Film Penyalin Cahaya yang ternyata penulisnya adalah seorang pelaku pelecehan seksual, hanyalah satu contoh terkini dari munculnya dilema dalam menikmati suatu karya yang pengarangnya problematis. Sebagaimana diuraikan dalam artikel yang ditulis oleh Agus Ghulam Ahmad Penyalin Cahaya dan Dilema Kita.
Dilema, perasaan bimbang, dan kebingungan untuk bersikap karena merasa bertentangan dengan nilai yang dianut adalah sesuatu yang wajar. Namun menurut saya, kita tidak perlu meng-cancel suatu karya yang dibuat oleh pengarang yang problematis. Lantas, bisakah suatu karya dipisahkan dari pengarangnya?
Karya, Diri dan Sosial
Dalam proses penciptaan karya, diri dan sosial selalu terlibat dan tak bisa dipisahkan. Karya yang tercipta melalui individualitas tidak terlepas dari konteks sosial yang melatarbelakanginya. George Herbert Mead dalam Mind, Self, and Society mengemukakan konsep Aku Sebagai Subjek (I) dan Aku Sebagai Objek (Me).
Individu sebagai I adalah konsep diri yang kreatif yang mampu membuat perubahan, sedangkan individu sebagai Me adalah konsep diri yang menginternalisasi dunia sosial. Nilai-nilai sosial yang diperoleh melalui Me akan disaring dan tertanam dalam diri, kemudian individu akan merepresentasikan saringan nilai-nilai sosial itu melalui I secara kreatif. Di sinilah suatu karya dapat terbentuk melalui konsep Aku Sebagai Subjek.
Sebuah karya akan ternodai ketika kehidupan individual seorang pengarang itu problematis secara sosial. Maksudnya, kehidupan yang problematis secara sosial adalah kehidupan yang anomali menurut sosial—tidak sejalan dengan “kewajaran universal”. Tentu dalam kehidupan sosial ada sesuatu hal yang menjadi narasi umum, seperti konsep keadilan, kemanusiaan, dan lain-lain. Ketika seorang individu tidak sejalan dengan narasi tersebut, dia dapat dikatakan “tidak wajar”.
Dalam konteks film Penyalin Cahaya – sebuah film tentang kekerasan seksual yang meraih 12 Piala Citra FFI 2021 – nilai dan kualitas film harus kembali dipertimbangkan oleh penikmatnya karena penulisnya sendiri merupakan seorang pelaku pelecehan seksual. Hal ini tentu mengecewakan para penikmat karya. Seperti halnya Agus Ghulam Ahmad yang terperangkap dalam dilema: Bolehkah kita menonton film yang bercerita tentang kekerasan seksual itu? Haruskah kita memboikot film itu? Atau yang lebih kontekstual lagi, bisakah suatu karya dipisahkan dari pengarangnya?
Perumpamaan Agus mengenai orang tua yang saling mencintai, kemudian pada akhirnya memergoki bahwa keduanya saling menyelingkuhi itu kurang tepat. Hal ini tidak relevan dengan hubungan antara karya, pengarang, dan penikmat karya. Di sini kita harus lebih fokus pada nilai-nilai dari suatu karya, bukan pengarangnya—meskipun pengarang sangat berpengaruh terhadap karya-karyanya.
Kita sedang dalam posisi mengagumi suatu karya, bukan pengarangnya. Jika kita mengagumi pengarangnya, konsekuensi yang muncul adalah perasaan kecewa ketika kehidupan personal suatu pengarang tidak sesuai dengan pengetahuan yang kita ambil darinya. Mungkin perumpamaan yang lebih cocok adalah: kita diajarkan untuk tidak mencuri, namun ternyata yang mengajari kita adalah seorang pencuri. Dalam Jawa, mereka dapat disebut jarkoni atau iso ngajar, nanging ora iso ngelakoni (bisa mengajari tapi tidak bisa melakukannya).
Cancel Foucault?
Dalam konteks Foucault yang pernah mencabuli anak-anak di bawah umur di Tunisia serta menekan petisi legalisasi seks dengan anak di bawah umur tidak terlepas dari konteks historisnya. Sebagai seorang homoseksual, pedofilia, dan sadomasokis, tentu Foucault mengalami subordinasi dari masyarakat luas dan dianggap sebagai orang yang menyimpang.
Sebagai pengikut Nietzsche yang menilai suatu kebenaran dari titik nol yang kemudian mencetuskan gagasan Kekuasan/Pengetahuan, Foucault meyakini bahwa kebenaran itu bergantung pada kekuasaan dominan dalam suatu masyarakat tertentu. Jika kekuasaan yang ada dalam suatu masyarakat adalah agama Islam fundamental, maka perempuan yang tidak mengenakan jilbab akan jadi bagian dari seseorang yang menyimpang atau “tidak wajar”.
Begitu pun dengan kasus Foucault, di mana dia hidup dalam masyarakat dengan kecenderungan heteroseksual yang menilai kecenderungan seksual yang lain (homoseksual, biseksual, dan sebagainya), bukan sebagai manusia yang utuh. Maka—pikir masyarakat—mereka yang tidak sesuai dengan kecenderungan umum pantas untuk disingkirkan dari ruang publik.
Sejak abad ke-17, bentuk kekuasaan berubah menjadi “kekuasaan terhadap kehidupan” atau yang biasa disebut “biopower”. Pengoperasian biopower ini dilakukan melalui dua cara, yakni politik tubuh dan biopolitik. Politik tubuh beroperasi untuk mendisiplinkan tubuh, memaksimalkan potensinya, dan memanfaatkan efek kekuatannya untuk ketahanan negara. Sedangkan biopolitik beroperasi dengan cara memanajemen populasi (seperti munculnya alat kontrasepsi), meningkatkan daya hidup, kesehatan, kesuburan, dan produktivitas untuk menjaga ketahanan negara.
Baca juga: Dalam Dekap Biopolitik
Kemudian di sini muncul oposisi biner antara wajar-tidak wajar, sehat-tidak sehat, waras-gila, human–subhuman melalui otoritas-otoritas biopolitik yang sah—dokter, psikolog, psikiater—yang berperan untuk mengendalikan masyarakat demi melayani rezim liberal yang berkuasa. Maka orang-orang yang anomali berdasarkan sistem kekuasaan ini akan disingkirkan, diluruskan, dan dibenahi agar mereka mampu untuk produktif dan melayani kepentingan dari sistem kekuasaan yang berlaku.
Begitu pula dengan kisah Karl Marx yang selalu menerima santunan ekonomis dari Engels. Marx yang senantiasa menjaga prinsip anti-kapitalisnya dan membela kaum buruh dari eksploitasi berkepanjangan, ternyata menengadahkan tangan pada sahabatnya itu yang menghasilkan uang melalui pabrik tekstil milik keluarganya—di mana pabrik tersebut memeras tenaga buruh secara eksploitatif untuk menghasilkan untung yang besar.
Apakah para Marxis di luar sana kemudian beralih menjadi seorang yang liberal hanya karena mengetahui ulah Marx yang menerima uang dari hasil operasi kapitalisme yang senantiasa dikritiknya itu? Apakah para komunis akan beralih menjadi seorang fasis hanya karena mengetahui fakta bahwa Marx itu jarkoni? Kemudian beberapa tokoh yang diduga sebagai gay ataupun biseksual, seperti Leonardo Da Vinci, Shakespeare, Thomas Aquinas, bahkan Plato. Apakah kita akan meng-cancel karya-karyanya hanya karena kepribadiannya yang “tidak wajar” menurut sosial?
Di sini jelas bahwa karya tidak pernah terlepas dari hubungan antara pengalaman personal, pengetahuan dinamis, dan masyarakat sosial. Jika kita mengidolakan suatu tokoh, maka besar kemungkinan kita akan kecewa jika ternyata fakta dari tokoh itu adalah “menyimpang”.
Namun jika kita penikmat karya, maka fakta dari seorang tokoh yang menyimpang tidak akan berdampak besar bagi pembacaan suatu karya. Bukankah kita perlu mendengarkan dari “apa” yang orang bicarakan, bukan “siapa” orang yang berbicara itu? Jika seorang pencuri mengajari kita untuk tidak mencuri, apakah kita akan menolak ajaran tersebut ketika menyadari bahwa orang yang mengajari kita adalah seorang pencuri? Silakan untuk meng-cancel orangnya, namun jangan karya-karyanya.