Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Sejarah UNJ. Sedang berdinamika juga di Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika.

Dari Eksil Sampai Rakyat Kampung Bayam, Negara Terus Merenggut Rumah Rakyat

Andreas Handy

2 min read

“Kampung Bayam pulang ke rumah.”

“Kampung Bayam pulang ke rumah.”

Perkataan itu lantang disuarakan rakyat Kampung Bayam dalam setiap agenda perlawanan mereka. Semboyan tersebut membakar api perlawanan mereka, layaknya seruan merdeka atau mati yang tertanam dalam benak seluruh pemuda pada masa revolusi.

Dalam semboyan rakyat Kampung Bayam itu, tergambar jelas tujuan perlawanan mereka, yakni pulang ke rumah. Sebelumnya, Kampung Bayam adalah tempat mereka bertumbuh bersama selama puluhan tahun. Akan tetapi, Kampung Bayam kemudian dicengkram oleh pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). Agar rakyat Kampung Bayam merelakan rumah mereka digusur, pemerintah menjanjikan pembangunan Kampung Susun Bayam (KSB) yang berada persis di samping JIS.

Baca juga:

Namun, setahun lebih diresmikan, KSB masih tidak dapat ditempati oleh rakyat Kampung Bayam. Belakangan pemerintah mengatakan rumah susun itu tidak diperuntukkan bagi mereka. Rakyat Kampung Bayam pun merebut paksa hak mereka. Walau sudah pulang, rumah mereka masih terancam diambil alih oleh pemerintah.

Pengalaman terpisah dari rumah karena tindakan semena-mena negara juga dialami oleh sebagian besar tokoh dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori. Terinspirasi dari kisah nyata para eksil politik pasca peristiwa G30S, novel ini menceritakan kisah hidup Dimas Suryo bersama ketiga kawannya, Nugroho, Tjai, dan Risjaf.

Tanpa tahu menahu terkait kejadian berdarah itu, Dimas dan kawan-kawanya dilarang pulang ke Indonesia karena kedekatan mereka dengan sejumlah orang komunis. Mereka pun berkumpul di Paris dan berusaha melanjutkan hidup di sana. 

Akan tetapi, kerinduan akan rumah terus membuat para eksil itu menderita. Penderitaan itu tergambar jelas dari kisah hidup Dimas Suryo. Dimas adalah seorang pengelana, ia sangat sulit terikat pada satu pemikiran, tempat tinggal, maupun wanita. Tampak bertolak belakang dari sifatnya itu, Dimas sangat terikat dengan Indonesia, walaupun sudah terpisah puluhan tahun dari tempat itu.

Selama di Paris, Dimas mempunyai pasangan dan seorang anak yang begitu ia cinta. Ia sangat senang dengan pekerjaannya sebagai koki di sana. Ia pun selalu dikelilingi para sahabatnya. Namun, kota tempat para penyair hebat hidup itu tidak juga Dimas anggap sebagai rumah.

Sekali lagi, apalagi yang harus aku keluhkan jika aku dikelilingi keluarga yang mencintaiku? Mengapa aku tetap merasa ada sepotong diriku yang masih tertinggal di tanah air?” pikir Dimas Suryo (hlm. 87).

Perlawanan Mereka yang Ingin Pulang

Sebulan setelah KSB diresmikan, rakyat Kampung Bayam mendirikan tenda di dekat KSB karena mereka belum bisa menempati rumah susun itu. Beratapkan terpal yang mudah bocor, rakyat Kampung Bayam tinggal di sana untuk memperjuangkan rumah mereka.

Tinggal di sekitaran KSB, kehidupan rakyat Kampung Bayam jauh dari kata layak. Minimnya pendapatan, serta sulitnya mendapatkan listrik dan air bersih, membuat kesehatan dan pendidikan anak-anak Kampung Bayam terganggu. Karena merasa tidak bisa lagi tinggal di sana, rakyat Kampung Bayam nekat menempati paksa KSB.

Masalah tak henti sampai di situ. Selain kesulitan mendapat listrik dan air bersih, intimidasi dan permasalahan hukum kemudian menimpa mereka. Terbaru, salah satu rakyat Kampung Bayam, Furqon, ditangkap paksa oleh pihak kepolisian karena menempati paksa KSB.

Sama seperti rakyat Kampung Bayam, para eksil politik dalam Novel Pulang juga berjuang untuk pulang ke rumah. Dimas Suryo dan para kawan-kawanya berulang kali mengajukan permohonan ke duta besar Indonesia di Prancis, tapi tawaran itu selalu ditolak mentah-mentah oleh pemerintah.

Guna mengatasi kerinduan mereka dari rumah, Dimas bersama ketiga kawannya mendirikan restoran khas Indonesia di Paris yang bernama Restoran Tanah Air. Ramainya pengunjung yang datang ke sana, membuat restoran itu serupa duta Indonesia di Prancis.

Baca juga:

Keramaian restoran itu menarik sejumlah jurnalis dan aktivis Indonesia datang ke sana. Mereka mewartakan para eksil di Restoran Tanah Air dan kemudian menghebohkan masyarakat Indonesia. Akibatnya, Dimas dan kawan-kawan sering kali mengalami intimidasi dari penjilat rezim Orde Baru.

Kontra Hegemoni

Kasus eksil politik sampai rakyat Kampung Bayam menjadi bukti bahwa negara dengan semena-mena mencabut rakyat dari rumahnya. Rakyat Kampung Bayam dirampas tempat tinggalnya. Para eksil dijauhkan dari tanah airnya.

Sudah terlalu lama negara bertindak semena-mena. Penting bagi kaum tertindas untuk menyebarkan tatanan yang sesuai dengan kepentingan mereka, sebagaimana yang dikatakan Gramsci sebagai kontra hegemoni.

Semboyan dan organisasi rakyat Kampung Bayam, serta cerita kehidupan para eksil dalam novel Pulang merupakan wujud kontra hegemoni untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang tertindas, seperti untuk lepas dari diskriminasi ataupun dapat kembali pulang ke rumah.

 

 

Editor: Prihandini N

 

Andreas Handy
Andreas Handy Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Sejarah UNJ. Sedang berdinamika juga di Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email