“Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Cokelat sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.”
Kiranya itulah sepenggal kutipan cerpen “Clara” karya Seno Gumira Ajidarma yang di dalamnya berbicara mengenai kekerasan rasial Mei 1998 yang tak tercatat dalam buku-buku sejarah Indonesia. Tentang ketakutan, kebencian, dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa-Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku ‘pribumi’.
Cerpen Clara yang ditulis sebulan setelah tragedi kemanusiaan itu terjadi seakan menjadi sebuah memoar luka bagi kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia, terkhusus para perempuan etnis Tionghoa-Indonesia yang sempat mengalami pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
Clara sebagai tokoh utama yang digambarkan sebagai perempuan yang berasal dari keluarga Tionghoa-Indonesia kaya raya, harus menghadapi hari di mana ia mengalami pemerkosaan yang dilakuka- oleh gerombolan orang dari antah-berantah yang mengatasnamakan diri mereka ‘pribumi’.
Cerpen ini terbilang unik karena memanfaatkan sudut pandang aparat penegak hukum yang menjadi tempat Clara melaporkan kejadian yang dialaminya. Melalui sudut pandang itu, pembaca dibawa flashback dan menyelami apa yang dialami oleh Clara, gadis Tionghoa-Indonesia berambut merah.
Sejak awal cerita, Seno dengan berani menampilkan sosok aparat sebagai pihak yang busuk dan tak bertanggung jawab di masa itu. Ia bahkan tak sungkan mengibaratkan aparat sebagai ‘binatang berseragam’.
“Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi—tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.”
Kebobrokan juga tergambar dari masyarakat. Kebencian mengakar dari masyarakat biasa hingga lembaga pemerintahan akibat doktrin Orde Baru yang habis-habisan menanamkan sikap ‘antikiri’. Kebencian tersebut terutama ditujukan kepada ideologi komunisme dan berbagai simbolisasi warna merah yang menjadi warna dasar berbagai partai kiri dunia, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi musuh utama rezim Orde Baru pada saat itu.
Doktrin yang ditanamkan berhasil menumbuhkan sentimen, hingga kebencian dilembarkan kepada siapa pun yang sekiranya berhubungan dengan warna merah. Selain itu, pembaca kiranya perlu memahami konteks bahwa pada saat itu etnis Tionghoa-Indonesia juga kerap diasosiasikan dengan Komunisme atau PKI itu sendiri. Bahkan dalam cerpen ini, Clara sebagai tokoh utama juga dirundung oleh orang-orang yang mengaku ‘pribumi’ yang mengatakan bahwa Clara adalah seorang Ateis yang tidak bertuhan hanya karena Clara adalah seorang Tionghoa.
Melalui cerpen Clara, Seno memanfaatkan sosok aparat yang bertugas sebagai penerima laporan peristiwa yang dialami Clara sebagai alat utama untuk menuturkan kebobrokan aparat pada saat itu. Dengan bermonolog, aparat itu mengatakan bahwa dirinya kerap menyusun laporan tidak berdasar kenyataan dan sekadar menyesuaikan dengan kebutuhan.
Melalui penggambaran akan aparat tersebut Seno mempersuasi pembaca untuk memahami kebobrokan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia, bahkan mulai dari lapisan terbawah.
Selanjutnya mulai diceritakan kesaksian yang dialami Clara pada saat kerusuhan meletus dan menyasar etnis Tionghoa-Indonesia. Clara sebagai korban memberikan kesaksian kepada polisi bahwa dirinya yang sedang dalam perjalanan pulang ketika api berkobar di mana-mana. Ia mendapat pesan dari ayahnya untuk tidak kembali ke rumah sebab di rumahnya, kedua adiknya telah diperkosa dan dibunuh, begitu pula dengan ibunya yang telah diperkosa hingga akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Ayah Clara yang selamat memintanya untuk segera menuju Cengkareng (Bandara Soekarno-Hatta) untuk melakukan penerbangan ke Singapura, Hong Kong, atau Sidney guna mencari keselamatan. Hal itu yang banyak dilakukan oleh warga keturunan Tionghoa pada saat kerusuhan meletus tahun 1998. Nasib buruk, BMW yang ditumpangi Clara dicegat sekelompok orang yang mengaku pribumi.
Penghadangan dilakukan oleh puluhan orang sehingga membuat Clara dan BMW-nya tidak dapat lolos. Clara mengalami rasisme karena matanya sipit, ia dilecehkan secara verbal hingga diperkosa gerombolan dari antah berantah itu.
Kebencian rasial begitu tergambar pada bagian ini. Clara sebagai perempuan bermata sipit dianggap pantas disiksa dan dibunuh. Sebuah kejadian tak manusiawi yang hampir dialami seluruh perempuan Tionghoa-Indonesia pada saat itu.
Nasib buruk Clara belum juga usai. Selepas melapor bahwa ia telah diperkosa, para aparat malah ikut memperkosa Clara, seolah dalam kekacauan setiap tindakan tak akan berarti apa-apa. Bahkan di hadapan penegak hukum, Clara tak bisa mencari perlindungan.
Penggunaan cerpen sebagai media penuturan fakta sejarah merupakan nilai lebih dalam cerpen ini, terlebih penulis mampu menyoroti peristiwa yang dialami rakyat biasa yang mana nasibnya kerap luput dari sorot mata sejarawan atau pemberitaan.
Melalui fakta sejarah yang dialami oleh rakyat biasa ini, pembaca bisa melihat sejarah kelam bangsa kita secara keseluruhan dengan sejujur-jujurnya. Tentang bagaimana negara memperlakukan rakyatnya, tentang bagaimana penegakan hukum berjalan, hingga tentang bagaimana kebencian serta sentimen terhadap suatu etnis pernah terjadi di Indonesia.
Pada dasarnya cerpen ini menggunakan bahasa dan struktur isi yang sederhana. Hanya saja para pembaca tampaknya perlu mengetahui beberapa konteks simbol yang disebutkan di dalam cerpen, seperti simbolisme warna ‘merah’ dan kaitannya dengan etnis Tionghoa, untuk mengetahui lapisan makna lain di dalam narasi yang disajikan.
Clara telah menyambung kisah para perempuan Tionghoa-Indonesia yang suaranya terbungkam oleh pencatat sejarah. Tragedi kemanusiaan yang tak banyak diungkap oleh media Indonesia, bahkan mendapat penolakan ketika ada upaya tuntutan penegakan keadilan ke ranah internasional. Salah seorang aktivis perempuan Tionghoa-Indonesia, Ita Martadinata, yang hendak membawa tragedi kemanusiaan Mei 1998 ke PBB ditemukan tewas secara misterius. Hal itu merupakan salah satu contoh bagaimana aksi nyata terhadap penegakan hukum oleh rakyat selalu dihadang oleh berbagai pihak di negeri ini.
Cerpen “Clara” yang kemudian diadaptasi menjadi naskah drama “Jakarta 2039″ ini tampaknya menjadi manifestasi nyata kata-kata Seno Gumira Ajidarma: “Ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara.”
***
Editor: Ghufroni An’ars