Pernah belajar fisioterapi dan psikologi.

Bubur Diaduk vs Bubur Tak Diaduk; Memahami Akar Keriuhan Linimasa

kamarul arifin

2 min read

Bahkan orang yang paling berpendidikan sekali pun dapat membuat kesalahan konyol dalam berpikir, sementara yang kurang berpendidikan rentan mengabaikan batas kemampuan mereka sendiri. – Tom Nichols

Hampir setiap hari media sosial selalu riuh dengan perdebatan, terutama di Twitter.  Ada saja isu yang semarak untuk diperdebatkan, mulai dari isu-isu sepele seperti makan bubur diaduk vs makan bubur tidak diaduk atau nasi dimasukkan ke dalam kuah soto vs nasi disiram kuah soto, sampai isu-isu penting seperti isu lingkungan, kekerasan seksual dan kesetaraan gender. Ada juga isu-isu musiman, seperti perdebatan tentang mengucapkan selamat terhadap hari besar umat agama lain, PKI, pemilu, hingga perdebatan politik.

Baca juga Jarimu Beringas, Fantasimu Norak

Perdebatan di media sosial ini selalu ramai, sebab setiap orang merasa memiliki hak untuk bersuara. Mereka merasa setara padahal secara keilmuan tentu tidak demikian. Selain itu manusia secara umum memang memiliki naluri narsistik, yang membuat mereka merasa penting dan memperkuat keinginan agar pendapatnya didengarkan serta diperhatikan oleh orang banyak, dan dalam hal ini media sosial adalah tempat penyaluran yang paling tepat.

Naluri narsistik juga membuat netizen merasa dirinya sebagai pakar, sehingga pantas dan memiliki kapasitas untuk bersuara meskipun mereka tidak memiliki keilmuan dalam hal tersebut. Padahal menurut Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise, untuk bisa disebut sebagai pakar, seseorang harus memenuhi beberapa syarat. Pertama orang tersebut harus menempuh pendidikan formal. Yang kedua, memiliki pengalaman di bidang tersebut, dan yang ketiga mendapat pengakuan dari teman sejawat bahwa dia memang mengusai (ahli) dalam bidang tersebut. Jadi bukan sekadar ngoceh berdasarkan asumsi pribadi.

Perilaku netizen yang sok tau ini semakin menjadi-jadi seiring kemajuan internet yang menyebabkan banjir informasi namun tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang baik. Banjir informasi di internet ini yang membuat para netizen merasa setara dengan para ahli (pakar). Dengan mengandalkan hasil googling atau referensi dari Wikipedia atau video youtube mereka merasa sudah mengetahui dan menguasai banyak hal. Padahal tidak semua informasi yang bertebaran di internet adalah informasi yang benar. Di internet berlaku hukum Sturgeon, yaitu sembilan puluh persen dari segalanya adalah sampah.

Pakar Menyesatkan

Kecenderungan netizen yang hanya ingin mendengar, membaca, atau mengikuti pendapat yang sesuai dengan kepala mereka, serta menolak semua hal yang tidak sesuai dengan kepala mereka membuat mereka terjebak dalam echo chambers. Hal ini pula lah yang membuat netizen semakin keras berteriak tanpa benar-benar tahu apa yang mereka teriakkan. Sebab mereka sudah tidak lagi menghiraukan alternatif lain.

Penyumbang keriuhan dalam perdebatan di media sosial berikutnya adalah para influencer atau public figure. Mereka yang memiliki popularitas tinggi kemudian ikut berkomentar terhadap isu tertentu lebih didengar oleh netizen, daripada pendapat seorang pakar,  padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni. Hal ini membuat para pakar kehilangan peran, akibatnya informasi yang tersebar dan dipercaya oleh mayoritas netizen adalah informasi yang salah atau minimal lebih banyak salahnya dari pada benarnya.

Media arus utama, baik cetak (koran, majalah) maupun elektronik (televisi) dan media online turut memberi sumbangsih dalam memperpanas perdebatan di media sosial.

Media massa kini cenderung menyampaikan informasi sesuai dengan keinginan pembaca atau penontonnya. Bukan berdasarkan berita itu benar-benar valid dan sudah dikonfirmasi kebenarannya. Banyak juga berita sampah yang dimuat oleh media mainstream, seperti artis A tidak bisa mengupas salak, yang akhirnya menjadi makanan lezat bagi netizen yang punya banyak waktu luang alias tidak ada kerjaan.

Tak hanya netizen dan influencer atau public figure, mereka yang disebut pakar juga bisa turut campur memperparah bahkan memulai keriuhan di media sosial. Pakar yang ikut mengomentari hal-hal yang di luar kepakarannya alias terkena dunning kruger effect juga sering menjadi penyebab kekacauan di media sosial. Dan hal ini memiliki efek yang lebih parah lagi. Sebab kesalahan satu pakar akan membuat netizen tidak punya kepercayaan lagi terhadap pakar lainnya.

Ada komentar menarik dari Tom Nichols, ”Satu alasan mendasar mengapa para pakar dan orang awam saling menyusahkan, sebab mereka semua manusia. Dengan demikian, mereka semua memiliki masalah yang sama dalam hal menyerap dan menafsirkan informasi. Bahkan orang yang paling berpendidikan sekali pun dapat membuat kesalahan konyol dalam berpikir, sementara yang kurang berpendidikan rentan mengabaikan batas kemampuan mereka sendiri. Baik awam maupun pakar otaknya sama-sama bekerja (atau kadang sama-sama tidak bekerja) dengan cara yang sama: kita mendengan yang ingin kita dengar, dan menolak fakta yang tidak kita sukai.”

kamarul arifin
kamarul arifin Pernah belajar fisioterapi dan psikologi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email