Apakah orang masih perlu membaca puisi di zaman sekarang ini, sehingga ada juga yang perlu mempelajari bagaimana cara menciptakannya? Pertanyaan itu berangkat dari keyanikan Iman Budhi Santosa dalam bukunya Seni Mencipta Puisi: Menyingkap Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang Maestro.
Iman meyakini, puisi yang dihadirkan di tengah era disrupsi informasi bisa menjelma sebagai sepercik nyala api yang menjadi cahaya dalam menerangi riuh rendah zaman ini. Menurutnya, momentum puitik tentu senantiasa menyertai kehidupan setiap manusia, dan momentum itu kerap kali luput untuk disajikan ke dalam teks puisi yang dikenal selama ini. Seharusnya momentum-momentum puitik itu dapat dinikmati dan diapresiasi bila disajikan ke dalam puisi.
Konsep Mencipta Puisi
Konsep mencipta bermula dari kata cipta. Menurut KBBI, cipta adalah kesanggupan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, atau angan-angan kreatif. Dari kata cipta menjadi kata kerja mencipta yang artinya, memusatkan pikiran (angan-angan) untuk mengadakan sesuatu. Selanjutnya, menciptakan: 1) menjadikan sesuatu tanpa bahan; 2) membuat (mengadakan) sesuatu yang baru; 3) membuat suatu hasil kesenian.
Iman menekankan, bahwa ungkapan cipta yang digunakan dalam bukunya bukanlah sekadar menulis, mengarang, atau membuat. Lebih dari itu, mencipta puisi berarti kesanggupan pikiran untuk mengadakan puisi yang berbeda dari puisi milik penyair lain, baik sebelum atau sesudahnya, serta mengandung unsur kebaruan berupa angan-angan kreatif, baik berdasarkan pengalaman pribadi atau dorongan eksternal lain di luar itu.
Garis Keturunan, Individual, dan Sosial sebagai Dorongan dalam Mencipta
Banyak hal yang sebenarnya melatari munculnya dorongan untuk mencipta puisi. Dalam bukunya, Iman menawarkan faktor dominan yang membuat seseorang terdorong atau mempunyai kemampuan untuk mencipta puisi, antara lain: 1) faktor genetik, 2) faktor individual, dan 3) faktor sosial.
Faktor genetik adalah faktor yang paling sederhana, yaitu garis ketururan. Seorang anak, cucu, atau keturunan dari sastrawan terutama, punya dorongan lebih untuk menirukan kemampuan para bapak, ibu, kakek, nenek, atau orang-orang di atas yang ada di dalam garis keturunannya. Ini lazim sekali terjadi, mengingat pertumbuhan pemikiran seorang anak sudah tentu dipengaruhi juga oleh segala aktivitas yang terjadi di tempat ia hidup.
Kedua, faktor individual terjadi karena seseorang mungkin saja terdorong dari aktivitasnya yang senang membaca. Karena aktivitasnya itu, seseorang akan terdorong untuk mencipta. Dengan kata lain, sebuah aktivitas yang sering dilakukan dapat menjadi kebiasaan. Oleh karena telah menjadi kebiasan, maka aktivitas seseorang yang sering membaca puisi akan cenderung terdorong untuk mencipta, sebagaimana pencipta puisi kesukaannya. Itulah yang mengetuk pintu semangat seseorang untuk mencipta puisi.
Ketiga, faktor sosial, atau di dalam buku ini dijelaskan sebagai kemungkinan yang terakhir seseorang mencipta puisi. Faktor sosial adalah kondisi seseorang yang berada di tengah-tengah lingkungan para pencipta atau pegiat puisi. Artinya, seseorang akan mencipta puisi karena tergabung dalam suatu komunitas, organisasi, atau jejaring pengrajin puisi.
Dengan demikian, seseorang yang hendak mencipta puisi sekurang-kurangnya, atau minimal harus memosisikan dirinya pada satu dari tiga faktor tersebut. Karena, dengan berada di dalam kondisi atau posisi tersebut, secara sadar ataupun tidak kita akan terdorong dan berkemampuan untuk mencipta.
Metode N-3: Perkara Wajib dalam Mencipta
Sebagaimana yang telah ditekankan oleh Iman Budhi Santosa, mencipta adalah kesanggupan untuk mengadakan sesuatu yang baru. Namun, untuk mengetahui bahwa puisi ciptaan kita mengandung inovasi, perlu diketahui pembanding dari karya-karya yang sudah pernah ada. Maksudnya, kita harus memperbanyak referensi atau membaca puisi dari karya pencipta puisi yang telah ada sebelumnya. Berdasarkan pembacaan tersebut, kita akan melihat berbagai cara dan bentuk puisi yang konvensional diciptakan dan diterima masyarakat. Setelah mampu melihat konstelasi cara dan bentuk yang lazim itu, barulah bisa kita bandingkan puisi ciptaan kita dengan karya-karya yang sudah ada.
Buku Seni Mencipta Puisi: Menyingkap Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang Maestro menawarkan cara untuk mencapai inovasi dengan metode “N-3” (Niteni, Nirokake, Nambahi).
N-I (Niteni)
N yang pertama adalah niteni, berarti memperhatikan. Niteni dapat disetarakan dengan teknik pengumpulan data dalam sebuah penelitian. Artinya, seorang penulis puisi haruslah juga rela terjum sebagai pengamat dan pengepul ide dari berbagai bacaan yang ditemukannya.
N-II (Nirokake)
N yang kedua yakni nirokake yang berarti menirukan. Namun, menirukan bukan sekadar menduplikasi karya yang telah ada sebelumnya. Kerja menirukan yang dimaksud oleh Iman adalah mencipta puisi dengan cara meniru cara, bukan bentuknya. Misalnya: meniru puisi Perahu Kertas karya sang maestro Taufik Ismail, namun mengubah subjeknya menjadi kapal, pesawat, mobil, atau kendaraan lain yang serupa. Kita bisa meniru bagaimana Taufik Ismail melihat suatu objek sebagai metafora atas sesuatu yang abstrak. Kekhasan cara menulis juga bisa terus diasah dengan meniru bukan hanya satu orang penulis.
Sebelum membahas terkait ‘nambahi’, hal yang perlu dicatat, ketiga metode yang ditawarkan oleh Iman Budhi Santosa tidaklah berdiri sendiri atau terpisah, alias saling berkesinambungan. Maka, setiap prinsip yang ditawarkan tidak dapat terlewatkan. Ketiganya harus dijalankan secara sistematis.
N-III (Nambahi)
Nah, sampailah kita pada metode N yang ketiga, yaitu nambahi. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa tiga N ini saling berkesinambungan, pada prinsipnya nambahi atau menambahkan adalah metode yang harus dijalankan setelah puisi-puisi referensi terkumpul dan ditirukan cara menulisnya.
Nambahi adalah memberi modifikasi kata (bentuk) dari momen yang dimiliki seorang pencipta. Siapapun dapat menuliskan hal yang sama, misalnya cinta. Namun, setiap penulis merupakan penampung momen-momen yang khas dan otentik. Proses merefleksikan momen yang dialami seorang penulis ke dalam karyanya itulah yang disebut nambahi.
Itulah metode N-3 yang menjadi perkara wajib dalam mencipta dari buku Seni Mencipta Puisi: Menyingkap Rahasia dan Teknik Penciptaan Puisi dari Sang Maestro karya Iman Budhi Santosa. Perkara-perkara itu akan membawa para pembacanya kepada kemapanan dalam mencipta puisi secara langsung dari sang maestro.
Selain menjelaskan metode N-3 dan faktor-faktor yang mendukung seseorang untuk mencipta, buku ini juga memberikan gambaran kerja dalam pelaksanaan mencipta puisi, yang meliptui: persiapan, penciptaan, pascapenciptaan, dan dilengkapi dengan sejumlah karya-karya atau dokumen-dokumen berupa puisi dan nonpuisi dari para maestro. Sungguh buku yang bermanfaat sebagai panduan bagi pemula.
***
Editor: Ghufroni An’ars