Plung plung plung~
Suara tai berjatuhan tenggelam-timbul dari permukaan sungai.
“Malam ini jangan gagal, aku harus dapat pacar!”
Pekik suara yang memantul dari jamban compang-camping itu. Lolongan Dego mengagetkan burung-burung yang tak jauh nongkrong dari bilik buang hajatnya. Rombongan burung tersebut cepat-cepat terbang menjauhi bangunan semipermanen dari hasil perpaduan triplek dan bekas karung beras. Kumpulan burung tersebut sudah malas mendengar omong kosong yang keseribu kali dari moncong Dego.
Jika diberi kesempatan, mungkin para burung itu akan berkata, “Dego memang anjing! Bacot terus! Yok, bubar, geng!”
“Yoi, Bro. Gas ngeng~”
Dego, bujang berperawakan seperti beruk ini selalu saja memimpikan terlepas dari kesendirian. Seolah kutukan wajah mirip primata membuatnya berat jodoh, serat rezeki, dan ditinggal mati secara berturut-turut oleh semua keluarga.
Tahun pertama ia lahir, ayahnya mati diseruduk babi di kebun. Tahun kedua, ibunya mati karena kompor gas bocor dan meletup. Pascaledakan, kondisi ibunya waktu itu sangat matang dengan sempurna. Tahun ketiga, kakaknya mati dibawa arus sungai di belakang rumah. Tahun keempat, kakak perempuannya yang pembantu di negeri tetangga mati karena tidak mau berhubungan badan dengan majikan, ia memilih mati anjing (dipukuli sampai seperti anjing pesakitan) karena dituduh maling. Tahun kelima, pamannya mati tersambar listrik dari gardu tetangga yang meledak. Tahun keenam, bibinya mati dengan bibir berbuih setelah puas makan pindang yang dicampur racun biawak. Ia diracuni oleh istri sah dari selingkuhan bibi. Tahun ketujuh, kakeknya mati karena angin duduk. Tahun kedelapan, neneknya mati karena terpeleset dari jamban. Nenek mengapung dan hanyut bersamaan dengan tai yang baru saja ia keluarkan. Tahun kesembilan, sepupu lelakinya mati dengan lima belas tusukan karena gagal menuntut balas pacarnya yang dibuntingi oleh pak kades. Dan untuk tahun-tahun selanjutnya, kematian dalam keluarga ini tetap belanjut seperti acara tahunan. Sampai akhirnya hanya tersisa seonggok Dego.
“Ini akan jadi malam yang panjang, Beib.. uuuk aaa uuuk aaa~”
Celetuk girang Dego. Pasalnya nomor togel yang ia pasang dua hari lalu keluar semua. Ia meloncat-loncat dan tak lupa bebunyian beruk ia kumandangkan.
Perjuangannya menahan lapar dengan pil maag selama tiga hari tidak sia-sia. Perasaan senangnya tak terbendung, ia mengibaratkan semua keberuntungan ini seolah ia telah berhasil menjantani Dewi Fortuna hingga tak berdaya.
Sebetulnya dua hari lalu, ia memimpikan semua anggota keluarga tengah berkumpul mengadakan arisan dalam suatu ruangan bewarna putih terang. Seisi ruangan dipadati pernak-pernik mewah dengan warna yang cemerlang. Ruangan itu tidak terlalu besar, namun cukup luas untuk menampung keluarga besarnya.
Di sana mereka tertawa, bernyanyi, dan bercanda gurau. Dego yang hanya mengenal sebagian orang-orang itu dari album foto ikut merasa senang. Wajah mereka semua mirip dengan Dego, yang membedakannya hanyalah ada yang memakai rok, berambut panjang, cepak, dan beruban. Dengan canggung, Dego mendekati kerumunan itu sampailah bertemu dengan sosok lelaki tua.
“Ayah?”
“Bukan, aku kakekmu, Cuk!”
Ia mulai mendekati orang lain dan langkahnya terhenti.
“Ayah?”
“Bukan, aku pamanmu, tolol!”
Ia mulai mendekati orang lain dan lagi-lagi langkahnya terhenti.
“Paman?”
“Aku ayahmu, anak haram!”
Mereka pun tertawa.
Tak berapa lama, mereka berkumpul membentuk suatu lingkaran. Sesosok wanita mengeluarkan koncangan dari cangkir plastik yang bagian atasnya ditutup kertas dengan sedikit dibolongi. Ketika koncangan dikocok, lalu keluar lipatan kertas yang diikat potongan sedotan bewarna merah. Kertas itu dibuka, tertulis angka 21. Seketika meletup kegembiraaan seolah-olah semua orang memenangkan arisan.
Dego yang sedari tadi hanya melihat di pojokan sambil menikmati rendang didekati oleh mereka. Dego diperlihatkan potongan kertas bertuliskan dengan jelas angka 21. Angka itu ditujukkan berkali-kali seakan Dego harus mengingatnya. Dan benar saja, beberapa hari kemudian nomor ini tembus togel.
***
Dego membuang semua kain-kain rombeng lamanya. Sekarang ia tampak necis sehabis memborong pakaian dari pasar harian antardesa. Wajah beruknya sedikit tersamarkan. Seakan mahluk primitif yang mulai mengenal peradaban. Sekarang ia tampak seperti manusia.
Seperti bujang pada umumnya, Dego juga mengakui bahwa menonton orgen adalah wajib hukumnya. Tidak boleh tidak. Tingkat gaul seseorang ditentukan bila ia konsisten dan sukses mencuri perhatian di orgenan-orgenan mana pun. Bila absen satu hajatan saja, statusnya sebagai bujang orgen patut dipertanyakan.
Pasalnya orgen seperti menjadi perjanjian tak tertulis yang harus didatangi para muda-mudi tiap kecamatan. Anggapan ini sebetulnya pandangan lama, namun entah mengapa selalu saja relevan untuk anak muda di semua generasi.
Matahari sudah menyengat. Seharusnya motor yang Dego pesan telah datang dan bertengger di pekarangan rumahnya. Namun, sampai azan Asar berakhir, motor itu belum juga tampak batang setangnya. Dego tak berhenti modar-mandir mengintip ke jendela ketika mendengar suara truk lewat. Harapannya hanya satu: motor bebeknya harus segera sampai.
Satu per satu motor muda-mudi seumuran Dego lalu-lalang pergi ke dusun tempat hajatan. Dego makin gelisah. Usahanya untuk tampil keren malam ini bakal gagal. Mungkin karena begitu penat dengan ketidakpastian ini, Dego terlelap di kursi panjang ruang tamu.
Dego terkesiap saat mendengar beberapa kali klakson dari luar rumahnya. Ternyata yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pak Jalal, pria yang telah lama dikenal Dego ini tidak enak hati. Pasalnya ia berjanji motor itu harusnya sampai sebelum Asar, tetapi datang tepat lima menit sebelum Magrib. Pak Jalal menunduk-nunduk minta maaf dan menceritakan bagaimana jeleknya akses jalan menuju dusun ini. Truknya sempat beberapa kali lekat di kubangan tanah merah. Keadaan semakin susah karena semalam tanah tersebut habis diguyur hujan.
“Go, sebaiknya kamu tak usah orgenan malam ini.”
“Lah, kenapa emangnya, Pak?”
“Empat hari yang lalu, Bapak dengar kalau anak Kades kena rampok saat mau pulang dari orgenan. Motornya diambil. Tangannya putus. Pokoknya banyak luka bekas sayatan parang di badannya. Untung masih hidup.”
“Serius, Pak? Saya turut bahagia atas kejadian itu. Bunuh saja sekalian biar mampus si anak bangsat.”
“Go, Bapak cuma kasih saran kalau dusun-dusun lagi tidak aman. Banyak orang tidak lagi menyadap karet karena tiap tahun harganya selalu turun. Cuaca tak karuan, jadinya karet-karet gagal dipanen. Ada pula yang memasukkan batu ke karet biar berat waktu ditimbang. Namun, harga makin turun karena ada yang ketahuan. Tengkulak di kecamatan ini sampai ngamuk. Malu sama orang pabrik.”
“Pak, terima kasih sudah perhatian. Saya yakin jodoh itu bukan dicari atau bahkan ditunggu. Jodoh itu harus dijebak. Inilah kesempatan saya, Pak.”
“Ya sudah, terserah kamu. Ini kunci motornya.”
“Hehehe.. uuuk aaa uuuk aaa~”
Akhirnya persiapan Dego kali ini sangat matang demi menonton orgen di dusun sebelah. Dari sekian tahun, baru kali ini ia bisa membalas dendam. Jika diingat, ia selalu kurang percaya diri nonton orgen karena motor yang ia pakai sangat butut. Motor butut 2 tak keluaran tahun 2000 yang catnya sudah luntur. Ia selalu saja direndahkan oleh gadis-gadis lain seperti, “Cih, ada topeng monyet lepas!”
Motor sudah dipanaskan, rambut sudah disemir, kocekan sudah diisi penuh uang seratus ribuan, badan sudah disemprot minyak wangi, kacamata sudah dilepas harganya. Oke, balas dendam dimulai.
Tujuannya kali ini adalah dusun Air Itam, berjarak tiga dusun dari rumah Dego. Setelah magrib, Dego pergi. Hatinya girang sekali. Sedikit berjoget, lalu melantunkan lagu Kopi Dangdut. Orang-orang yang keluar dari surau ikut tersenyum melihat tingkah Dego seperti itu di atas motor barunya. Tak lama, senyuman mereka menjadi kebingungan bersama.
“Mau ke mana Dego malam ini?”
Tanpa terasa, Dego sudah berada di depan gapura selamat datang. Ia meninggalkan dusun, melintasi kebun-kebun karet. Hanya terdengar suara jangkrik dan dengungan halus motornya saja. Sesekali lolongan anjing hutan. Begitu sepi. Hanya ada Dego di jalan itu.
Dego merasa ganjil karena hanya ia saja lalu-lalang dari tadi di jalanan. Ia bertanya-tanya ke mana orang-orang. Muda-mudi kenapa tidak ada yang berpapasan dengannya. Padahal biasanya ada satu atau dua orang melintas, baik itu menyapa ataupun meludah ke arah Dego. Kenapa malam ini tidak ada?
“Oh, mungkin pestanya terlalu heboh malam ini, sampai-sampai orang tidak mau pulang. Hehehe..” gumam Dego seolah menenangkan dirinya terhadap keanehan ini.
Dego tiba-tiba menarik rem tangan. Ia terkejut. Bisa-bisanya ada empat bongkah kayu besar melintang menutup jalan. Perasaannya semakin tidak enak. Mana mungkin kebetulan seperti ini tidak direncanakan. Pasti ada dalangnya.
Sreeek.. sreeek.. sreeek…
Dari balik semak-semak keluar enam orang pria bersarung kepala seperti tersangka di reka adegan berita kriminal yang sering ia tonton. Ada yang memegang celurit, parang, dan senjata api rakitan.
Jantung Dego terperanjat melihat situasi ini. Wajah beruknya seketika pucat. Kakinya lemas. Tangannya gemetar memegang setang. Ia mau berbalik arah, tetapi di belakangnya sudah ada pula enam orang berjaga dan terlebih lagi sudah ada satu orang yang mengalungkan celurit ke leher Dego. Celurit itu seolah sudah siap menggaruk kurap-kurap yang ada di lehernya.
“Eit, mau ke mana, Bos?”
“Orgenan,” jawab Dego dengan nada ragu.
Pistol rakitan itu langsung ditempelkan di kening Dego.
“Hahahahaha.. Beruk tolol! Besar nyalimu. Hajatan malam ini batal. Kamu tahu kenapa?”
Dego hanya bisa menggeleng.
“Kalau kamu bisa jawab dan benar, kami lepaskan.”
“Eee, anu.. Mungkin karena si pasangan pengantin kawin lari dengan mantan kekasihnya?”
“Selamat!”
Seketika air mata Dego mengalir karena ia merasa akan terlepas dari keadaan menegangkan ini.
“Terima kasih, Tuan!”
Ucap Dego sambil perlahan menjauhkan celurit dari lehernya. Dego dengan sopan memutar motornya mengarah balik ke dusunnya. Setelah berhasil membelakangi rombongan itu, ketika tangannya hendak menyentuh saklar motor, Dego lagi-lagi dipanggil.
“Hei, mari kita rayakan dulu, Kawan!!”
Doorrrr!
Dego terdiam. Terdengar suara letupan yang tak asing. Dego menganggap orang-orang ini terlalu berlebihan dalam memujinya sampai-sampai membeli konfeti. Dego berpikir jangan-jangan mereka memang sengaja memberi kejutan ini karena mereka tahu bahwa ia berulang tahun, meski telah lewat beberapa hari. Senyum Dego mengembang. Ia menoleh ke belakang menghadap rombongan bersarung kepala itu.
Doorrr!!
Peluru itu dengan cepat melesat bersama desingan angin, menerobos tengkorak kepala Dego. Timah panas itu mengoyak daging-daging keriting membentuk jalan lurus sampai keluar ke kulit belakang kepala. Memancur air dari batok kepalanya. Dego berusaha menutup lobang di kepalanya dengan tangan supaya air itu pampat keluar. Namun, tak berapa lama kesadarannya perlahan memudar. Pandangannya yang sedari tadi ditutupi genangan air mata perlahan semakin gelap. Napasnya semakin berat dan sesak. Hanya tersisa satu tarikan napas sebagai tanda perpisahannya dengan dunia.
Para bajingan itu mulai mengambil harta rampasan dari mayat manusia yang mirip primata. Mereka terbahak-bahak mengingat ekspresi Dego ketika dipermainkan tadi. Lelucon malam ini cukup seru bagi para mantan penyadap karet itu.