Merupakan sejarawan dan penulis independen yang mendalami riset seputar kajian dekolonisasi, pascakolonial, sejarah anak, dan seni kontemporer.

Corpus Christi di Saf Jumat Paling Belakang

Mohamad Ichsanudin A

2 min read

Menjelang sholat Jumat, toa-toa masjid saling bersahutan di sepanjang Karangmalang. Qiroah merdu disetel dengan pengeras suara melampaui kapasitas ruang personal. Bahkan, turut menyusup ke ruang-ruang intelektual kota dengan tembok tebal, mesin pendingin, bangku tegak, serta materi bebal di hadapannya. Ketika qiroah itu berhasil mendisrupsi jalannya ruang intelektual, segala aktivitas di dalamnya dibuat berhenti beroperasi.

Mahasiswa, pedagang cilok, pasukan almamater, serta buruh-buruh kemudi berseragam segera merapat menuju Masjid Al-Falah yang berada tepat di pintu masuk Gang Guru. Di sepanjang gang itu, jok motor dengan jaket hijau yang bergelantungan segera mengalihkan perhatianku. Jok motor itu telah membawa wajah-wajah merah kelelahan habis disengat matahari pukul sebelas siang. 

Suasana masjid tampak riuh dengan barisan manusia berjajar merapatkan diri. Mereka saling mengisi saf-saf kosong hingga padat tak bercela. Namun, wajah mereka masih saja kelelahan, bahkan mengantuk meski diberi dakwah setengah jam lamanya. 

Akan tetapi, rasa kantuk dan lelah itu hilang ketika serangkaian ritus telah tuntas dijalankan, serta terlihat nasi bungkus tersenyum di saf paling belakang. Tangan-tangan mereka segera menjamahnya satu per satu sebelum habis diambil anak-anak yang sepanjang ritus konsisten menjaga keberadaannya.

Baca juga:

Polemik Saf Paling Belakang

Nasi bungkus yang dibagi-bagikan di masjid usai salat Jumat memicu polemik. Orang-orang mempertanyakan kenapa masjid-masjid di Jogja yang kerap memberi sedekah nasi bungkus kepada para jamaah.

Tanpa mengambil sikap pro maupun kontra, ada yang menilai bahwa kehadiran nasi bungkus justru mengalihkan kekhusyukan prosesi salat Jumat itu sendiri. Para jamaah dibuat goyah lantaran lebih mengharapkan makan siang gratis ketimbang memperoleh pahala dari Tuhan.

Rasanya rumit ketika kita mengupayakan tubuh kita khusyuk menghadap Tuhan sementara tubuh-tubuh di saf kita kelaparan dan lelah mempertahankan hajat perutnya. Lantas, kepada siapakah kekhusyukan itu? Mengapa Tuhan dibuat angkuh membiarkan orang-orang kelaparan bersujud dan mendengarkan khotbah tentangnya? 

Jika demikian jadinya, rasanya perlu bagi kita untuk menggeser Tuhan agar tidak melulu berada jauh di belahan barat, di mimbar-mimbar berpoles jati, atau di posisi saf paling depan. Tuhan sejatinya dekat dengan kita, bahkan ia hadir di saf paling belakang, ketika nasi-nasi bungkus tersenyum menyambut kita, ketika sekumpulan anak mengawal keberadaannya, ketika gantungan motor berisi plastik putih dibagikan kepada anak dan istrinya di rumah. 

Mungkin, itulah yang ditawarkan oleh Amos Ursia. Melalui serangkaian puisi yang diberi tajuk Tubuh Kata, Corpus Christi, ia berupaya menggelitiki serangkaian ritus yang kerap mengabaikan peristiwa kecil di sekitarnya. Peristiwa subtil nan remeh, tapi menegaskan penampikan kita terhadapnya.

Pun dalam menjalankan ibadah, rasanya kita tidak sedang khidmat menghadap Tuhan, melainkan dibuat khidmat menunaikan ritus. Ritus jadi semacam kerah yang membuat kita tegap, tapi luput untuk menunduk. Alhasil, kita dibuat sibuk memfokuskan diri ke depan, tapi angkuh mengabaikan tanah dan batu yang telah kita tapaki selama ini.

Melalui puisi-puisinya, Amos membawaku pulang-pergi dari Trotoar Senen hingga merayakan Jumat Agung di pinggiran Kebumen. Pulang-pergi jadi modusnya untuk merasakan kehadiran Yesus yang tak melulu ditulis oleh intelektual Barat.

Mengontemplasikan kembali kumpulan puisi Amos membawa konsekuensi terhadap caraku melihat ritus beragama hari ini. Serangkaian ritus yang kadang kala dibebankan sebagai rukun, hafalan sekolah, bahkan telah menjadi kurikulum gerak perlu dipertanyakan kembali ke mana ia menuntun hati dan pikiran kita. Benarkah ia menuntun sikap dan empati kita terhadap yang kalah? Apakah ia membolehkan munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dari konteks keberimanan hari ini?

Puisi-puisi Amos Ursia:

Amos yang Dituduh Religius

Amos Ursia adalah seorang religius. Begitulah klaim Okky Madasari di bagian pengantar buku kumpulan puisi ini. Aku merasa geli, tapi rasanya perlu bagiku untuk melepas beban arogansiku dan berlapang hati mengamini klaim tersebut.

Pasalnya, tak semua institusi, tak terkecuali simbol terhadapnya, pantas untuk diamini sebagai religiositas. Religiositas Amos justru hadir ketika tubuh Tuhan ia robek dan bagikan secara percuma kepada yang lapar, ketika ia mengajak Tuhan bercanda dan meramu bawang putih bersama para ibu di Karanggayam, ketika ia mengecam tentara Romawi yang membawa gas air mata di Stadion Kanjuruhan.

Rasanya, perayaan atas Tubuh Kata, Corpus Christi tidak melulu berkubang di mimbar gereja. Puisi-puisi itu, dapat kita rayakan di saf masjid paling belakang, di toa-toa yang menuntun mahasiswa meninggalkan bangku kuliahnya, di berkatan aqiqah yang berisikan tubuh Yesus dan sambel krecek, serta dua batang Gudang Garam di dalamnya.

Perayaan itu mungkin terjadi lantaran puisi Amos melampaui sekat-sekat institusi, agama, serta beban identitas yang tak pernah mengamini Muhammad bercengkerama dengan Yesus di Angkringan Felix.

 

Editor: Emma Amelia

Mohamad Ichsanudin A
Mohamad Ichsanudin A Merupakan sejarawan dan penulis independen yang mendalami riset seputar kajian dekolonisasi, pascakolonial, sejarah anak, dan seni kontemporer.

One Reply to “Corpus Christi di Saf Jumat Paling Belakang”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email