Pada Juli 1988, sastrawan sufistik Danarto menulis cerpen dengan judul “Lempengan-Lempengan Cahaya” yang kini termuat dalam kumpulan Setangkai Melati di Sayap Jibril. Selayaknya hari ini, orang-orang Palestina saat itu harus berhadapan dengan kekuatan Israel yang menduduki tanah mereka.
Cerpen ini dimulai dari diperkenalkannya Surah Al-Fatihah, Ayat Kursi, dan dua ayat Ali Imran, yaitu ayat 18 dan 19, sebagai lempengan cahaya yang diutus Allah untuk turun ke bumi. Sepanjang perjalanan itu, semua hal di sekitarnya menyambut dan berbahagia. Mereka bertemu sapuan warna, bintang-bintang, hingga awan gemawan.
Ayat-ayat yang menjadi lempengan cahaya itu mengembara ke seluruh penjuru bumi dan sering muncul di hadapan orang per orang di berbagai tempat, seperti di kerumunan pengajian, di masjid, di pasar, di kantor, di stasiun, di hotel, di bengkel, di sawah, di pabrik, di rumah-rumah, di hutan, di gunung, di telaga, dan di tempat-tempat persembunyian.
Dalam kemunculan mereka di hadapan orang-orang itu, Danarto menulis “Begitulah orang-orang menjadi terperangah. Merasa ditatap dengan sejumlah syarat, meski ayat-ayat itu tak pernah mengajukan apa-apa sebagai apa-apa. Lalu orang-orang menjadi sibuk. Menjadi kecanduan kerja, padahal dulunya mereka biasa-biasa saja. Orang-orang seperti mendapat janji. Dan janji itu bakal dipenuhi. Orang-orang jadi demam. Semuanya jadi pemburu.”
Baca juga:
Mengapa dengan ditemui oleh ayat-ayat, orang-orang jadi giat bekerja? Tiga tahun sebelum cerpen ini ditulis, Siti Sundari Tjitrosubono dan kawan-kawan, dalam penelitian mereka berjudul Memahami Cerpen-Cerpen Danarto (1985) menjelaskan konsep kebatinan yang berhubungan dengan “kerja” ini. Konsep pertama kebatinan adalah panteistisan. Yang kedua adalah adanya dua segi pada diri manusia, yaitu segi batiniah dan segi lahiriah. Segi batin adalah roh, yang berasal dari tabiat Ilahi dan membuatnya menjadi kenyataan yang sejati. Sementara itu, sisi batiniah adalah badan, inilah wilayah kerajaan roh yang harus bisa manusia kuasai.
Jika yang badaniah dapat dikuasai oleh yang roh, akan terjadi kesatuan ketika badan mengalami proses spiritualisasi dan berkembang menjadi rohani. Harmoni dari kesatuan ini bukannya tanpa gangguan. Salah satu gangguan bisa berasal dari intelektualisme yang akan menghasilkan sifat individualisme sebagai paham yang memperbesar sifat pamrih. Di sini, bekerja adalah bagian dari kebaikan diri pribadi, demi kebaikan bangsa, dan demi kebaikan umat manusia sedunia yang harus berhati-hati dengan sifat pamrih itu.
Giat bekerja dan menjadi “pemburu” ini juga terjadi ketika para lempengan cahaya ini sampai di Palestina. Mereka datang mengetuk pintu rumah salah seorang keluarga yang situasinya digambarkan Danarto dengan begitu menyedihkan.
“Ketukan itu memang terasa sangat lemah dibanding rentetan tembakan dan ledakan-ledakan yang memporak-porandakan bangunan sekelilingnya. Siapa yang peduli ketukan? Seluruh anggota keluarga yang ada di dalam rumah boleh jadi sedang tiarap di lantai, mencoba menghindari desingan peluru.”
Paragraf selanjutnya menunjukkan posisi Danarto dalam konflik Palestina-Israel,
“Dan pemburu-pemburu bagi berdirinya negara Palestina mendapat semangatnya dari ayat-ayat ini. Para pemburu itu sedang memperjuangkan didapatkannya tanah bagi negara Palestina, meski sebenarnya tanah itu sudah ada. Tanah itu sudah lama ada, hanya saja ada bendera lain yang sedang mendudukinya. Israel bukanlah Israel kalau ia tidak Israel.”
Di sini Israel tak hanya sebagai suatu negara, tapi juga suatu kata kerja dan kata sifat. Bagi Danarto, Israel adalah merebut. Israel adalah kerakusan. Maka para “pemburu” itu makin giat pula bekerja demi kebaikan diri dan bangsanya itu, dikobarkan oleh ayat-ayat yang muncul. Danarto tahu betul bagaimana keyakinan tertentu akan menggerakkan seseorang untuk bertindak berani.
Lempengan cahaya ayat-ayat itu diceritakan sampailah pada seorang anak perempuan Palestina. Dua orang serdadu Israel menemukannya menelan sesuatu—yakni lempengan cahaya—yang awalnya dicurigai sebagai dokumen rahasia. Ia menelan ayat-ayat itu sebab “tentara-tentara sudah biasa mengambil ayat-ayat suci kami”. Anak perempuan berumur tujuh tahun itu, yang ternyata bernama Fatimah, dibawa oleh dua serdadu itu ke pos keamanan, menghadap komandan.
Di sana, Fatimah diminta memuntahkan lempengan cahaya itu. Setelah berhasil keluar, sang komandan memerintahkan dua serdadunya tadi untuk menelan benda itu, tapi mereka tak sanggup. Begitu pula sang komandan juga gagal untuk tidak memuntahkan kembali lempengan cahaya.
Baca juga:
Di luar, keramaian terjadi, Fatimah kembali pada orang tuanya yang berpikir ia telah diculik. Orang-orang Palestina menyerbu. Tentara Israel membalas dengan rentetan tembakan dan gas air mata. Hari itu tiga anak muda Palestina telah gugur dan dilarikan oleh Israel—caranya agar tak ada upacara pemakaman besar yang menjadi kampanye perjuangan.
Yang menarik, setelah bentrokan diredam, ternyata baik komandan, para serdadu, dan polisi, sibuk mengumpulkan lempengan cahaya ayat suci yang tersebar di mana-mana. Hingga mereka menemukan pohon yang begitu bercahaya, yang ternyata sebenarnya adalah tempat keberadaan Fatimah yang pakaiannya ditempeli lempengan-lempengan cahaya itu. Malang, anak itu ditangkap serdadu Israel—dan komandan begitu senangnya dapat mengambil lempengan-lempengan cahaya itu.
Cerpen yang ditulis Danarto dalam merespons apa yang terjadi di Palestina itu tak terlepas dari pemikirannya mengenai sastra transendental atau sastra sufistik.
Sastra transendental atau juga sastra sufistik, menurut Danarto dalam majalah Horison no. 4 1989, menjangkau warna dasar kemanusiaan. Sastra ini membahas kehidupan sehari-hari manusia hingga hubungannya dengan Tuhan. Meskipun begitu, ia sadar bahwa sastra yang demikian tak menyumbang hal yang signifikan dalam rekayasa sosial, tapi lebih tepat untuk disebut sebagai sastra yang merasakan gejolak masyarakat.
Pada Mingguan Surabaya Post 29 April 1990, Danarto menunjukkan bahwa peran sastrawan dalam merasakan luka-luka manusia lain adalah penting. Bagi seorang sastrawan seperti Danarto, merasakan apa yang terjadi adalah tanggung jawab yang harus dipanggul. Jika ia dapat merasakan tiap masalah itu, orang lain juga dapat merasakannya.
Dalam wawancaranya di Suara Pembaruan 4 Januari 1988, beberapa bulan sebelum cerpen ini ditulis, Danarto menekankan kegunaan sastra transendental sebagai apa yang mendorong tiap orang untuk sadar akan harkat dirinya sendiri. Niscaya dengan kesadaran itu, orang akan bangkit dan sibuk untuk membenahi dirinya sendiri. Ketika semua orang merasakan tiap-tiap masalah yang menggerogoti kemanusiaan, semua orang akan tergerak untuk menuju dunia yang lebih baik.
Danarto berusaha membangun solidaritas seperti kita semua. Mungkin banyak dari kita tak bisa menyumbangkan apa-apa kecuali suara-suara mendukung perjuangan Palestina. Saya bayangkan Danarto berucap, “Tak apa, yang penting kita telah turut merasakan. Dengan begitu, kita dapat mempertanggungjawabkan hati dan isi pikiran yang telah diberikan yang Maha Kuasa kepada kita di saat-saat yang begitu menakutkan,” seraya bersenda-gurau dengan para penduduk Palestina yang telah mengungsi ke surga.
Editor: Prihandini N
2 Replies to “Dari Danarto untuk Palestina”