Cuih!
Aku memalingkan leher ke tempat lalu
aku mengacungkan jari tengah di tanah lumpur
aku tak peduli kepada bunga layu
letaknya di tengah jalan berliku
aku menusuk babi yang berjalan di hadapanku
sebabnya berak sembarang
aku acuh kepada seorang yang peduli kepadaku
aku menghantupkan kepalaku di ranjang
Sungguh aku tak heran
sungguh aku tak peduli
berapa orang menunjukku memakai jari kelingking ?
berapa masa berputar di absurd jam takdir ?
berapa kejap sudah aku mulai berkedip ?
juga yang mesti aku lalui ?
dunia kilatan maya yang tersambar di liang lahat
aku muntah kata
tak peduli orang di sekitarku
tak heran mereka semua di depanku
mereka semua menutup mata
di saatku jatuh dan menangis sendiri
di sebuah taman saat kesepian
Aku mematahkan sayap anak dara yang hendak terbang
aku tak peduli berapa lama bulan berguling di langit
aku berjalan menuju arah tunggal
dimana aku seorang saja di temani ajal
aku melompat di tebing tajam
sebabnya kesadaran membuatku runyam
aku tak peduli berapa lama menulis sajak
kisah cinta tertipu asmara
kisah sepi menadah sunyi
kisah dusta mencium setiap mulut kita
sungguh aku tak peduli lagi
kisah dunia meminta belas kasih
dan setiap manusia memiliki sifat serupa bunglon
di janji dapat hal serupa
yang ada hanya kisah kecohan
Cuih! Cuih! Cuih! Cuih!
Aku meludah ke sebelah kiri
aku takut tak sadar jika malaikat lewat berdiri
aku melempar botol kosong
isinya berupa omong kosong
aku tidur di tengah hamparan gigir langit
khayalanku terlalu sengit
Aku sudah muak dengan kisah cinta
tertipu asmara
di tengah hanya dusta belaka
Cuih!
Banjarmasin, 14/July/2021 – 16/September/2021
Menjelang Gerhana
Menjelang gerhana
aku lihat bulan tertidur sebentar,
dan menutup mata dari singgasana cahaya
Seseorang yang berdiri menghadap ke atas
di bawah langit yang tak berseri
awan gelap bertudungkan hujan dan guntur
mulai merintikkan gelora
hanyalah suara
yang tak lain sepi sekeras baja
menyatakan kesedihan dan kesenangan
bagi semua orang
Seseorang yang berdiri menatap ke angkasa
bulan siratkan pertanda di hening gumam
tertidur sebentar menutup mata
bahwasanya bulan bangun dan kembali menyinarkan cahaya
entah berapa lama aku harus memuntahkan cahaya
bila selimut temuram masih bertahta di langit
Menjelang gerhana mata pun tertuju
ke arah awan gelap di langit yang menyilang
jalannan aspal yang suram tandus tak berakar
yang menumbuhi hanya sepi
setajam pucuk pisau belati
Banjarmasin, Februari 2016 – Juli 2021
Penantian
Aku tertidur lelap di daerah perbatasan
melawati berjuta angan
bangun dari penantian
Peran diriku beralih sebagai Adam
penegak lurus jalan kebenaran di bumi
saat tertidur menyeberang danau
airnya madu putih rasanya pahit
Tuhan, beri aku pendamping hidup
ketika suaraku mengaung bising singa
sampai terdengar di sekitar belantara
dan mengganggu penduduk surga
Banjarmasin, Januari 2016
Uzair
Mungkin burung itu lewat
katanya dia tidur ternganga
namun tak menyadarkan diri
ia tidur baru seratus tahun
sehabis ia bangun,
apakah aku masih di zaman gila ini?
Oy semuanya aku Uzair
yang tidur seratus tahun
dan bangun jam sembilan
Keledaiku sudah di sorga
tulangnya pun jadi minyak
Banjarmasin, Januari 2016
Malam Asing di Shanghai
Kunang malam yang nakal
dekat bersama seorang gadis berjual durian
aku baru keluar gerbang hotel
ia menghampiriku
Lalu membawaku
dekat gang kosong mirip tabu
Lekas aku bergegas kabur
menutup muka, menyimpul jaket
Lari dari angin malam yang genit
meniup kantup bunga di taman kota
membasuh muka sehabis tempias madu
Kembali ke pengasingan
bersama sang purnama
lalu itu pun umpama
Shanghai, September 2018