Coto Makassar, Rindu dan Trauma Tionghoa

Nany Tjan

7 min read

Imlek tahun ini, di tengah suasana berkabung atas kepergian Mama, kenangan masa kecil kembali hadir. Salah satu kegemaran saya di waktu kecil adalah menemani Mama pergi berbelanja ke salah satu pasar terbesar di Makassar, Pasar Sentral. Pasar ini berada di pusat kota, selain dekat dengan kantor pemerintah dan dekat dengan pelabuhan utama Makassar, juga berdekatan dengan daerah Pecinan yang merupakan daerah bisnis terbesar di Makassar.

Dari dulu hingga sekarang, Pasar Sentral mempunyai peranan penting dan merupakan salah satu pembuluh jantung ekonomi kota Makassar karena saking banyaknya pedagang yang berjualan. Dari sayuran, lauk,  tekstil, sepatu, hingga kosmetik, dapat kita temukan di sini. Skala eceran hingga grosir, semua tergantung kekuatan saldo. 

Masih jelas sekali di ingatan saya, ketika saya menemani Mama berbelanja di pasar ini, biasanya kami akan melewati los-los penjual sayur, daging, dan ikan, untuk menuju los penjual daging babi. Daging babi harus selalu ada stoknya di kulkas kami yang non muslim ini. 

Di sini pulalah pertama kalinya saya mendengar kata CinaSaya dipanggil Cina. Tidak hanya oleh seorang, tapi berulang kali oleh orang yang berbeda. “Hei Cina!”

Waktu itu saya merasa heran, kenapa mereka memanggil saya dengan sebutan Cina, apalagi disertai dengan mimik yang aneh. Ada perasaan canggung karena saya tidak pernah mendengar kata itu dari tetangga-tetangga saya yang merupakan teman sepermainan saya.  

Rasis belum menjadi kosakata bagi seorang bocah yang baru berumur 5 tahun. Tapi rupanya, julukan itu cukup membuat saya ketakutan untuk ikut ke pasar menemani Mama saya. Ada intonasi yang tidak nyaman dalam panggilan itu, yang setelah saya ingat-ingat lagi; sinis, bernada kebencian.

Saya ingat sepulang dari pasar, saya bertanya kepada Mama, apa itu Cina ? Nama saya bukan Cina. Mama saya memberi jawaban yang cukup singkat yaitu, karena kita orang Cina. Ada orang Jawa, ada orang Manado, kita orang Cina.

Baca juga: Menjadi Tacik di Jawa

Jawaban ini semestinya cukup untuk ukuran bocah. Karena seingat saya, saya tidak bertanya lebih lanjut lagi. Saya tahu, Mama juga pasti mendengar dan merasa risih  dengan julukan-julukan rasis itu, tetapi sebagai perempuan, dia pasti tahu tak ada untungnya bertekak lidah dengan penjual-penjual yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang terbatas. 

Di luar pasar, saya jarang mendengar kata-kata Cina. Orangtua saya tidak pernah membatasi pertemanan saya. Dalam arti tidak pernah melarang saya bergaul dengan para tetangga yang bukan berlatar Tionghoa dan mayoritas bukan berasal dari keluarga dengan ekonomi yang memadai. Padahal waktu itu, kota Makassar dicederai dengan insiden kerusuhan yang menyasar orang Tionghoa hanya karena kesalahpahaman antar seorang Tionghoa dan suku lain.

Ini menurut saya sangat bertentangan dengan pandangan umum yang mengatakan bahwa orang Tionghoa bukanlah kaum yang suka berbaur dan berinteraksi dengan orang-orang di luar suku mereka. Tetangga saya terdiri dari bermacam-macam suku, ada yang bersuku Makassar, Makassar Saiyye, Bugis, Toraja, Banjar, Mandar, Sunda, Tolaki, dan tentu saja Tionghoa. Dan seingat saya kami selalu ruku, hangat, harmonis.

Tetangga memperlakukan saya seperti anak sendiri. Waktu kami memutuskan untuk pindah karena membeli rumah baru, tetangga melepas kami dengan sedih. 

Tetangga samping kiri saya adalah seorang Haji yang kami panggil Daeng Ali, seorang Makassar keturunan Saiyye yaitu seorang kelahiran Makassar tapi masih merupakan keturunan dari Syekh -Syekh Arab yang menyebarkan agama Islam di Makassar. Karena Daeng Ali tidak memiliki keturunan, setiap sore menjelang maghrib, dia akan membonceng saya beserta istrinya dengan Vespa terbarunya berjalan-jalan menyusuri Pantai Losari menikmati matahari terbenam. Jika saya sakit, dia akan menjenguk saya dan menenangkan orangtua saya jika saya akan baik-baik saja sambil mendoakan saya di samping tempat tidur. 

Setiap menjelang hari raya Imlek, tetangga kami akan mengirimkan buah tangan seperti ikan bandeng tambak, ayam kampung, kue-kue tradisional, sirup, hingga telur ayam kampung. Begitu juga jika mendekati hari raya Lebaran, kami akan bergantian mengirimkan buah tangan kepada tetangga sebagai bentuk perhatian kami.

Ada satu yang sangat melekat di ingatan saya dan sampai sekarang saya masih merindukan hal ini; Di Makassar, perayaan hari raya Idul Fitri sangatlah meriah. Semua rumah tangga akan mempersiapkan perayaan ini dengan bersemangat dan penuh sukacita. Meja makan tiap rumah akan penuh dengan segala macam hidangan dan juga panganan ringan. Dan mereka akan dengan sukacita mengundang para kerabat, relasi dan juga tetangga untuk bersilaturahmi ke rumah mereka. Bagi mereka, Lebaran bukan saja perayaan hari kemenangan, tapi juga sebagai ajang untuk melepas kerinduan dan kesempatan untuk mempererat silaturahmi dengan kerabat keluarga dan juga relasi.  

Baca juga: Mendekat ke Meja Makan

Tentu saja persiapan seluruh hidangan itu dilakukan pada malam sebelumnya. Alhasil, seluruh udara yang kami hirup mulai pada azan Asar beraroma bumbu coto, pallubasa, ketupat dan tentu saja burasa (lontong Makassar). Kelak saya ketahui, mereka mempersiapkan ini karena mereka akan mengadakan baca-baca, atau selamatan memanjatkan doa syukur akan selesainya bulan Ramadhan yang bisa mereka lalui tahun ini.  

Yang membuat saya terharu, meja makan saya akan penuh dengan berbagai macam menu Lebaran yang dikirimkan oleh tetangga-tetangga samping rumah. Pallubasa, opor, ayam goreng, sambal goreng ati dan kentang, acar hingga ketupat dan burasa tidak lupa melengkapi meja makan kami. 

Kami Orang Makassar

Berbaur dengan bermacam-macam suku membuat kami sekeluarga akhirnya mahir menyerap berbagai bahasa yang sering kami dengar dari tetangga. Karena bahasa yang paling umum adalah bahasa Makassar, alhasil bahasa yang paling kami kuasai adalah bahasa Makassar. Meskipun begitu, kami secara pasif bisa mengerti bahasa Bugis atau Toraja. Bahkan uniknya di Makassar, semua suku apa pun, pasti mahir berbahasa Makassar di samping bahasa kesukuan masing-masing.

Bahasa Makassar hampir menyerupai bahasa Jawa yang membedakan bahasa umum atau Ngoko, serta bahasa halus atau Kromo. 

Di Makassar, ada juga yang kami sebut sebagai Cina Nona-Nona. Mereka adalah keturunan Tionghoa yang sudah mengalami kawin campur dengan suku di Makassar entah itu suku Makassar atau Bugis. Tionghoa Peranakan lebih tepatnya. Menu masakan mereka sehari-hari tidak jauh dari menu tradisional suku Makassar dengan sedikit penambahan bumbu. Bahkan kami di Makassar bisa mengenali sebuah masakan yang dimasak oleh suku Makassar asli atau dimasak oleh Tionghoa Peranakan karena ada perbedaan citarasa yang cukup menonjol.  

Bahasa keseharian Tionghoa Peranakan adalah bahasa Makassar. Bahkan mayoritas dari mereka lebih lancar berbahasa Makassar daripada berbahasa Mandarin ataupun bahasa Indonesia. Tak sedikit dari mereka yang memeluk agama Islam. Intinya tidak serta merta karena mereka Tionghoa maka bisa dipastikan mereka adalah non Muslim. Tidak lagi. 

Saya juga sempat terheran-heran ketika mengetahui beberapa relasi Papa yang tidak fasih berbahasa Indonesia, tapi lebih fasih berbahasa dialek lokal  sesuai daerah di mana mereka dilahirkan. Contoh jika mereka lahir dan dibesarkan di daerah Bone, maka mereka akan memakai bahasa Bugis sebagai bahasa keseharian mereka, diluar bahasa Mandarin atau kesukuan yang diajarkan, contohnya bahasa Hokkian. 

Sewaktu SMA, saya ingat ada seorang teman saya yang berasal dari sebuah kabupaten yang penduduknya mayoritas Bugis bertanya apa enak dan tidak enaknya menjadi seorang Cina. 

Ketika kami bertanya balik maksud dari pertanyaannya, dia kemudian menjawab bahwa itu adalah pertama kalinya dia beraktivitas di suatu lingkungan yang mayoritas muridnya adalah keturunan Tionghoa, dan kebetulan sekolah saya adalah sekolah swasta terkemuka di Makassar, maka dia mengasumsikan bahwa kami semua mengalami hidup yang enak. 

Meskipun anggapan itu begitu naif, tapi ada benarnya. Keturunan Tionghoa seperti saya kebanyakan hidup nyaman, tapi kami lelah selalu dipanggil Cina dan dimanfaatkan sebagai seorang Cina.  

Dalam Trauma dan Teror

Kerusuhan di tahun 1980 meninggalkan trauma sosial yang membekas cukup dalam bagi suku Tionghoa di Makassar. Sejak kejadian itu, kata Papa, suku Tionghoa menjadi takut, minder, serbasalah dan sangat berhati-hati dalam melakukan interaksi sosial. Padahal, suku Tionghoa adalah suku yang gampang berbaur dan berinteraksi karena sifat niaga yang begitu menonjol. Tapi gara-gara kerusuhan itu, kami takut jika suatu hari luka yang sama akan terbelah lagi dan tidak akan pernah sembuh. 

Perasaan takut ini yang kemudian lama-lama menimbulkan  sentimen dan stereotip negatif buat kami suku Tionghoa yang sebenarnya selalu ingin membuka diri dan mencari celah pertemanan serta relasi dengan siapa pun. 

Saya sempat protes ke orangtua saya di masa SMA.  Apa perbedaan kita dengan mereka ? Bukankah kita semua lahir  di Indonesia dan besar di Indonesia ? Apakah ada yang bisa memilih di mana, atau oleh siapa  dia dilahirkan ? Kami berbahasa Indonesia, kami lahir dan besar di Makassar, berbahasa Makassar dan tidak bisa jauh dari coto Makassar. Kenapa kami yang harus menjadi sasaran atau kambing hitam jika terjadi suatu kasus atau polemik.  Apa salah kami sebenarnya ?

Ketika pertanyaan-pertanyaan saya belum mendapat jawaban, pada suatu malam di bulan September 1997, teman sebangku saya menelpon jam 12 malam dengan suara bergetar karena menangis. Makassar dilanda kerusuhan hanya beberapa jam setelah kasus pembunuhan oleh seorang Tionghoa yang ternyata mempunyai gangguan jiwa. Lewat telepon saya bisa mendengar jelas suara lemparan batu, pecahan kaca dan hantaman besi-besi  yang dilancarkan oleh kelompok perusuh. 

Suasana begitu kacau. Keesokan harinya, jalanan hening. Senyap. Tidak ada pasar dan toko yang buka. Bahkan transportasi umum pun tidak berani beroperasi karena massa begitu beringas. Suasana mencekam itu berlangsung 2 hari. Perekonomian lumpuh, karena semua level masyarakat terkena imbas dari kegiatan ekonomi yang mandek gara-gara satu peristiwa. 

Tetangga-tetangga kami yang Muslim dan dari suku-suku lainnya menenangkan kami, dan berjanji akan meredam atau mengalihkan serangan perusuh. Sementara di jalanan, orang-orang seperti kerasukan; perusuh berkeliling kota, terorganisir, perampok dan entah siapa lagi yang ikut dalam kerusuhan itu. Tempat perbelanjaan dari skala retail hingga grosir, pemilik pribumi non pribumi, tidak luput dari keberingasan perusuh itu. Dirampok, dibakar, dan mengalami kekerasan. 

Kata-kata seperti bunuh Cina, bakar Cina, ganyang Cina terdengar di mana-mana. Tidak hanya sekali tapi berulang-ulang. Teriakan mereka begitu keras, lantang, bergema-gema diiringi suara lemparan pada kaca jendela tetangga, lemparan botol bensin dan api, pukulan besi pada pintu. Beberapa perusuh ingin mencoba mencongkel toko kelontong depan rumah tetapi dihentikan oleh tetangga-tetangga yang berjaga dengan beralasan bahwa sang empunya toko adalah seorang haji tua. 

Waktu itu, yang bisa saya lakukan hanya menangis ketakutan di pelukan Mama sambil tak henti-hentinya mendaraskan Doa Rosario di mulut kami. Papa harus berada di toko di daerah Pecinan menyelamatkan seisi toko kami yang penuh terisi barang dagangan yang terancam terbakar, karena ruko yang persis di belakangnya telah diterobos dan dibakar oleh perusuh. 

Pertanyaan saya waktu itu kepada Tuhan dalam tangis saya; kenapa harus kami?

Butuh waktu beberapa bulan hingga ekonomi Makassar kembali bergeliat. Trauma kerusuhan itu terus membekas. Mungkin ketakutan kami berlebihan. Tapi yang jelas, sejak saat itu, kami paranoid dengan yang berbau kesukuan. Tak disangka ternyata banyak pihak yang mengambil kesempatan bermain dengan ketakutan kami. 

Kami hidup dalam teror kerusuhan pasca kerusuhan tahun 1997 itu.  Jika ada kecelakaan lalu lintas, meskipun hanya motor yang berserempetan, bisa membuat suku Tionghoa se-Makassar akan menutup tokonya lebih cepat dan mengamankan diri beserta keluarga karena takut akan disusul oleh kerusuhan. Apalagi jika dalam suatu perselisihan atau perkelahian melibatkan seorang Tionghoa, maka kami pasti akan menerima berita hati-hati bakalan terjadi kerusuhan.

Apalagi pasca 1997, Indonesia memasuki dunia telekomunikasi yang booming dengan penggunaan telepon selular. Sehingga teror itu yang awalnya disebar dengan selebaran dan mulut, beralih ke SMS atau telpon, setelahnya beralih ke broadcast messaging

Tak Semua Kaya

Kadang saya masih sering merasa jengah dengan kesinisan orang-orang yang selalu mengatakan bahwa menjadi orang Tionghoa itu enak; menganggap kami bisa menggampangkan semuanya, karena berduit hingga bisa mencari jalan pintas, menuduh kami mampu memainkan hukum dan birokrasi hingga menjadi mafia. Padahal, tidak semua suku Tionghoa itu berada dalam taraf ekonomi menengah ke atas. Menengah ke bawah juga masih banyak.

Latar belakang saya sebagai generasi keempat  dari nenek yang bermigrasi dari Mei Zhou, Tiongkok, membuat saya penasaran dengan menggali lebih banyak informasi mengenai asal muasal kampung halaman kami di Tiongkok sana. Selain dikenal sebagai suku, Tionghoa sendiri mempunyai beberapa sub suku yang merupakan asal muasal leluhur kami. Di Indonesia terdapat 5 suku yang cukup besar yaitu, Hokkian, Hakka, Kanton, Hainan dan Tio Ciu. 

Terdapat yayasan-yayasan yang berdiri menaungi suku masing-masing dan ada juga yang didirikan untuk menaungi marga tertentu. Umumnya, yayasan-yayasan ini  berbentuk yayasan sosial dan didirikan sebagai bentuk solidaritas untuk membantu anggota-anggota masyarakat yang bersuku sama yang masih membutuhkan bantuan untuk hidup sehari-hari hingga pada saat mereka meninggal. Selain membantu suku sendiri, yayasan-yayasan ini sangat tanggap dalam memberi bantuan kepada pemerintah baik diminta maupun tidak diminta. 

Ketika saya ditodong oleh tetua di yayasan kesukuan saya untuk bergabung, saya langsung mengiyakan karena saya merasa saya bisa memberikan sumbangsih yang besar kepada masyarakat dengan menjadi pengurus.  Alasan utama ketua saya cukup masuk akal.  Rata-rata yayasan sosial ini berdiri sudah puluhan tahun bahkan ada beberapa yang sudah berulang tahun ke  100 tahun. Butuh regenerasi untuk membawa tongkat estafet yayasan agar bisa terus bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi anggotanya, masyarakat sekitarnya dan juga negara.

Meskipun sebagian besar dari tetua kami tak fasih berbahasa Indonesia, tapi kecintaan mereka terhadap tanah air tidak pernah diragukan. Tak henti-hentinya mereka selalu mengingatkan kaum muda untuk selalu bangga dan mencintai Indonesia sebagai tanah tumpah darah kita, karena kita tidak pernah berbeda dari yang lainnya. Kita semua punya tugas yang sama, yaitu membangun dan membuat Indonesia jaya. 

 

~~Nany Tjan~~

 

Nany Tjan

3 Replies to “Coto Makassar, Rindu dan Trauma Tionghoa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email