Sering kali para sarjana pendidikan mengeluhkan muramnya masa depan seorang guru. Mulai dari kesejahteraan ekonomi sampai persaingan yang kian ketat. Sementara itu jurusan lain (non-keguruan) punya kesempatan yang sama menjadi guru hanya dengan mengikuti Program Profesi Guru. Jika melihat fakta yang ada memang sungguh ironis, guru yang merupakan profesi yang sangat mulia, nasibnya kurang diperhatikan. Untuk mengobati keresahan tersebut ada baiknya para calon guru ini meneladani sosok Bu Guru Desi.
Bu Guru Desi yang saya maksud di sini adalah salah satu tokoh dalam novel terbaru Andrea Hirata, yang berjudul Guru Aini. Andrea Hirata tetap konsisten dengan tema perjuangan untuk berani meraih mimpi apa pun keterbatasan yang kita miliki. Selain itu, gaya menulis khas Andrea Hirata juga tidak berubah. Gaya bahasa yang menggunakan bahasa daerah, sesuai tempat yang diangkat sebagai latar cerita. Majas ironi yang muncul membuat kita tertawa getir, bahkan membuat mata berkaca-kaca. Serta nama tokoh yang menggambarkan karakter khas tokoh tersebut.
Kembali ke sosok Bu Guru Desi, yang memiliki nama lengkap Desi Istiqomah. Desi muda digambarkan sebagai sosok yang benar-benar istiqomah (teguh pendirian). Sejak mengenal Bu Guru Marlis yang merupakan guru matematikanya waktu kelas 3 Sekolah Dasar, Desi sudah merasa bahwa menjadi guru matematika adalah alasan dia ada di dunia ini. Ancaman dari Ibunya bahwa menjadi guru tidaklah memiliki masa depan yang cerah, tidak mempan sama sekali.
Ibunya sudah mengatakan, apabila Desi memutuskan tetap ingin menjadi guru dengan mengikuti Program Pendidikan Ikatan Dinas, dia akan ditempatkan di daerah pelosok dengan segala keterbatasannya. Iming-iming kuliah di Jakarta, menjadi dokter, insinyur, ekonom, bahkan model, sama sekali tidak menggoyahkan cita-cita Desi untuk menjadi Guru. Ibu Desi pun tak kehabisan akal. Dia meminta bantuan Kepala Sekolah di SMA untuk membujuk Desi.
Kepala sekolah Desi mengatakan bahwa Desi bisa memilih jurusan apa pun dan universitas mana pun. Desi pasti lolos karena dia merupakan lulusan terbaik. Namun, rayuan itu tidak digubris oleh Desi. Lanjut ke rayuan berikutnya untuk belajar ekonomi juga tidak mempan. Akhirnya Kepala Sekolah menggunakan pendekatan yang politis dan spiritual, Desi dianjurkan agar berbakti kepada orangtuanya, dengan cara melanjutkan bisnis ayahnya. Rayuan itu pun tetap tak mengubah keinginan Desi untuk menjadi guru.
Keinginan Desi untuk mengikuti Program Pendidikan Ikatan Dinas bukan demi status PNS. Desi murni ingin mengabdi, ingin mengajar anak-anak di pelosok, ingin menjadi guru matematika. Seindah apa pun janji lain yang ditawarkan, Desi tak mau menukar impiannya. Desi juga rela putus dengan pacarnya, karena keras hatinya ingin menjadi guru matematika. Bagi Desi untuk memajukan pendidikan memang memerlukan pengorbanan. Dan dia rela berkorban apa pun karena pengorbanan baginya adalah nilai tetap, konstan, tak boleh berubah.
Desi berhasil menjadi lulusan terbaik dalam Program Pendidikan Ikatan Dinas. Sebagai lulusan terbaik, dia berhak memilih tempat pengabdian sesuai yang diinginkannya tanpa perlu ikut undian. Desi bisa saja memilih ditempatkan di kota besar, kota kelahiran, atau di mana pun, tetapi hal itu ditolaknya. Dia tidak ingin mengotori niatnya, yaitu mengabdi. Rektornya juga berpesan,”kita akan kesulitan memajukan pendidikan, jika seseorang ingin menjadi guru sekadar untuk mencari nafkah.”
Ketika membuka hasil undian, Desi mendapat tempat pengabdian di Bagasiapiapi, yang merupakan kota pelabuhan yang maju, makmur, indah dan agamis. Sempurna bagi Desi. Namun, dia menukarnya dengan Pulau Tanjong Hampar. Suatu pulau yang sangat asing. Orang Sumatera pun lebih banyak yang tidak tahu pulau tersebut. Bahkan Desi sendiri baru pertamakali mendengar nama pulau tersebut. Namun, dia dengan besar hati dan ketulusan bertukar tempat dengan Salamah, temannya, karena dia tidak tega melihat temannya menangis tersedu-sedu di pojok kelas.
Perjalanan Desi menuju Pulau Tanjong Hampar juga tidak mudah. Memakan waktu 7 hari 6 malam dan harus berganti-ganti kendaraan. Mulai dari bus kecil, bus besar, angkot, ojek, kapal kayu, dan kapal besi. Desi juga masih harus berhenti di pulau-pulau lain sebelum menuju Pulau Tanjong Hampar. Sampai di Kampung Ketumbi, daerah tempat Desi akan mengajar, dia mendapat jatah rumah dinas tipe 21. Rumah dinas tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan kamar Desi di rumah orang tuanya. Hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangatnya untuk mengabdi.
Perjuangan Bu Guru Desi di Ketumbi juga tidak mudah. Murid di sana banyak yang kesulitan dan membenci matematika. Bahkan Bu Guru Desi pernah mendapat murid yang sangat bebal dalam pelajaran matematika. Murid tersebut bernama Aini, yang setiap pelajaran matematika, dia mengalami sakit perut, tetapi selesai pelajaran matematika langsung sembuh (gejala psikosomatis). Ibu dari Aini juga mengalami hal seperti itu dan merupakan murid Bu Desi juga.
Sebenarnya Aini bukan murid di kelas Bu Desi, tapi murid di Kelas Pak Tabah yang amat sangat tabah. Namun, karena Aini ingin menjadi dokter dan salah satu syaratnya menurut Pak Tabah harus bisa matematika, maka Aini memutuskan untuk pindah ke kelas Bu Desi. Bu Desi dikenal sebagai guru matematika terbaik, dan Aini ingin belajar matematika langsung dari yang terbaik. Sebelum merima Aini, Bu Desi ingin melihat buku ulangan matematika Aini selama ini.
Setelah melihat buku ulangan matematika Aini, Bu Desi bertanya,”Boi, siapa yang mengajarimu bahasa komputer bilangan biner?” Aini hanya terdiam kebingungan.
Bu Desi melanjutkan,”tengoklah, Boi, berderet-deret nilai 0 dan 1 dalam bukumu ini.”
Aini menjawab ”berarti bagus, ya, Bu? Nanti kelas 2 memang akan ada pelajaran dasa-dasar komputer.”
Inilah gaya menulis a la Andrea Hirata yang saya sukai. Dan masih banyak lagi dialog-dialog polos antar tokoh di novel Guru Aini yang akan membuat kita tersenyum getir atau tertawa sambil berkaca-kaca membacanya.
Novel Guru Aini memang karya fiksi, tapi perlu kita ingat, Yuval Noah Harari menjelaskan dalam karyanya, Sapiens, bahwa manusia bisa mencapai kesuksesan peradaban seperti sekarang karena kemampuannya untuk menciptakan dan memercayai fiksi.
Andrea Hirata juga menegaskan bahwa fiksi bukan sekadar mengadakan yang tidak ada, fiksi adalah cara berpikir dan cara terbaik untuk menceritakan fakta.
Di tengah hiruk-pikuk para lulusan keguruan yang ingin menjadi guru atas dasar angan-angan hidup mapan, status PNS yang tampak cemerlang, dan tunjangan di hari tua, masih ada Guru Desi lainnya yang dengan istiqomah mengabdikan diri semata-mata untuk kemajuan pendidikan, meskipun tak mendapat imbalan yang sebanding dengan jasa-jasa yang telah mereka berikan.
Dari Bu Guru Desi kita belajar… nasib guru harus segera diperbaiki!
Baca juga: