Seperti biasa, aku bangun siang di bulan puasa ini. Tentunya bukan karena aku semalam sahur dan kurang tidur, tapi karena semalam aku kedatangan kawan-kawan lama—para grungies. Kami mabuk sambil sesekali menyanyikan lagu-lagu Nirvana sampai matahari muncul. Jangankan mengingat kalau hari ini masih bulan puasa, mengingat wajahku sendiri saja aku tidak mampu.
Bekas-bekas plastik minuman keras murahan dari kios rahasia di Situ Gintung—yang kubeli dengan mengendarai motor bodong—masih berserakan. Salah satu kawanku—Jimo—bahkan membawa kudapan ringan, dextro. Kalau saja aku tidak tiba-tiba pingsan, mungkin aku bisa saja mati overdosis obat batuk itu.
Dan pagi ini, mataku terus menempel, enggan terbuka. Walau malas, aku seret kakiku ke arah pintu kios reklame tempat kami menongkrong semalam. Ya beginilah sehari-hari. Aku tinggal di sebuah kios reklame peninggalan saudara jauhku, Uda Ziko. Lokasinya di ujung jalan layang Ciputat yang terasa noir bagiku. Ini tempatku cari duit harian. Walau tidak seberapa, setidaknya bisa untuk makan, dan mabuk tentunya.
Beberapa kawanku sudah tak ada di sini, mungkin minggat entah ke mana, atau nyasar di mana. Aku peduli setanlah. Mereka sudah besar, tidak perlu aku pantau.
Baru saja kubuka pintu kios reklame, seseorang yang tak kuduga pun muncul.
“Wah! Taik lu! Ke mana aja!” pekikku sembari menyambut kawan lama—bukan kawan-kawan semalam. Baru saja aku hendak menyalaminya, ia cuma mengatupkan kedua telapak tangannya. Mungkin takut kena Corona.
“Masih kasar aja lu,” ucapnya pelan, berwibawa, dan… terdengar alim?
Aku memandang temanku dari ujung peci sampai celananya yang semata kaki, sembari berkacak pinggang dan sesekali mengucek kembali mata yang penuh belek. Kuperhatikan juga temanku sudah menumbuhkan jenggot. Bagian bawah matanya kehitam-hitaman.
Aku tertawa, lalu mencibir, “apaan tuh? Lu kebanyakan begadang?”
“Ini celak, sunnah,” ucapnya cepat.
Ya ya ya. Aku tidak ingin berdebat soal sunnah atau apa, karena aku takut salah atau malah terdengar menghina. Aku tak masalah dengan pilihan hidup temanku satu ini. Yang jadi masalah, apa yang menyebabkan ia tiba-tiba begini? Maka, kupersilakan ia masuk ke kios reklame supaya tidak tampak seperti aku sedang digerebek satuan pembela agama karena tampak nista dan bau alkohol murahan.
Dia duduk di hadapanku, seperti klien reklameku. Sementara aku mulai menyalakan rokok dan mulai melihat-lihat catatan pesanan yang mungkin terlupa.
“Lu nggak puasa?” tanya temanku itu.
Aku menggeleng cepat. “Enggak sempat sahur. Mabok gua semalam.”
“Masih aja lu, padahal Bokap lu punya pesantren.”
Aku ingin tertawa, tapi karena ia teman baik, tak jadilah kulakukan itu. Aku akhirnya bilang, “yah, memangnya kalau Bokap gua punya pesantren, gua juga harus gitu? Orang Minang kayak gua, cocoknya ya merantau. Ah, cukup deh tentang gue, mendingan lu cerita. Ada apa nih kok sampai mampir? Udah lama banget nggak ketemu, sejak… sejak kapan ya?”
“Terakhir kita ketemu pas habis numpang kereta barang mau ke gigs di Surabaya kayaknya,” jawab temanku.
Aku mengangguk cepat. Lumayan, nostalgia. Itu masa-masa muda yang tak pernah aku pikirkan, selalu kunikmati dan tak pernah kuanggap hidup sebagai beban. Masa muda memang masa paling jaya.
“Oh iya bener. Yang lu ketinggalan kereta barang, terus akhirnya lari dan lu bilang naik di gerbong yang kargo, kan?”
Mendengar itu, entah kenapa temanku terdiam. Aku tidak mencoba untuk bertanya. Akhirnya, kubiarkan dia melamun, sementara aku merokok dan mulai mengerjakan desain stempel di komputer bobrok yang kupakai selama mengerjakan pesanan reklame.
“Sebenarnya…” ujar temanku buka suara. “Waktu itu gue sempat ditodong orang pas di kargo belakang. Mereka naik dari Bojonegoro. Gue kan nggak bisa kontak kalian di gerbong yang kalian tempati.”
Aku tentu saja terkejut. Ini fakta yang baru kuketahui. Bahkan saat kami berkontak terakhir kali, aku tidak pernah mendengar hal ini dari mulutnya langsung.
Temanku lalu melanjutkan, “sejak saat itu, gue mencoba untuk mendekatkan diri sama Tuhan. Gue rasa, kesempatan hidup gue saat itu, datangnya ya dari Tuhan. Kalau enggak begitu, mungkin gue udah dilempar ke pinggir rel kereta barang yang cepet banget itu.”
Aku masih terdiam, mengembuskan rokokku lagi. Temanku tampak sudah tidak peduli pada fakta aku puasa atau tidak. Dia cuma mau lanjut cerita.
“Sejak saat itu… gue diajak seorang kenalan untuk ikut organisasi agama yang dia kelola. Dia posisinya sudah pimpinan cabang dan di sana gue dikasih macam-macam pendidikan dan cara-cara berwirausaha. Sampai akhirnya gue bisa kayak sekarang. Lumayanlah bisa melanjutkan hidup.”
Aku mengernyit. “Oh, gitu?”
“Menurut gue itu adalah hidayah dari Tuhan. Makanya gue usaha buat berubah. Nah, lu sendiri gimana? Apa nggak lelah gini-gini terus?”
Aku hanya menggeleng dan terus mengisap rokok dalam-dalam. “Yah, maksudnya gue harus ngapain? Gue kan kerja mencari rezeki halal, itu sudah bagian dari ibadah gue kepada Tuhan. Gue nggak paham sih, kenapa orang-orang harus memaksakan paham-paham mereka pada orang lain. Selama gue tidak merugikan, tidak mengajak lu ke dalam kesesatan, bukankah lu cukup menghargainya?”
Temanku tertawa, lebih tepatnya terkekeh. Aku tak menggubrisnya karena kupikir, orang-orang seperti temanku ini punya garis tersendiri dalam memaknai kadar keagamaan. Namun, bukan berarti dia bisa memaksakan paham tersebut kepadaku, di saat aku sendiri bahkan tak mengajaknya kembali sesat. Aku menghormati apa pun pilihan orang.
“Gue cuma mau mengingatkan aja sih. Kita hidup di dunia kan tidak lama. Kehidupan kita hanya fana. Apa tidak sebaiknya lu memikirkan bagaimana nanti menebus dosa-dosa lu di akhirat?”
“Semua orang terlahir suci dan mati dalam keadaan berdosa, sekecil apa pun. Walau lu seperti ini pun, tetap saja dosa kita sudah segunung. Yah, jika nanti gue dapat hidayah seperti lu, gue juga akan melakukannya. Jadi, nggak usah dipaksa.”
“Ya udah deh. Inget aja nanti kalau butuh apa-apa, lu bisa kontak gue. Sebisa mungkin gue akan bantu bagaimana langkah-langkah lu kembali pada jalan agama,” kata temanku menegaskan. Ia menaruh selembar kartu nama dengan nama barunya, berikut logo sebuah organisasi agama di pojok kiri. Sepertinya ia sudah tak menggunakan nama panggilan saat kami masih bermain musik keras sama-sama. Namanya yang sekarang bernapas lain. Sampai menjelang petang, kawanku masih menongkrong di reklame, menunggu waktu berbuka.
“Bisa nyalakan TV? Biar bisa tahu waktu berbuka,” ujarnya kepadaku.
Aku menyesap es teh manis dan menekan remot TV. Tepat saat benda kotak nyaris rongsok itu menyala, layar menyajikan berita tunda. Seorang pembawa berita mengumumkan berita korupsi sebuah organisasi. Korupsi kitab suci. Aku mengingat logo organisasi tersebut. Logo yang sama dengan kartu nama temanku.
Sontak aku menengok pada kawanku dan memandangi dia dengan simpati. Jujur, aku sendiri terkejut, bagaimana dengan temanku?
Kulihat matanya membulat besar dan cahaya televisi membayang di bola matanya. Mulutnya nyaris memuntahkan kata-kata, tapi diurungkannya.
Belum sempat aku bertanya bagaimana keadaannya, temanku sudah bergumam, “punya ciu?”
“Apaan?”
“CIU!” pekiknya.
“Ada sih, sisa semalam,” aku jawab cepat, “lah, lu kenapa?” tanyaku penasaran. Tangan temanku mengepal di meja, urat-urat kepalanya mencuat.
“Kalau gue harus berdosa, lebih baik minum alkohol daripada terlibat dengan organisasi korupsi.”
Aku terdiam, tak mampu berkomentar. Akhirnya, sekali lagi temanku berkata, “bawa ciunya.” Azan magrib pun berkumandang dari televisi.
Aku bergegas menuju ruang belakang reklame, mengambil sebotol minuman keras oplosan berukuran enam ratus mililiter itu. Kawanku berbuka dengan alkohol dan menggenapkan ibadahnya hari itu. Kata dia, aku pun mendapatkan pahala karena memberikan jamuan bagi orang berpuasa.