Cerita dari Alam Arwah

Khoirul Anam

4 min read

“Sampai kapan kau akan terus memilin rindumu?”

Suaraku serupa angin malam yang berembus pelan. Tidak bisa kau dengar, tapi aku yakin, kau merasakan sesuatu yang lain setiap aku berbicara. Kau masih berdiri tegas, seolah sedang baik-baik saja.

Belakangan ini, kau terlihat murung sekali. Kau lebih sering terbaring di atas ranjang seperti pesakitan, memikirkan perempuan muda berumur belasan itu. Kau seperti tak bergairah melanjutkan hidup. Tubuhmu semakin kurus. Wajahmu pucat sekali. Sebelum pulang, kau menabur bunga terakhir. Air matamu tumpah pelan-pelan.

Langkahmu berat meninggalkan pemakamanku. Aku menatap punggungmu yang semakin jauh. Saat kau tidur nanti, aku bakal terus membisikkan cerita masa lalu lewat mimpi sebagai bunga tidurmu. Semoga bisa membuatmu lekas sembuh.

***

Aku tidak menyangka waktu itu kau merahasiakan sesuatu. Aku menyadarinya setelah berada di alam lain. Karena bagi para arwah, semua kejadian di masa lalu dan masa depan terlihat jelas. Saat itu kau begitu pandai menyimpan perasaanmu sendiri.

Kita mencintai orang yang sama, bukan? Ya, perempuan itu bernama Jihan. Matanya bulat dan jernih. Bibirnya berwarna merah muda terlihat segar. Suaranya lembut dan enak didengar. Warna kulitnya putih langsat tanpa bedak.

Perempuan bermata bening itu anak seorang guru mengaji di kampung. Sejak kecil, kita dan anak lainnya sudah belajar mengaji alif-alif di sana. Dia anak bungsu. Dua kakak perempuannya sudah menikah. Tiga kakak lelakinya sedang menimba ilmu di pesantren. Sedangkan Jihan, menemani dua orang tuanya di langgar.

Aku tahu kau sangat pandai menulis kata-kata yang indah. Kau menyebutnya puisi. Sejak kelas lima SD, kau banyak belajar kepada Burhan, kakak tertua kita. Dialah satu-satunya keluarga kita yang belajar di kota. Jika Kak Burhan sedang berlibur, kepadanya kau selalu meminjam buku-buku, mendengarkan dongeng, dan menulis puisi.

Jujur, aku merasa kesepian. Empat kakak kita semua perantau. Umur kita hanya berbeda satu tahun. Sebagai kakakmu, aku rela telat masuk sekolah untuk bisa memilih satu bangku bersamamu. Lantas apakah kau tak menyadari, jika datang Kak Burhan, kau seolah-olah menafikanku?

Namun, dengan kepandaianmu itu, kau menulis puisi atas namaku. Kau memberikannya kepada Jihan sambil menunjuk ke arahku. Di langgar, aku gugup. Jihan menatapku sambil tersenyum. Aku menundukkan kepala, pura-pura fokus membaca Al-Qur’an. Ketika mengaji sudah bubar, dia berkata begini padaku saat hendak pulang, “Terima kasih, aku pasti suka dengan isinya.”

***

Setelah lulus SD, Jihan tidak jadi berangkat ke pesantren. Orang tuanya sudah sepuh, Jihan diminta mengajar anak-anak kecil mengaji alif-alif. Mendengar kabar itu, tentu aku sangat bahagia. Saat itu kau juga diam-diam senang, bukan?

Puisi-puisi yang kau tulis selalu tersampaikan padanya. Hari-hari berikutnya kau selalu menemaniku untuk mendapatkan perhatian Jihan. Tanpa perintah dari guru, aku dan kau akan membantu menanam padi, jagung, kacang tanah dan lainnya.

Apalagi kalau gentong air di rumah guru habis, kita berdualah yang sering mengisinya. Apalagi kalau Jihan yang menimba air di sumur, kita dan anak-anak lainnya akan mendorong gerobak berisi air, penuh semangat.

Kau sesekali memberi kesempatan, meninggalkanku berduaan di sumur. Dan saat itu, adalah kali pertama aku dan Jihan bercakap-cakap penuh debar.

“Makasih udah mau bantu,” katanya waktu itu, membuka obrolan.

“Enggak perlu terima kasih segala. Itu udah kewajiban murid membantu keperluan gurunya.”

“Puisimu bagus, aku suka. Dari kapan kamu nulis puisi?”

Aku hanya tersenyum dan Jihan membalasnya.

Obrolan selanjutnya aku menambah dusta baru, terus menerus. Dan untuk hal ini aku tidak mau lagi mengingatnya. Kau sudah mengajariku sejak awal untuk menjawab pertanyaan darinya. Namun sekarang aku berkesimpulan, bahwa aku hanya alat. Sedangkan kau dan Jihan, dua jiwa yang diam-diam kasmaran.

Umur kita bertambah. Waktu berlalu tanpa henti. Dari satu hari ke hari yang lain, aku mulai dekat dengan Jihan. Di langgar, pergi ke ladang, mandi di kali, berangkat dan pulang sekolah.

Tetapi terkadang jarak yang terlalu dekat menjadi rentan berpisah. Tentu banyak sekali alasan-alasannya. Aku akan menyebutkan yang terpenting saja. Ketika aku dan kau memasuki sekolah SMA, Jihan satu sekolah lagi dengan kita. Ya, pada saat itulah Jihan berubah sikap. Dia perlahan-lahan menjaga jarak. Entahlah, aku tak tahu apa sebabnya.

Dan ketika berada di alam arwah, aku baru sadar. Ternyata, dari dulu aku tidak pernah merawat kedekatanku dengan Jihan. Sebaliknya kau sendirilah yang merawatnya lewat puisi-puisimu. Kau menulis puisi pribadimu untuknya. Kau merangkai kata-kata pengakuan, bahwa sejak dulu puisi-puisimu yang mencintainya. Bukan aku dan juga bukan kau.

Mengetahui semua hal itu, di alam arwah aku menangis. Kau begitu piawai memikat hatinya, tanpa sepengetahuanku.

***

Entah sejak kapan aku mulai memilin rinduku. Aku heran saja, selama Jihan menjauh, kau semakin prihatin padaku.

“Kak, di sekolah ada murid baru. Namanya Fatimah. Dia baru datang dari kota. Cantik dan ramah.” Kau berbisik. Aku menghiraukanmu.

Kau baik sekali waktu itu, aku tidak tega melihatmu berangkat sekolah sendirian. Mengerjakan pekerjaan rumah tanpa bantuanku. Pergi ke sawah tidak dengan canda tawa kita seperti biasanya. Apa benar, ketika aku berada di atas ranjang kau kesepian, tidak memiliki teman. Apa mungkin kau malah menikmati masa itu bersama Jihan?

Jika malam tubuhku kedinginan penuh gigil. Sedangkan dalam diriku terasa seperti ada sesuatu yang terbakar. Satu bulan aku terbaring di atas ranjang. Tidak masuk sekolah, dan mungkin tidak akan mengikuti ujian kelulusan.

Rindu sudah benar-benar mengeram di dadaku. Dan rindu itu tiba-tiba menetas secara paksa, hingga aku akhirnya terbaring lemah.

Sebelum tidur, biasanya kau memijat lengan dan kakiku pelan sekali. Kau menemaniku hingga larut malam, setiap hari.

***

Aku tidak dapat mengikuti Ujian Nasional. Waktu itu aku hampir dua bulan berada di atas ranjang. Tubuhku semakin kurus. Tulang pipiku menonjol. Persendianku sudah terasa kaku untuk digerakkan.

Dan pada saat itu, tanpa sengaja aku mendengar obrolanmu dengan ibu. Dari dalam kamar, aku seperti mendengar kau menyerukan penyesalan. Suara hempasan kertas yang jatuh ke lantai terdengar jelas olehku. Apakah kertas itu bertuliskan puisi atas namaku untuk Jihan?

“Orang mana yang sudah melamar Jihan, Bu?”

Aku berusaha duduk setelah mendengar pertanyaan itu. Ingin sekali aku menghampirimu dan menanyakan hal yang sama pada Ibu.

“Dia ustaz dari kampung sebelah, baru keluar dari pesantren. Mungkin kenalan keluarga Jihan sendiri.” Dari pintu kamar, aku melihat ibu mengemas tiga kado. Jihan dipinang orang? Apakah ini alasan Jihan telah menjauh dariku, pikirku waktu itu.

“Ibu, aku mencintai Jihan. Ibu mau ke mana?” ucapku lirih. Kerongkonganku seperti baru saja dilanda kemarau panjang.

“Nak, kamu mau ke mana?” Dengan cemas ibu membopongku masuk kembali ke dalam kamar. Kulihat kau duduk di kursi ruang tamu dengan tatapan kosong, menunduk sangat dalam.

“Besok kamu harus periksa ulang kesehatanmu ke rumah sakit. Istirahat ya, Nak. Jangan terlalu memikirkan Jihan.” Mendengarnya jantungku berdetak hebat.

“Kenapa?”

“Jihan dan tunangannya itu berselisih umur delapan tahun. Perempuan tidak bakal menunggu lama seseorang untuk meminangnya. Tua sedikit, bisa-bisa jadi perawan seumur hidup.”

Di ruang tamu, terdengar suara tangis tersedu-sedu. Apakah kau menangis pada waktu itu? Entahlah, aku tidak terlalu peduli.

Aku berusaha bangun. Langkahku gemetar. Ketika keluar kamar kau menghampiriku dengan raut muka sedih. Langkahku agak normal meski sedikit oleng.

Aku berjalan kecil menuju rumah Jihan. Rumahnya tidak telalu jauh, tetapi cukup membuat rasa sakit menyerangku lagi. Kau bersikeras menghentikanku, tapi aku memaki dan menuduhmu telah mejauhkanku dari Jihan.

Kau tahu, setibanya di sana, semua orang menatapku terkejut. Pandanganku terpaku melihat dua orang berpakaian rapi. Mereka memegang tangan masing-masing. Satu cincin sudah melingkar di tangan Jihan. Tinggal Jihan yang memasang cincin itu ke tangan tunangannya.

Langkahku lunglai. Penglihatanku kabur. Terdengar jeritan suara ibu semakin dekat. Tubuhku rubuh. Kepalaku mendarat di atas batu kali yang tajam.

***

Aku harap kau bisa berubah. Sebentar lagi dua malaikat akan segera melarangku untuk pergi ke mana-mana, termasuk mengunjungimu di dalam mimpi.

Khoirul Anam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email