Bu Megawati: Si Paling Paham Masalah Perempuan Indonesia

Anisah Meidayanti

2 min read

Tidak semua perempuan Indonesia bisa seperti Megawati: memiliki 15 gelar honoris causa, apabila sedang hamil bisa makan makanan yang bergizi agar si jabang bayi yang dikandung tidak stunting, serta punya banyak opsi untuk terus merasa aman, tentram, dan sejahtera agar siap lahir batin dan tidak cengeng ketika hamil. Bu Mega memang keren, pernah menjadi presiden dan kini menjadi ketua umum salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Tak semua perempuan bisa sepertinya. Memang betul hanya dia. Mungkin nanti ada, tapi ya, keturunannya.

Ada banyak penyebab mengapa sedikit sekali perempuan di Indonesia yang memiliki gelar honoris causa. Boro-boro satu gelar, punya kesempatan bisa belajar di sekolah saja, syukur. Anak perempuan di Indonesia cenderung berisiko putus sekolah. Penyebabnya tak hanya karena masalah finansial, anak perempuan yang putus sekolah juga menghadapi beban dan peran gender yang berkaitan dengan urusan domestik sejak kecil. Hal ini membuat mereka tak punya banyak pilihan.

Minimnya partisipasi perempuan dalam pendidikan membuat mereka terperangkap. Perempuan hanya akan terus berputar pada urusan-urusan domestik dan tak memiliki ragam keterampilan. Ada banyak kasus perempuan putus sekolah, tak lanjut kuliah, dan memilih menikah atau bekerja dengan gaji yang mungkin jumlahnya setara dengan tiket pesawat eksekutif rute perjalanan Jakarta-Bali. Itu pun harus dibagi-bagi lagi untuk kebutuhan satu keluarga, untuk dirinya sendiri paling hanya berapa.

Lalu, berlanjut soal stunting. Tak semua perempuan di Indonesia punya akses untuk makan makanan bergizi seperti yang Ibu Mega ingin. Apalagi berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan RI, penyebab tingginya angka stunting pada bayi adalah rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan mineral dan vitamin, serta buruknya keragaman pangan dari protein hewani. Ibu dan teman-teman politik Ibu juga harus memahami keterbatasan akses layanan kesehatan, terutama bagi ibu hamil.

Dalam acara percepatan penurunan stunting oleh BKKBN di Jakarta beberapa hari yang lalu, Bu Mega bercerita perihal pengalamannya saat mengandung. Dalam ceritanya, beliau memohon kepada ibu-ibu untuk tidak cengeng saat hamil. Sebab berdasarkan pengalamannya saat hamil dulu, ia siap lahir batin untuk menghadapi segala tantangan kehamilan. 

Ketika hamil, perempuan Indonesia banyak menemui tantangan. Tidak hanya secara biologis, tetapi juga psikologis. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), di negara berkembang, 10-50% ibu yang mengalami masa perinatal (saat hamil hingga setahun pasca melahirkan) mengalami depresi. Sosialisasi hingga fasilitas kesehatan mental yang disediakan oleh pemerintah pun masih sangat jarang. Kalau pun ada, sistemnya banyak menemui kendala, baik kurangnya SDM maupun tidak optimalnya konsultasi karena beragam keterbatasan.

Baca juga:

Politikus Perempuan dan Kompetensinya

Tak disangka, seorang pejabat politik perempuan yang memiliki peran, status, dan posisi yang strategis dan vokal bisa mengemukakan pernyataan yang tidak memahami dan empati kepada perempuan. Sebagai tokoh sentral perempuan dalam politik, seharusnya Megawati Soekarnoputri menjadi teladan bagaimana seorang politikus perempuan membangun citra, profesionalitas, dan kredibilitasnya. Membangun citra politik tentu tak lepas dari pola komunikasi interpersonal yang selama ini dibangun antara pejabat dan rakyat. Akhir-akhir ini, Bu Mega selalu membuat pernyataan yang nirempati dan tidak berpihak kepada perempuan. 

Dalam jurnal Kompetensi Komunikasi Politik Politisi Perempuan Jawa Timur, ada empat dimensi yang bisa digunakan untuk mengukur kompetensi komunikasi politik. Bagi perempuan, kompetensi ini diperlukan untuk menunjukkan eksistensi dan profesionalisme bahwa mereka mampu dan kompeten untuk terjun di dunia politik. Empat dimensi itu antara lain kepercayaan diri, pengetahuan, adaptasi, dan empati.

Kepercayaan sebagai kompetensi dibutuhkan karena dominasi laki-laki dalam dunia politik membuat banyak politisi perempuan merasa tidak percaya diri. Dalam isu yang didominasi politisi laki-laki seperti hukum, ekonomi dan bisnis, atau militer tak banyak atau bahkan tak ada politisi perempuan yang membicarakannya.

Pengetahuan sebagai dasar dan modal untuk terjun di dunia politik juga dibutuhkan, sebab nantinya perempuan akan beradaptasi dengan situasi politik, juga dengan para kolega pejabat serta masyarakat yang beragam. 

Terakhir, yang juga sangat dibutuhkan adalah empati. Empati dipahami sebagai cara untuk melakukan sesuatu untuk orang lain dengan menggunakan cara berpikir dari orang lain tersebut, yang menurut orang lain itu benar dan adil. Perasaan empati inilah yang membuat segala proses adaptasi untuk membangun interaksi dengan segala lapisan masyarakat berjalan baik.

Kompetensi tidak selamanya berkaitan dengan lamanya masa jabatan. Ada dimensi lain yang lebih krusial dan akan membawa politikus tersebut dikenal sebagai orang yang kompeten dan berpengaruh secara jangka panjang. Bukan personalnya saja yang akan dinilai, melainkan secara keseluruhan sampai ke partai politik yang diketuainya. Dan yang lebih penting juga adalah para perempuan yang berjuang melawan stigma dalam ranah politik.

Kalau hanya modal melarang ini itu, menyuruh ini itu, dan harus ini itu, dengan segala hormat, semua orang juga bisa, Bu. 

 

Editor: Prihandini N

Anisah Meidayanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email