Darmawati Majid, menulis cerpen dan esai. Saat ini bermukim di Gorontalo.

Buku untuk Pak Menteri

Darmawati Majid

5 min read

Mukram tidak percaya pada apa yang ada di hadapannya. Nalim Nakalim, Menteri Penerangan yang dikenal sangat mencintai buku itu kini berdiri tak jauh darinya, dan yang paling hebat dari semua itu adalah Pak Menteri akan makan malam dengannya!

Kenyataan itu baru saja disampaikan oleh panitia. Ada tamu undangan lain yang tidak bisa datang karena belum divaksin. Panitia tadi sempat memberi informasi tambahan kalau orang yang ia gantikan itu penganut aliran keras #saynotovaksin dan dicurigai memegang teguh keyakinan kalau vaksin hanya keran uang bagi orang-orang yang telanjur kaya. Kata-kata yang Mukram tangkap hanyalah “tidak bisa datang karena belum divaksin”.  Sejak kotanya akrab dengan wabah tiga tahun lalu, belum pernah Mukram segembira ini mendengar ada orang yang takut divaksin.

Jika ingin jujur, Mukram sebenarnya sangat tidak ingin hadir pada peluncuran buku karya Pak Walikota (tentu sebelum ia mendengar kabar kehadiran Pak Menteri). Pertama, Mukram percaya kalau penerbitan buku Pak Wali pasti dibiayai APBD. Faktor kedua, Mukram sudah menerima kenyataan bahwa usahanya menjadi penulis-yang-diperhitungkan sedang menuju titik henti.

Mukram sempat berpikir penyebab ketidakberuntungannya ada pada namanya. Ia telah mencoba tiga nama samaran selain nama aslinya, salah satunya nama yang sangat kemayu. Nihil. Retur cerpennya sudah memenuhi batas ruang penyimpanan gratis layanan surelnya. Nama bukan penentu keberuntungan.

Mukram mulai percaya mungkin ia tak ditakdirkan menjadi penulis. Ia tak kunjung dikenal, apalagi punya nama.

Ia mengingat penulis-penulis kondang yang pernah ia mintai kesediaannya untuk bermurah hati memberi sedikit kata-kata mengenai naskah novel pertamanya. Mereka semua mengiyakan, namun Mukram sempat bertanya-tanya, ke mana kata-kata yang dijanjikan itu tiba. Ia ingat begitu rajin mengecek folder spam surat elektroniknya, berharap kritik membangun mengenai naskahnya terdampar di sana. Nihil.

Telah setahun berlalu sejak ia meminta tolong kawan kuliahnya yang kini punya percetakan sendiri untuk menerbitkan bukunya. Meskipun kawannya itu saban hari hanya mencetak buku-buku yasin, percetakannya sangat terkenal. Mukram tak ragu menghabiskan tabungan untuk membiayai sendiri segala prosesnya. Setelah tercetak, ia dengan semangat mendatangi sekolah-sekolah menengah, juga ke dinas perbukuan yang punya moto #dukungpenulislokal untuk menyumbangkan novel terbaru yang ia beri judul Keseimbangan Hidup. Ia melihat antusiasme pembaca terhadap buku-buku motivasi dan merasakan kehausan anak-anak muda akan novel-novel penyembuh kesehatan mental, berharap novelnya mendapat antusiasme semacam itu. Nama dan bukunya sempat muncul sejenak di story WhatsApp para kepala sekolah. Bu Kadis bahkan mengunggahnya di akun instagram pribadi. Namun, Mukram akhirnya paham jika buku yang tampil di unggahan cerita bukan jaminan besar kalau buku itu dibaca. Bukunya hilang ditenggelamkan story demi story.

Tatkala suatu hari kawannya yang di percetakan itu mengirimkan foto cerpennya yang dimuat di surat kabar, hati Mukram seketika menjadi langit malam yang semarak oleh kembang api. Keberuntungan itulah yang membawanya menjadi salah satu nama yang hadir pada peluncuran buku memoar Pak Walikota, buku yang mengungkap cerita di balik kisah sukses laki-laki bertubuh kerempeng itu menjadi pemimpin yang bermula dari kegigihannya menjual es mambo. Meskipun semua orang tahu, Pak Walikota masih ada garis keluarga dengan beberapa pejabat eselon di ibukota. Tapi citranya tentu akan lebih cemerlang dengan cerita tentang es mambo, alih-alih menjelaskan bahwa karir politiknya terbantu berkat keluarganya.

Dengung percakapan diiringi musik dan lagu yang sedang viral karena mendapat tombol emas di kompetisi bergengsi di luar negeri seketika menghentikan Mukram meratapi nasib kepenulisannya. Sebaris lirik singgah di telinga Mukram, bersamaan dengan aroma daging panggang yang mengingatkan Mukram kalau ia belum makan apa-apa sejak pagi.

Ia tidak akan duduk berdua saja dengan Pak Menteri di meja itu. Ada empat penulis lain selain Pak Wali yang baru saja meluncurkan memoarnya, dan kepala dinas perbukuan kotanya. Mukram mulas sejak diberitahu ia akan duduk makan malam dengan Pak Menteri. Ia harus mengulang-ulang perjalanan singkat ke kamar mandi, mengoreksi setiap detail penampilannya seperti ABG yang akan kencan pertama kali.

Bayangkan dirimu penulis yang masa depannya suram: naskahmu ditolak hampir semua penerbit, puisimu menuai komentar sampai 10K karena saking jeleknya, kini kau semeja dengan Pak Menteri karena ternyata beliau adalah kawan masa kecil Pak Wali.

Mukram membayangkan tanggapan kawan-kawan circle-nya besok ketika ia mengunggah foto makan malam itu. Ia pun sibuk memikirkan caption apa yang paling tepat untuk menemani unggahan itu.

Kecamuk pikiran Mukram disela kehadiran laki-laki yang memakai baju yang warnanya mengingatkan Mukram pada warna anggur Bugis, buah kecut yang sering ia santap bersama adiknya sewaktu kecil. Cekatan lelaki itu menjelaskan apa yang boleh apa yang tidak boleh dilakukan saat makan malam dengan sang menteri. Belakangan, laki-laki itu ia ketahui sebagai sekretaris pribadi Pak Menteri.

Pertanyaan-pertanyaan Mukram dan keempat penulis lain dijaring dan disaring. Mukram melirik keempat penulis itu, mencoba mencari kegelisahan yang sama. Mereka berlaku biasa. Kalaupun mereka gelisah, itu berarti mereka aktor yang sangat lihai berakting.

Mereka diperkenalkan satu per satu seiring makanan pembuka berupa sekotak kecil roti yang didampingi semangkuk sirup berwarna merah ditata di atas meja. Mukram yang lapar segera meraih pisau dan mencoba memotong roti yang kerasnya mengingatkan Mukram pada bongkah tanah di kebunnya ketika kemarau.

Mukram diam-diam melirik kiri kanan, memperhatikan sekelilingnya. Ia mencari tahu bagaimana cara menyantap roti itu tanpa harus kehilangan muka. Ia sungguh lapar. Namun, semua yang hadir ternyata sedang serius mendengarkan Pak Menteri yang sedang bercerita mengenai putri bungsunya yang sangat suka dengan buku anak salah satu penulis puisi favorit Mukram.

Pak Menteri bercerita, bagaimana ia ingin mengubah arah literasi dan kebiasaan membaca di negara ini. Mukram yang lapar pun berhenti memotong roti dan mencoba menarik perhatian Pak Menteri dengan review yang pernah ia tulis mengenai buku itu. Pak Menteri tampak sangat tertarik. Hati Mukram memekik kegirangan.

Mukram lalu teringat buku yang ada di tasnya, novel yang telah ia terbitkan dan pasarkan sendiri, yang telah mengosongkan tabungannya. Malam ini, ia kembali dipenuhi harapan. Ia merasakan hatinya menggelembung memenuhi ruangan. Seusai makan malam, ia akan menghadiahkan novel itu untuk Pak Menteri. Ia tahu, Pak Menteri suka mengunggah buku yang sedang ia baca di akun media sosial pribadinya. Pada akhirnya ia akan dikenal.

Mukram juga ingat blog tempat ia mengunggah semua tulisan kreatifnya. Ia rajin mengirimkan tautan tulisan itu ke rekan-rekan grup WhatsApp-nya, juga memajangnya sebagai story. Meskipun minim tanggapan, Mukram sangat yakin anggota grup atau salah satu temannya membaca ceritanya, tanpa pernah menyadari satu kenyataan besar bahwa selama kau bukan siapa-siapa, karyamu takkan dibaca orang.

Ia juga ingat pernah nekat mengirimkan satu draf novel ke salah seorang penulis ternama yang ia jumpai ketika penulis berambut gondrong itu roadshow ke kotanya. Sang penulis berjanji dengan keramahan yang luar biasa akan membaca dan memberikan komentar. Satu bulan, dua bulan, sebelas bulan ia menunggu, komentar yang dijanjikan tak pernah datang. Ia pun berkeyakinan, janji penulis ternama tak jauh berbeda dengan politisi.

***

Mukram terbangun keesokan harinya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek semua akun media sosial yang dia miliki. Kecewa menyelinap, tapi harapannya belum padam. Ia meluncur ke media sosial pribadi Pak Menteri, dan hatinya serasa mau lompat keluar. Jantungnya berdebar kencang seperti deras air terjun yang tak jauh dari desanya. Di akun Instagram Pak Nalim Nakalim, kini terpampang bukunya, di slide kedua, foto makan malam mereka. Mukram pelan-pelan membaca caption-nya:

Saya bersyukur mengiyakan undangan untuk hadir pada peluncuran buku sahabat saya. Kalau tidak, saya pasti tidak akan berjumpa dengan lima sastrawan muda berbakat ini. Salah satunya Saudara Mukram, penulis buku “Yang Vakum adalah Aku”.

Ceritanya sungguh saya nikmati dan menjadi teman menyenangkan dalam penerbangan saya ke Bali pagi ini. Saya sampai hanyut dan tak sadar pesawat kami telah mendarat di Ngurah Rai. Benar-benar bersyukur, negara ini memiliki penulis secemerlang Mukram dan kawan-kawan.

Mukram menangis membaca kata-kata itu. Ia merasa kerja kerasnya bertahun-tahun ini terbayarkan.

***

“Saya boleh cuti bulan depan, Pak?” Ragu, Dali mencoba bertanya. Ia tahu ini bukan waktu yang pantas, tetapi Winaya sudah mendesak sedari subuh.

Dali sadar kemungkinannya kecil. Jadwal kunjungan kerja mengenai proyek peningkatan minat baca masyarakat yang digagas Pak Menteri sedang padat-padatnya, dan Sarim, sekretaris pribadi yang satunya memilih waktu yang tidak tepat untuk mengundurkan diri. Namun, setidaknya ia harus mencoba.

Pak Menteri memberinya tatapan yang ia tahu bentuk lain dari kata tidak.

Batal sudah niat Dali membawa kekasihnya liburan ke Rammang-Rammang. Novel Mukram dan memoar Pak Walikota yang barusan diberikan kepada Pak Menteri ia lemparkan begitu saja ke bagasi yang hampir penuh barang. Tak ada yang tahu kecuali Mukram yang baru saja akan menyalakan motor di parkiran hotel tempat acara makan malam berlangsung. Mukram melihat dua buku itu meluncur licin ke bawah kursi penumpang. Laki-laki berbaju sewarna anggur Bugis itu menutup pintu bagasi mobil biru metalik milik atasannya dengan kekuatan penuh. Mukram juga memperhatikan itu, dalam hati tahu jika novel yang ia tulis sepenuh jiwa tidak akan pernah dibaca oleh Pak Menteri yang baru saja duduk makan malam dengannya. Ludahnya tiba-tiba terasa sangat kecut.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Darmawati Majid
Darmawati Majid Darmawati Majid, menulis cerpen dan esai. Saat ini bermukim di Gorontalo.

One Reply to “Buku untuk Pak Menteri”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email