Beberapa waktu lalu, seorang anak dirundung oleh oknum pendidik dan teman-temannya hanya karena membawa bekal ayam goreng dari salah satu franchise yang masuk daftar boikot karena dianggap telah membantu penjajahan Israel.
Sebelumnya, kita dihadapkan dengan perdebatan keras terkait Palestina. Siniar Deddy Corbuzier menjadi titik awal perbincangan para netizen. Buya Arrazy mendapatkan kritik, bahkan dihujat, oleh banyak tokoh termasuk para pendakwah populis macam Felix Siauw hingga Kadam Sidik.
Dulu media massa menjadi wadah beradu argumen. Hari ini, siniar telah menggantikan peran media massa. Perbincangan di berbagai siniar terkait Palestina, terlebih sejak perdebatan pendapat Abuya Arrazy yang disampaikan di siniar Deddy Corbuzier, meledak. Bahkan, perdebatan tersebut juga merambah TikTok hingga berbagai kolom komentar di ragam linimasa.
Baca juga:
Isu Palestina telah menjadi perbincangan di berbagai ruang publik, mulai warung kopi hingga ruang digital. Keributan terkait isu Palestina di beberapa siniar di atas membuktikan perbincangan di ruang publik, baik luring atau daring, sudah tidak lagi sekedar urusan solidaritas. Respons terkait isu Palestina mulai menjadi simbol kesalehan, khususnya di kalangan anak muda. Mengapa?
Hijrah dan Subkultur Masyarakat
Hijrah adalah salah satu perkembangan keberislaman paling populer hari ini. Dulu kita sering menggunakan kata taubat untuk menggambarkan kondisi seseorang ketika kembali dekat dengan agama. Sekarang kata tersebut telah digantikan oleh “hijrah”
Eva F. Nisa pernah menuliskan bahwa salah satu perkembangan keberagamaan di kalangan anak muda di antaranya ditandai dengan kemunculan gelombang hijrah. Dalam analisis Nisa, istilah “hijrah” mulai populer sekitar tahun 2016. Istilah ini, menurut Nisa, ditandai dengan masuknya beberapa selebriti ke kelompok Islamis atau Islam konservatif.
Istilah “hijrah” kemudian digunakan secara intensif oleh para artis tersebut untuk menandai perubahan yang mereka alami. Lebih jauh, hijrah yang mereka alami adalah mengenai cara mereka memahami dan mempraktikkan agama dengan mengadopsi apa yang mereka yakini sebagai pemahaman yang benar tentang Islam. Meski demikian, istilah ini tidak monolitik.
Hari ini, anak-anak muda cukup akrab dengan istilah ini. Mereka saling berbagi, meminjam, hingga menafsirkan ulang istilah hijrah dengan beragam kelompok atau para artis. Islam yang dipraktikkan dan dipahami telah mengalami banyak percampuran dan negosiasi dengan apa yang selama ini dipraktikkan di masyarakat umum.
Jika dulu K.H. Abdurrahman Wahid menyebut pesantren sebagai subkultur, saya mencoba melihat hijrah sebagai subkultur baru dalam masyarakat muslim, khususnya perkotaan. Mengapa?
Sebelum ke sana, kita perlu mengulik dahulu apa itu subkultur. Chris Barker dalam buku Cultural Studies menyebutkan subkultur merujuk pada klasifikasi yang berusaha memetakan dunia sosial dalam representasi. Subkultur sangat tergantung dengan oposisi biner, yakni ide tentang kebudayaan dominan hasil produksi massal yang tak autentik.
Artinya, subkultur merujuk pada unsur-unsur kebudayaan di sebuah kelompok yang berbeda dengan kebudayaan dominan sebelumnya. Menurut Barker, Pendefinisian atribut “subkultur” tergantung pada penekanan yang diberikan pada pembedaan antara suatu kelompok sosial atau budaya tertentu dengan kebudayaan atau masyarakat yang lebih luas.
Titik berangkat subkultur adalah “otherness” atau “kelainan” Hal ini sangatlah mudah kita jumpai lewat beragam istilah yang beredar atau dipakai di kelompok hijrah. Selain kata hijrah, kita bisa menjumpai kata kajian untuk menggantikan pengajian atau majelis taklim; atau kita juga mendapati bagaimana mereka merekonstruksi ulang peringatan Maulid Nabi menjadi lebih fun atau fancy.
Palestina sebagai Simbol Kesalehan
Kala simbol semangka populer di media sosial, seorang influencer mengaku mendapat desakan netizen untuk mengganti foto profil mereka dengan simbol tersebut jika benar-benar mendukung Palestina. Desakan ini, di satu sisi, adalah bukti bahwa influencer tersebut rentan menjadi sasaran cancel culture yang cukup dominan dilakukan netizen Indonesia.
Baca juga:
Di sisi lain, postingan di media sosial tidak lagi sekadar ungkapan pribadi. Di saat bersamaan, postingan media sosial menjadi bagian ekspresi kesalehan. Menariknya, di kalangan anak hijrah yang sebagian besar berisi anak muda yang memiliki kemampuan penguasaan teknologi yang cukup, media sosial telah menjadi ruang baru untuk mengekspresikan kesalehan mereka.
Hal ini menambahkan tesis Saba Mahmood bahwa kesalehan tidak lagi sekadar urusan ibadah pribadi, tetapi juga menghadirkan “diri yang saleh” dengan beragam simbol. Walhasil, mereka yang hijrah perlu eksis di media sosial. Media sosial dijejali dengan beragam model postingan berkaitan dengan ekspresi kesalehan, dan isu Palestina cukup menggambarkannya.
Selain cancel culture terkait postingan semangka, kita menjumpai pembelaan terhadap Palestina juga tidak jarang diekspresikan dengan mengunggah konten beririsan dengan kesalehan. Kalau postingan mengikuti demo atau doa bersama mungkin terlalu mainstream. Seorang influencer pernah mengunggah konten dia sedang berkuda sembari memakai kafiyeh (semacam syal bermotif kotak-kotak) yang menjadi simbol perlawanan Palestina.
Kesalehan di kalangan hijrah telah menjadi ekspresi lewat postingan media sosial, di saat bersamaan, juga menjadi subkultur mereka. Mereka memakai bahasa, ekspresi, hingga model ritual berbeda atas apa yang selama ini dominan di masyarakat muslim.
Sayangnya, kesalehan di media sosial ini juga rentan menjebak mereka pada klaim-klaim kebenaran atas wajah Islam yang beragam. Tidak sekali atau dua kali terjadi para artis terlibat persoalan karena menganggap apa yang diamalkan atau diekspresikan mayoritas masyarakat adalah kesalahan.
Unsur “merasa benar” inilah yang semakin menegaskan hijrah sebagai subkultur di masyarakat muslim. Kelompok hijrah tidak hanya menciptakan budaya baru atau mengkreasi ulang budaya keislaman, mereka juga merasa apa yang mereka alami dan pahami adalah satu-satunya kebenaran.
Editor: Prihandini N