Aku adalah gambar yang berubah-ubah,tergantung bagaimana kamu memandangnya.

Danarto Menjaring Malaikat

Shankara Araknahs

3 min read

Akulah Jibril, yang angin adalah aku, yang embun adalah aku, yang asap adalah aku, yang gemerisik adalah aku, yang menghantar panas dan dingin. Aku mengirimkan kesejukan, pikiran segar yang mengajak giat belajar. Akulah yang menyodorkan keheranan sekaligus jawaban…

( Danarto, dalam cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat )

Beberapa hari lalu, ketika melewati Jalan Raya Ciputat, Tangerang Selatan, saya tiba-tiba teringat pada seorang sastrawan besar Indonesia yang begitu terkenal dengan cerpen-cerpen “kesurupan”. Istilah itu diungkapkan Redaktur Majalah Horison, Arief Budiman dalam Horison edisi April 1969, saat diminta menggambarkan gaya kepenulisan seorang Danarto.

Baca juga: 

Danarto sempat menghabiskan masa tuanya di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, ditemani bertumpuk-tumpuk buku dan klipingan-klipingan koran yang memenuhi rumah kontrakannya. Pada 10 April 2018 di Jalan Raya Ciputat, Danarto kembali kepada Kekasih Sejati yang paling dirindukannya, setelah tertabrak sepada motor ketika hendak menyebrang jalan.

Dalam kesusastraan Indonesia, Danarto mampu mengolah pengalaman spiritualitas hidupnya yang dapat dikatakan unik. Sebab, sebelum menyelami pengalaman spiritual beserta pengaruhnya tersebut, ia telah tekun mengakrabi pengetahuan sufistik sejak usia 23 tahun. Dan semua cerita pendeknya selalu dibicarakan dalam kelindan tema sufistik, realisme-magis, atau surealis. Bagi sebagian orang, karya Danarto sering dikaitkan dengan pemikiran sufi besar Persia, Ibnu Arabi yang terkenal “kontroversial” dengan konsep Wahdatul Wujud dan Pantheisme-nya. Konsep ini sangat begitu terasa dalam setiap cerpen-cerpen Danarto.

Sebagaimana terungkap dalam Rumah Sastra Indonesia (2002) karya Harry Aveling, pada pertemuan kecil yang informal, 19 Januari 1973, di Ruang Kuliah Umum LPKJ Taman Ismail Marzuki, Danarto mengatakan bahwa panteisme merupakan titik tolak kreativitasnya. Menurutnya, kita semua akan menjadi Tuhan, dan itu wajar sebagai perkembangan evolusi. Ia juga mempertanyakan apa itu baik dan buruk. “Bukankah kita tak tahu apakah kebenaran dan keburukan itu?” ujarnya.

Wahdatul Wujud 

Ibnu Arabi meyakini bahwa di alam semesta ini hanya ada satu realitas. Realitas ini kita pandang dari dua sudut pandang yang berbeda, ketika kita menganggapnya sebagai esensi dari semua fenomena, realitas itu kita namai Al-Haqq dan Al-Khalq, realitas dan penampakan yang satu dan yang banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari suatu realitas tunggal. Misal, dilihat dari satu aspek, Allah adalah satu, tetapi dilihat dari aspek lain Allah adalah semuanya (kull) yang mengandung keanekaan.

Akulah Jibril, yang pada suatu malam mendatangi tukang kebun itu dalam mimpi. Kukatakan kepadanya bahwa aku ingin bermain dengan anak-anak semuanya. Ketika ia bangun kira kira jam tiga malam, ia termangu-mangu duduk di tempat tidur. Istrinya acuh tak acuh melihat dia, sambil menggeliat mem-balikkan tubuhnya dan tidur lagi. Sementara tiga orang anaknya lelap sekali. Pagi, harinya ia menemui guru sekolah dan mengatakan bahwa Jibril-lah yang memecahkan genting dan menggantinya kemarin dan menggantinya sendiri. Guru itu mengira tukang kebun ini sedang mengigau.

( Danarto, Cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat )

Tuduhan bahwa doktrin wahdatul wujud dapat diberi label “panteisme“, “monisme“, “monism ontologis“, “monisme eksistensialis“, “monism pantaistik“, dan semacamnya ditolak dengan tegas oleh salah satu seorang sarjana Muslim kontemporer, yakni Sayyed Hossein Nasr. Ia memandang bahwa istilah – istilah “panteisme”, “panenteisme“,“monisme eksistensialis“, dan “mistisisme natural“ tidak dapat dipakai untuk mendiskripsikan doktrin wahdatul wujud.

Tuhan menurut doktrin ini adalah transenden terhadap alam, sekalipun alam dalam tingkatnya sebagai yang real tidak dapat sepenuhnya lain dari Tuhan. Segala sesuatu di alam ini adalah penampakannya. Bersamaan dengan hal itu, salah satu filsuf Perancis Henry Corbin menyangkal pemakaian istilah monisme dan panteisme untuk menyebut doktrin wahdatul wujud Ibn Arabi. Ia mengusahakan interpretasi nonpanteistik dan nonmonistik tentang pemikiran Ibn Arabi. Ia juga mengatakan bahwa istilah monisme tidak sesuai untuk mendiskripsikan doktrin wahdatul wujud Ibn Arabi.

Pendapat tersebut selaras dengan makna yang terkandung dalam setiap cerita yang ditulis Danarto, khususnya pada cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat. Dalam kutipan di atas sangat terasa bahwa danarto ingin menyampaikan, bahwasanya entitas Tuhan selalu hadir dan hampir selalu menyatu dalam seluruh pergerakan di alam semesta, baik dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Terlihat betul Danarto sangat lihai mengolah suatu konsep yang bisa dibilang rumit menjadi terasa ringan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Pagi harinya ia menemui guru sekolah dan mengatakan bahwa Jibrillah yang memecahkan genting dan menggantinya kemarin dan menggantinya sendiri. Guru itu mengira tukang kebun ini sedang mengigau.

(Danarto, Cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat )

Ibnu Arabi sendiri berpendapat bahwa untuk dapat memahami Allah terbagi dalam 3 tahapan:

  1. Ahadiyah, wujud Tuhan merupakan zat mutlak lagi mujjarad, tidak bernama dan tidak bersifat . karena itu Ia tidak dapat dipahami ataupun di khayalkan. Pada martabat ini Tuhan- sering di istilahkan Al-Haq oleh Ibnu Arabi- berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap ( Fi al’ama ); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak dinamai. Pada martabat ini, Al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapapun dan tidak dapat diketahui (di level ini satu-satunya jalan untuk memahami Tuhan adalah dengan Teologi Negatif).
  2. Wahidiyah, zat yang mujjarad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, dengan sifat dan nama yang Maha Sempurna ( Al-Asma Al- Husna, Allah). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensi dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (Al-A’yan Tsabitah).
  3. Tajalli Syuhudi, pada martabat ini Allah Swt bertajali melalui Asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajalli Al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya, Ia tidak lain laksana ‘aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan Jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada, begitupula pada Tasawuf.

 

Shankara Araknahs
Shankara Araknahs Aku adalah gambar yang berubah-ubah,tergantung bagaimana kamu memandangnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email