Homofictus

Catatan Bunuh Diri dan Puisi Lainnya

Ikhsan Muhammad

1 min read

Pohon Beringin Tua di Halaman Belakang Sekolahnya

Ia mengingat pohon beringin tua di halaman belakang sekolahnya; dahan-dahan kokoh yang berjasa ketika bersama mereka membolos pelajaran olahraga.

Mereka sangat tak menyukai pelajaran itu, yang lain akan mengejek bahwa tubuh mereka lemah sehingga tak layak tergabung di tim mana pun.

Tak untuk sepak bola, tak untuk kasti, atau bola voli.

Maka mereka memilih diam-diam pergi
menemukan pelajaran olahraga mereka sendiri: memanjat pohon beringin tua. Takjub pada apa yang mereka rasakan dan rahasiakan.

Tahun-tahun berganti dan ia tanpa kawan membolosnya, berkunjung kembali ke sekolah masa kanaknya, dan tak melihat lagi pohon beringin tua di halaman belakang sekolah—pohon itu ditebang demi perluasan gedung tambahan.

(Kelak ia akan selalu bersedih untuk setiap pohon yang ditebang dengan atau tanpa alasan). Ia menatap sekeliling, menyadari waktu-waktu yang berlalu—memisahkan ia di hari ini dengan ia di masa lalu. Tanpa kawan lama yang bersamanya membolos pelajaran olahraga. Tanpa pohon beringin tua di halaman belakang sekolah masa kanaknya.

(Padang Bulan, 2017)

Dalam Mimpiku, Sebelum Aku Terbangun dan Terlupa

Kau pun lebur jadi rasa hangat
memeluk sumsum sedih
pada tulang belakangku
mengisi molekul-molekul
yang menyusun jiwa
dan penuhi rongga
hampa dalam diriku.
Aku tak pernah benar-benar
sendirian bahwa kesepianlah
sebenar-benarnya kawan
ketika aku lumpuh
dan menggigil kedinginan
dalam gelap itu
kau jadi lentera
detak jantung
kompas penunjuk arah
peta yang bentangkan jalanku.
Telah kusaksikan segalanya,
bersama hembus napas pertama,
dalam mimpiku, sebelum aku
terbangun dan terlupa.

(Padang Bulan, 2018)

Kebahagiaan di Atas Meja Makan

Remah-remah berjatuhan,
dari meja kegembiraan.
Ada Ayah dan Ibu,
dan seorang pemulung
di balik dinding kaca
menatapi kita.

(Padang Bulan, 2018)

Catatan Bunuh Diri

Raut indah dari balik awan
Di atas atap gedung pencakar langit
Sebuah kedamaian yang memesona

: Mari rebahkan lelahmu di pundakku

Anginkah, atau kata-katanya
yang menggairahkan?
Bertanya padaku untuk
pelukan dan ciuman.

Aku pun melompat
terjun bebas
meraihnya.

(Padang Bulan, 2020)

Ranjang Ini Seharusnya untuk Dua Orang

Ia saksikan mimpi-mimpinya di udara—menguap, lalu menyublim dan akhirnya jadi embun di rerumputan basah di pekarangan depan kamarnya, tempat terakhir kali mereka ucap salam sebelum akhirnya tak saling melihat lagi.

Ranjang ini seharusnya untuk dua orang. Tapi ia seorang diri sekarang. Di antara tumpukan bantal-bantal, tanggal-tanggal lampau, pakaian-pakaian kotor, dinding-dinding beku, dan sebuah ruang hampa dalam dirinya: ia menangis dan ketakutan sendirian.

(Padang Bulan, 2020)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ikhsan Muhammad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email