Haji Ahmadin jemawa menentang cermin di hadapannya. Ia pandangi dirinya dari atas sampai bawah. Ia meneliti dirinya lekat-lekat. Tangannya sibuk merapikan pakaian yang dikenakannya, terutama pecinya. Ia dibuat kesal, sebab telah beberapa kali cermin memberi gambaran peci yang dikenakannya miring. Beberapa kali ia betulkan pecinya, tapi pecinya seakan sengaja berubah miring setiap kali muncul di cermin. Ia lepas pecinya, memasangnya perlahan, dan slep! Miring. Ia lepas lagi pecinya, menelitinya dengan teliti, barangkali ada yang salah dengan pecinya itu. Ia pasang lagi, dan slep! Miring. Ia lepas lagi pecinya, mengamatinya dengan seksama, membantingnya beberapa kali ke tangan kirinya. Lantas ia pasang lagi, dan slep! Lagi-lagi tampak miring. “Keparat!” damprat Haji Ahmadin membanting pecinya ke lantai.
Haji Ahmadin menuju lemari, mencoba mencari pengganti. Di antara tumpukan baju koko, sarung, dan serban, ia mendapati beberapa peci. Di urutan paling atas, ia melihat peci hitam serupa dengan yang dibantingnya tadi. Ia berpikir mencobanya tapi, sebab masih dikuasai pengalaman buruk barusan, ia mengambilnya untuk dilempar ke tingkat dua ke tempat tumpukan celana dalam. “Mampus kamu!” katanya menyerapah.
Di lemari tingkat satu, matanya berbinar saat melihat sepuluh peci bundar putih menyeruak dari tumpukan baju. Ia memilih-milih mana yang sekiranya cocok dan akan membuatnya semakin gagah. Peci-peci putih tersebut dibelinya di Madinah, saat ia dan Bu Haji Weny sedang menunaikan ibadah umroh. Senyumnya merekah mengingat perjalanan itu. Ia menjadi agak emosional demi membayangkan betapa indah hari-hari itu. Hari-hari ketika ia mendirikan salat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Hari-hari ketika ia bisa seenak jidat mereguk segarnya air zam-zam. Hari-hari ketika ia bercinta penuh gelora dengan Bu Haji Weny di hotel dekat Masjidil Haram; alangkah lezatnya bisa bercinta di rumah Allah. Dan yang membuat hatinya bergetar adalah saat mengingat hari, ketika ia menangis dan berdoa di depan makam Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
“Subhanallah,” Haji Ahmadin bertahmid mengusap dada. Betapa ingin ia mengulangi semua itu.
Haji Ahmadin kembali menentang cermin. Ia mengernyih, memandangi betapa gagah dirinya. Ia mengagumi semua bagian dalam dirinya. Sarung? Jawa Timur. Baju koko? Pakistan. Serban? Mekah. Peci? Madinah. Tasbih? Palestina. Qur’an? Cordova. “Masyaallah,” gumamnya. “Tunggu aku, Jibril!”
___
Haji Ahmadin keluar rumah. Ia berjalan lincah menapaki galengan, melewati beberapa kolam ikan sebelum kemudian tiba di jalan besar bercor. Ia mengambil arah utara menuju masjid. Ia berjalan, berjalan, berjalan, dan berjalan. Di heningnya malam, samar-samar kupingnya menangkap suara orang ramai di depan sana. Itu pos ronda. Ia mempercepat langkahnya.
“Apa-apaan ini, heh?” tegurnya.
Yang ditegur berhenti sejenak. Salah satu di antaranya menjawab sembari melanjutkan permainan:
“Ini Kang Haji, Si Ulum kalah melulu.”
“Bukan itu,” takisnya. “Ini kalian, malam lailatul kodar malah pada gapleh?”
“Suntuk Kang Haji. Sekalian nunggu bola,” ujar Ulum Getih.
“Mengapa tak tunggu di masjid? Sekalian itikap?”
“Nanti yang ada malah mengantuk.”
“Buat ibadah ngantuk, tapi gapleh kuat!”
“Kopi, kopi. Geser itu kopi buat Kang Haji.”
Haji Ahmadin menolak diberi kopi. Ia berkata dirinya harus segera ke masjid buat beritikaf. Ini malam lailtulqadar, keparat! Malam penuh ampunan. Malam penuh berkah. Malam di mana malaikat Jibril dengan seribu malaikat lainnya turun ke bumi buat menabur kebahagiaan dan mencatat segala apa yang dikehendaki penduduk bumi. Ini bukannya ibadah malah main kartu tak karuan! Namun demi mendengar Ulum Getih menyebutkan bahwa segelas kopi itu mengandung kekuatan untuk membuat mata tetap melek dan dengan begitu bisa membuatnya semalaman khusuk beribadah di masjid, Haji Ahmadin manggut-manggut. Benar juga apa yang dikatakan keparat itu, makinya dalam hati. “Bolehlah,” katanya pelan. Mereka menggeser diri, memberi ruang buat Haji Ahmadin duduk.
Seorang paling muda di antara mereka, Jang Idang, cekatan menyobek kopi saset, menubruknya dengan air panas, mengaduknya hingga merata. Kopi yang telah jadi digeser ke hadapan Haji Ahmadin dengan rasa ajrih.
Serrr! Haji Ahmadin menyeruput kopinya. Ah betapa! Ulum Getih tak keliru. Sirah yang tadinya rungsing berubah lega. Badan yang tadinya lemas akibat dari pertarungan ranjang beronde-ronde dengan Bu Haji Weny dibuat kembali segar bertenaga. Mata yang tadinya berat mendadak ringan. Segalanya jadi tampak jernih. Segalanya jadi terasa ringan. Lega dada lega hati lega pikir.
“Tak usah buru-buru, Kang Haji. Lagi pula baru jam sebelas,” Ulum Getih yang menyaksikan perubahan badaniah Haji Ahmadin melempar saran.
Haji Ahmadin mengangguk membenarkan. Aku memang tak harus terburu-buru. Masih jam segini juga. Dan lagi, bukankah sifat rusuh itu berasal dari setan? Sekalipun aku memang hendak ke masjid buat beritikaf, tapi jika terburu-buru, tetap setan yang menang. Lantaran simpulan itu, ia memutuskan duduk sebentar. Mengaso sembari menyaksikan bocah-bocah bermain kartu. Sambil mengembuskan asap rokoknya ke udara, ia berkata pelan, “Tunggu aku, Jibril!”
___
Haji Ahmadin dibuat geregetan menyaksikan permainan gaple Ulum Getih yang dinilainya goblok. Ulum Getih tak becus main gaple. Lagunya saja legeg seperti pemain kawakan, padahal otaknya nihil. Haji Ahmadin sebenarnya tak hanya mengomentari permainan kartu Ulum Getih, tiga orang lainnya pun kena omel juga. Tapi memang, di matanya, Ulum Getihlah yang tampak paling tolol, dan untuk ketololannya ia pantas dihujani komentar pedas.
Di bawah ini komentar-komentar–yang jatuhnya malah kombinasi dari gerutuan-cacian-hinaan–Haji Ahmadin kepada Ulum Getih:
“Jangan kosong-dua!”
“Itu hakan balak enamnya!”
“Salah itu Jang!”
“Tindih itu balak tiga!”
“Tinggang pake lima-empat!”
“Apa kubilang?!”
“Dua-satu dulu! Dua-satu dulu!”
“Nah begitu, begitu.”
“Astagfirullah!”
“Kata Akang dua-satu Jang! Dua-satu!”
“Bikin modar dulu itu balak kosongnya!”
“Bukan yang itu!”
“Belegug kamu Jang!”
“Sudah Akang bilang tiga-enam!”
“Aduh kamu main jelek begitu!”
“Astagfirullah!”
“Balak dulu! Balak dulu!”
“Nah!”
“Set!”
“Salah!”
Ulum Getih jengah membanting kartu gaplenya. Raut mukanya tak dapat ditebak. Barangkali ia ingin menyumbat mulut Haji Ahmadin dengan sekarung beling, tapi rasanya itu tak mungkin. Selain ia melihat tak ada beling, bagaimanapun, Haji Ahmadin adalah orang yang lebih tua. Dunia memang aneh. Terlalu banyak orang menyebalkan seperti Haji Ahmadin dibiarkan hidup begitu saja.
“Bagaimana kalau Kang Haji saja yang main?” Ulum Getih menawarkan sopan.
“Eh kamu Jang! Menyepelekan Akang begitu.” Haji Ahmadin beringsut, berpindah tempat, menyambar kartu gaple Ulum Getih. Plak!!! Haji Ahmadin membanting kartu tiga-dua seraya sesumbar, “Begini kalau main!”
Di dalam hatinya ia melanjutkan, “Tunggu aku, Jibril!”
___
Puja-puji Ulum Getih kepada Haji Ahmadin–yang padahal adalah bentuk ejekan terselubung–semakin membuatnya pongah. Haji Ahmadin tenggelam ke dalam serunya permainan. Kadang ia teriak girang jika berhasil menghabisi kartu lawan. Kadang ia menggerutu jika lawan berhasil menikamnya. Kadang ia tertawa adigung memuji kemampuannya sendiri. Kadang ia terbahak mengejek ketololan permainan lawannya. Kadang ia begini dan kadang ia begitu. Hingga kemudian Ulum Getih bertanya begini:
“Ke masjid jam berapa, Kang Haji?”
Haji Ahmadin menjawabnya dengan cucuran air mata dan nafas tersengal, saking tak kuatnya menahan tawa karena baru saja berhasil membikin modar kartu lawan.
“Jam dua,” sahutnya pendek.
“Ini sudah jam dua.”
“Astagfirullah!” Haji Ahmadin terlonjak.
Permainan terhenti sejenak.
“Betul jam dua Jang?”
“Betulan Kang Haji. Jam dua.”
Haji Ahmadin tampak berpikir …
Ulum Getih menyalakan televisi …
Iwan Ujil membakar rokok …
Jeni Kobra membetulkan posisi sarungnya …
Iman Ablek menyeruput kopinya …
Jang Idang menepuk nyamuk di betisnya …
Haji Ahmadin belum sempat memutuskan ketika perhatiannya serta merta diambil alih televisi. Wasit telah mengambil bola. Para pemain kedua kesebelasan mulai berjalan meninggalkan lorong. Haji Ahmadin spontan bertanya ini pertandingan mana lawan mana.
“Celsi-Madrid, Kang Haji,” entah kata siapa.
Haji Ahmadin menurunkan kartu gaplenya, begitupun dengan Iwan Ujil, Jeni Kobra, dan Iman Ablek. Ketika wasit meniup tanda babak pertama dimulai, tanpa berucap, mereka sepakat permainan gaple kudu dihentikan, dan lanjut menonton sepak bola.
“Tunggu aku, Jibril!” batin Haji Ahmadin sambil membetulkan posisi duduknya.
___
Di teras masjid, malaikat Jibril membanting rokoknya ke tanah. Ia berkata kepada seribu malaikat yang mengiringinya, “Kita naik ke langit!” Seribu malaikat melesat. Meninggalkan bulan seorang diri.