan perubahan tersebut diprakarsai oleh mantan Menteri Luar Negeri Thailand, Abhisit Vejjajiva, yang menganggap The ASEAN Way sudah tidak relevan. Alhasil, ironis, ASEAN yang menonjol di kawasan Asia-Pasifik justru tersandera oleh prinsipnya sendiri di kawasan Asia Tenggara.

Penting untuk diakui bahwa perjuangan untuk demokratisasi Myanmar masih jauh dari selesai. Kemajuan sekecil apa pun langsung dihancurkan oleh junta militer. Kekuasaan absolut telah menjadi sebuah fetish yang harus dipenuhi junta militer. Akibatnya, junta militer menjadi penguasa yang nirempati dan tidak berperikemanusiaan dalam rangka memuaskan hasrat libidinalnya. Solidaritas dan komitmen yang kuat dari masyarakat internasional sangat diperlukan untuk mendukung upaya demokratisasi di Myanmar, agar negara tersebut dapat segera bebas dari belenggu junta militer dan mendapatkan keadilan.

 

Editor: Emma Amelia

Hillbra Naufal Demelzha Gunawan
Hillbra Naufal Demelzha Gunawan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email