Boneka Terbakar

Jon Gareng

11 min read

2112-11… 

2112 masuk… 

2112 jaya 65. Kirim semua unit. Jalan Danau Bintong nomor 78, Klirang. Belakang Plaza Rungkat. Objek kebakaran pabrik mainan… 

2112 terima…

Suara radio HT itu serak terdengar. Iwan berharap posnya tidak ada dalam panggilan. Ini minggu terakhirnya di satuan dan sudah terlampau tipis kewarasannya untuk harus menjejali sisa-sisa malamnya dengan mimpi-mimpi buruk. Berikan dirinya panggilan penyelamatan kucing yang menolak turun dari atas menara jaringan, atau panggilan minta tolong dari ibu-ibu yang anaknya terjebak di sela-sela jeruji pembatas wahana bianglala, ataupun dari sepasang kekasih yang terkunci di dalam gudang dengan tubuh telanjang dan malu yang merajang. Apa pun itu selain panggilan api.

Sudah terlalu banyak dia lihat tangan-tangan hitam bercorak merah daging yang meletek dengan kain baju yang meleleh rekat, menyatu dengan kulit. Teriakan bercampur tangis yang percuma, potongan kaki, aroma logam yang menusuk di udara, juga seonggok boneka terbakar yang ternyata tubuh seorang balita yang terpanggang.

Sudah ratusan malam di mana bayangan-bayangan itu datang dan memaksanya terjaga hingga pagi tiba. Iwan menghentakkan kepalanya ke samping hingga gemeretak tulangnya terdengar. Pandangannya berair menahan kantuk, sementara jemarinya masih sibuk menggunting stiker untuk acara kunjungan ke taman kanak-kanak Sabtu besok. Stiker bertuliskan kata peringatan: Nyala api dalam hati cinta membara, nyala api dalam rumah bisa membuat sengsara orang tercinta. Waspada!! Jangan tinggalkan api sendirian, bisa ngamuk kalau kesepian.

***

“Danau Bintong, ya? Jauh itu kalau mau ngisi air, harus mutar ke anakan sungai Brantas.”

“Iya, Ndan. Dua hydrant juga macet tadi katanya.”

Pak Andik mengempaskan tubuhnya ke sofa, beberapa butir kuaci melesat keluar dari dalam bungkusnya yang dia dekap di depan dada. “Jadi pulang kamu Wan minggu depan?” tanyanya dengan mulut yang masih sibuk menggigit tepian biji bunga matahari.

“Jadi, Ndan.”

“Harus ekstra sabar ngurus orang yang pikunan itu. Ibu mertua saya kan juga gitu, Wan. Kapan hari dia marah-marah nuduh saya ikut-ikutan jadi anggota NICA.”

“NICA?”

“Pasukan Belanda dulu pas zaman-zaman proklamasi,” katanya yang lalu memasang muka serius. “Untung sekarang sudah bukan zaman perjuangan, bisa habis dikejar warga dituduh pengkhianat negara saya.”

Iwan tergelak mendengarnya, sementara Pak Andik sejenak terdiam memandang kulit kuaci kosong yang kini dipelintirnya menggunakan ujung jari. Kembali terlintas kata-kata yang baru saja dia ucapkan, juga bayangan alat-alat pemadam kebakaran yang usang dan berjejer rapi di pojok ruangan.

Alat-alat yang sewaktu-waktu bisa macet, meninggalkan dia dan anak buahnya yang hanya bisa berdoa agar langkah mereka tak tersandung saat berlari menjauh dari kobaran api yang sudah menjambak-jambak.

Proposal pengadaan alat baru sudah sering diajukan, namun surat dari pemerintah kota yang muncul di mejanya hanyalah surat tugas mengikuti upacara hari kemerdekaan. Mereka butuh sirine truk pemadam untuk mengkhidmati peringatan detik-detik proklamasi. Kilau jam tangan mewah di pergelangan tangan Bapak Walikota ditambah gemerlap cincin permata di jari istrinya, juga biasa ikut memeriahkan acara.

Sekarang sudah bukan zaman perjuangan? Heh, mulut babi.

Ingin rasanya Iwan meneruskan umpatan, tapi sudah hampir 24 jam tubuhnya bekerja, terlalu lemah otot jantungnya berkeluh kesah, dan masih terlalu terang kesadarannya untuk berbincang tentang kebodohan.

“Kalau kakek saya kemarin malah lupa sama istrinya sendiri.” Suara Iwan memecah lamunan Pak Andik. “Mana sekarang kalau ngomong sudah kayak Don Juan aja, Ndan. Kapan hari tiba-tiba dia bilang gini ke Nenek: Aku mungkin mengenalmu atau juga tidak, yang aku tahu parasmu seindah lagu, maka terserah jika kamu mau tinggal.”

“Widih udah jadi kakek senja, Wan.”

“Beneran! Kurang nyangking totebag gambar siluet gunung semeru doang, Ndan.”

“Terus nenekmu bilang apa?”

“Nenek digombalin gitu, ya sumringah. Sudah nikah 50 tahunan lebih baru kali ini suaminya jadi romantis. Langsung dimasakin garang asem.” Iwan menelan air ludahnya, bayangan kuah garang asem yang gurih dan pekat itu seketika menarik dinding-dinding mulut dan menggenangkan air liurnya. Minggu depan kalau sudah pulang dia akan langsung minta untuk dibuatkan.

”Tapi baru satu suapan, pujangganya tiba-tiba hilang, Ndan. Kembali jadi suami yang kaku seperti biasanya,” lanjut Iwan menirukan cerita dari neneknya yang menelepon semalam.

Penuh semangat neneknya kemarin mencurahkan isi hatinya, seakan ada kerinduan terhadap romansa yang tak pernah dia rasakan.

Suaminya bukanlah sosok pria yang akan mencium kening istrinya saat pamit berangkat bekerja pada pagi hari. Ajakan untuk menikah saja ia lontarkan dengan nada yang tak jauh beda dengan ajakan makan ketoprak, sama sekali tidak terasa bahwa itu adalah perkara masa depan.

Di tengah ramainya kerumunan orang yang menonton pagelaran wayang di halaman rumah Pak Lurah, bukan bunga mawar dan cincin permata di genggaman tangannya, tapi hanya es gandul plus gula-gula, sungguh saat itu Nenek merasa ajakan itu hanyalah sebuah senda gurau. “Lain kali mau dimasakin oseng-oseng pare saja kata Nenek saya.”

Giliran Pak Andik yang kini terkekeh. “Episode kumat yang bagus itu…”

Iwan ikut terkekeh sebelum kemudian terdiam, senyum hadir di wajahnya. “Iya sih, Ndan. Tapi yang kurang bagus juga banyak kata Nenek saya.”

Pak Andik mengangguk tanda sepakat, “pasti, Wan. Pasti. Mesti banyak sabar kamu nanti, Wan. Ini baktimu, kamu harus kuat.”

“Siap, Ndan. Semoga saya bisa.” Iwan mengangkat telapak tangannya lurus menuju pelipis mata, memberi hormat pada komandan regunya itu.

“Harus bisa!” balas Pak Andik lantang, tangan kanannya ikut naik memberi hormat. “Kalau gagal saya sumpahin pipismu selalu bercabang!”

“Siap laksanakan, Ndan. Kesalahan nol toleransi,” tegas Iwan yang takut kutukan komandannya itu benar-benar kejadian.

Bentukan muka Pak Andik memang lebih cocok sebagai seorang pemabuk, tapi ibadahnya yang tak pernah putus membuat Iwan yakin relasinya dengan malaikat sudahlah sangat erat, proses kurasi doanya bisa lewat jalur orang dalam dan tak usah khawatir soal prosedural.

Beberapa detik prosesi hormat itu berlangsung dengan khidmat sebelum akhirnya kewarasan datang dan meledaklah tawa mereka.

Kakek Iwan terdiagnosis demensia. Sudah sejak satu bulan yang lalu saat neneknya mulai merasa ada yang janggal dari gerak-gerik dan tatapan sang suami. Tiba-tiba mata pria itu akan nampak gelisah—bergerak ke kanan dan ke kiri, seperti tatapan anak kecil yang terpisah dari orangtuanya di tengah-tengah pasar, walau sesaat kemudian rautnya akan kembali tenang seperti sediakala. Namun lambat laun dia juga mulai lupa tentang hal-hal yang baru saja mereka perbincangkan di pagi hari, serta lupa tentang janji untuk tidak merokok kembali.

Dan pada suatu sore saat Sang Nenek bercerita tentang bagaimana kesatuan tempat Iwan bertugas berhasil mendapat penghargaan dari Pak Walikota, Sang Kakek malah melempar tanya, “siapa namanya? Cucu saya juga seorang petugas pemadam kebakaran, mungkin dia kenal.”

***

Suara bel peringatan yang nyaring dan memekik itu tidak pernah membuat Iwan terbiasa. Juga erang mesin truk, derap langkah dan gedoran jantung yang mengikuti setelahnya. Pancaran lampu merah yang berpendar di sudut ruangan dan ujung lorong itu membuatnya yakin jika manusia dan banteng ada dalam satu lajur rantai evolusi. Matanya langsung melek dan gancar, walau semalam hanya dapat jatah tidur setengah jam.

“Danau Bintong, kita lewat Tugu Panca,” kata Iwan sesaat setelah membuka pintu truk, sebelum kemudian menarik tubuh dan meletakkan pantatnya duduk pada kursi di samping pengemudi.

“Siap, Mas Iwan,” Jawab Benjo yang didapuk sebagai sopir untuk tugas kali ini. Baru 3 bulan dia masuk ke kesatuan, namun 6 tahun pengalaman mondar-mandir antar provinsi sebagai pengemudi truk pengangkut cabai membuatnya lebih dari kompeten untuk menjadi penunggang si gajah merah.

Iwan membalikkan tubuhnya, mengintip pada kaca belakang untuk memastikan teman yang lain sudah siap sedia, sebelum kemudian mengacungkan jempolnya pada Benjo yang langsung menginjak pedal gasnya.

Salah satu tuas pada kotak panel hitam yang ada di samping kemudi tak lupa diputarnya searah jarum jam, membangunkan sirine yang langsung merongrong memekakan telinga, mengawal laju kendaraan bongsor yang berlari membelah jalanan kota yang bertumpukan mobil dan sepeda motor di pertengahan siang.

Suara dari radio HT memperingatkan tentang pasokan air yang terhambat, juga angin yang berembus kencang dan bahan yang mudah terbakar membuat personil sulit untuk mendekat.

Setengah jam berlalu dan api masih belum berhasil dilokalisir. Iwan berharap akan mendengar suara Pak Andik—yang melaju duluan menggunakan mobil rescue—keluar dari radio HT dan menyuruh mereka berputar arah kembali ke markas. Namun bangunan demi bangunan yang melintas di kaca jendela truk semakin deras terasa dan semakin pudar pulalah harapannya.

Suara Iwan mengencang pada mikrofon yang dia genggam, meminta kendaraan yang menghalangi laju truk untuk segera minggir dan memberi jalan. Tirai sudah disingkap dan pertunjukkan tak mungkin lagi ditunda, Iwan sadar dia juga harus segera meminggirkan rasa ragu di hatinya dan memberi jalan pada tekad.

Setelah 14 tahun, tentu banyak hal yang akan dia rindukan dari kota ini. Wajah-wajah yang sudah selayak saudara baginya, yang saling melempar ejekan dan senda gurau kala hari memilih untuk tenang, dan saling menyodorkan tangan saat kakimu terperosok celah atap yang jebol dengan lautan api di bawah yang menjilat menerjang. Brotherhood mereka bilang. Namun Iwan sadar bahwa pulang adalah keharusan.

Iwan tak ingin jika suatu saat tiba-tiba datang satu panggilan ke ponselnya, membawa kabar duka dari kampung dan dia tak lagi dapat melakukan apa-apa, hanya bisa merasakan asinnya air yang menetes dan masuk melalui sela bibirnya. Tinggal Nenek dan Kakek yang dia punya, orangtuanya sudah meninggal sebelum dia bisa mengingat, tertimbun tanah longsor menurut cerita.

***

Dari kejauhan asap pekat terlihat menggulung-gulung memenuhi langit. Namun, truk Iwan berbelok menjauh dari pusat api dan menuju sisi utara di mana kebakaran dilaporkan merembet ke arah pemukiman warga.

Pusat komando memerintahkan mereka untuk mengontrol rambatan api dari sisi luar area. Jalan-jalan itu sudah penuh dengan orang-orang yang berusaha menyalurkan air untuk memadamkan api, beberapa terlihat panik, beberapa mengubah paniknya menjadi amarah, beberapa bingung ingin menumpahkan amarahnya kepada siapa, beberapa menghadiahkan amarah itu pada Iwan dan kawan-kawan pemadam kebakaran.

Sisi kota yang luput dari rencana, membuat jalanan ini semakin lama semakin mengecil dan memaksa truk untuk berhenti di depan salah satu gang.

Cepetan woi, lelet amat kerjanya, biasa makan gaji buta ya?

Celoteh itu sekali waktu akan terdengar bagi mereka para petarung api, dari orang-orang yang frustrasi dengan kemalangan yang tanpa diduga-duga datang menimpa diri mereka, yang dengan sekejap meluluhlantakkan harta benda yang dengan susah payah mereka dapatkan, menyisihkan dari pendapatan yang tidak seberapa, atau juga dari hasil menahan lapar dari hari ke hari.

Seberapapun cepat langkahmu menapak, seberapapun panjang selang yang kau tarik, seberapapun payah paru-parumu menarik oksigen yang semakin tipis, kalimat-kalimat tak mengenakkan itu masih akan terdengar.

“Biarkan petugas bekerja jangan diganggu.” Suara warga yang coba membantu terdengar dari tengah kerumunan. Sementara Pak Andik sudah lebih dahulu sampai di lokasi.

Iwan mengencangkan sabuk SCBA-nya hingga tabung di belakang punggung terasa menyatu dengan tubuh, melemparkan satu gulungan selang ke atas bahu dan segera menderapkan kaki masuk ke dalam gang. Jari-jari telunjuk para warga menjadi kompasnya untuk menemukan lokasi di tengah belantara pemukiman itu. Setelah 30 meter dia sejenak berhenti dan menjatuhkan selangnya ke tanah, menyambungkannya dengan selang satu lagi yang selesai ditarik oleh Benjo, sebelum kemudian melajukan langkahnya yang kini secepat detak jantungnya yang berebutan keluar.

“Kos-kosan keluarga 9 kamar. Lantai bawah 5 kamar kanan kiri, lantai atas 4 kamar juga kanan kiri. Akses tangga ada di sisi kanan tengah,” kata Pak Andik yang berdiri membelakangi target bangunan. Asap terlihat menyelinap dari celah pintu dan jendela yang tertutup di balkon lantai dua. “Ada satu warga yang bilang kalau masih ada anak kecil yang terjebak di dalam.”

“Nggak beres itu orangnya pak, nggak usah didengarkan,” sela seorang pria yang sedari tadi memperhatikan dan berdiri di samping mereka. “Ibu itu orang setres,” katanya pada Iwan sambil menunjuk ke arah seseorang yang tengah duduk di tepi jalan. “Semenjak anaknya pergi ke luar negeri dia jadi begitu.”

Hanya seorang wanita tua, mungkin sekitar 60-an tahun, memandang ke arah bangunan yang terbakar dengan tatapan yang kosong. Sesekali dia menoleh ke sekeliling seakan mencari sesuatu. Ingatan akan Sang Kakek tiba-tiba melintas dalam pikiran Iwan. Dia tahu halusinasi dan delusi bukanlah hal yang asing bagi pengidap demensia, seperti halnya Ibu Mertua Pak Andik yang menuduh menantunya itu membelot pada penjajah. Tapi ada perasaan yang mengganggunya.

Bagaimana jika dengan segala kemungkinan dan kebetulan yang bisa terjadi di dunia ini, kita dibawa pada satu kejadian di mana yang dikatakan oleh seseorang dengan demensia itu merupakan kenyataan, bukan ingatan palsu yang dibentuk oleh otaknya, dan betapa tragisnya kemungkinan itu jika tidak ada satu orangpun yang mempercayainya.

Keberadaan seorang pria yang tiba-tiba menyela briefing-nya dengan Pak Andik ini juga mengusik rasa curiganya. Lagaknya seperti memaksa. Kini pria itu meminta agar kita melakukan penyiraman dari luar saja dan tak perlu masuk, terlalu berbahaya ujarnya.

“Wan, jangan gegabah. Kalau ada yang aneh langsung cabut dari situ. Jangan ambil risiko.” Perintah Pak Andik yang melihat perubahan di tatapan Iwan.

Iwan mengangguk. Dia kembali memeriksa ikatan pada helm, sepatu dan tabung oksigennya. Selang air di bawah kakinya mulai mengembang terisi air. Menoleh dia ke arah Benjo dan memberi isyarat untuk masuk.

Sekilas Iwan melirik ke tempat pria itu tadi berdiri, namun dia sudah tak lagi ada di sana. Cetakan ibu jari Benjo yang memukul ke udara menjadi pelatuk tanda untuk mereka memulai serangan.

Menelusuri asap yang merayap di langit-langit rumah itu membawa mereka pada permulaan tangga. Benjo menarik masuk selang air dan meletakkannya melingkar di bawah lantai. Tak mau membuang-buang waktu, Iwan mengambil ujung selang dan bergegas naik menuju ke lantai dua.

Hawa panas yang terasa dari atas kepala mengharuskannya untuk menunduk dan merendahkan posisi tubuh. Semua kamar di lantai ini tertutup rapat. Begitu juga pintu balkon di ujung lorong bagian depan, sedang di ujung yang berlawanan terlihat asap keluar dari dua kamar yang saling berhadapan.

Tak ada teriakan, tak ada juga gedoran pintu yang terdengar. Mungkin anak itu pingsan dan terjebak di salah satu kamar, Iwan menduga. Dia menyuruh Benjo—yang sudah menyusul ke lantai dua—untuk membuka paksa salah satu pintu menggunakan linggis.

Iwan berharap mereka belum terlambat, tapi asap yang mengepul-ngepul keluar dari sela-sela pintu itu membuat napasnya bergetar keluar, mengencang genggamannya pada nozzle selang air.

Pada hantaman kedua Benjo berhasil merusak kunci pintu itu. Asap kekuningan yang memenuhi seisi ruangan menghalangi pandangan mereka. Iwan menarik tuas selangnya, mengarahkan semprotan air itu tepat ke tengah ruangan. Masih tak ada api yang terlihat, hanya asap.

Entah mengapa potongan gambar suatu tempat muncul dalam kepalanya. Lapangan berwarna merah dengan pohon mangga yang menjulang. Pak Andik berdiri di tengah-tengah lapangan itu, wajahnya terlihat serius, ada miniatur rumah di sampingnya yang kini mulai mengeluarkan asap. Saat Iwan akhirnya menyadari mengapa ingatan itu tiba-tiba hadir, semuanya sudah terlambat. Ingatan saat dirinya mengikuti pelatihan saat masih menjadi kadet, di lapangan itulah dulu Pak Andik memberikan penjelasan tentang—

BACKDRAFT

Tubuh Iwan terlempar, menghempas pintu kamar. Mendarat pada tabung oksigen yang ada di punggung. Terhentak, kepalanya terpelanting tak tertahan. Kobaran api merangsek ke sekeliling, tapi tubuh itu tidak bergerak, masker sudah tidak ada di wajahnya. Asap membentang memenuhi udara. Satu suara terdengar memanggil namanya, dia coba untuk membuka mata.

Ciluukk…

Di hadapannya terlihat seorang pria sedang menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya.

Baaaa!!! Kata pria itu kemudian sambil memperlihatkan guratan-guratan pada wajahnya yang terukir dalam. Kumisnya yang tebal meruncing di kedua sudutnya, tatapannya terlihat sayu, terlihat meneduhkan, terasa menenangkan.

Wajah yang tak asing. Iwan menghentikan tangisannya, dia tak lagi ingat kenapa juga dia tadi menangis. Sang pria merasa upayanya berbuah hasil, dia coba untuk kembali mengulang aksinya. Namun, Iwan malah menggeliat, tangannya menggapai-gapai ke atas berusaha melepaskan diri dari kain jarik yang menopang tubuhnya. Seorang wanita melepaskan ikatan kain jarik itu, menurunkan Iwan dari gendongannya dan menaruhnya ke atas kasur.

Sumuk yo le? Kata wanita itu kemudian, rambutnya yang terurai diikatnya ke belakang, lehernya jenjang. Tapi Iwan masih tampak gelisah, tangannya mengayun-ayun ke udara, kakinya meronta-ronta. Aroma helai rambut yang terbakar datang menusuk hidung, kulitnya menjadi kehitaman dan seakan ada ribuan jarum menusuk-nusuk ke sekujur tubuhnya.

Iwan berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema dan mendengung ke seluruh sudut ruangan, tenggorokannya mulai sakit namun dia tetap berteriak.

Hanya asap yang terlihat saat dia membuka mata. Iwan mencoba untuk bangkit, namun seperti ada sapi yang menindih tepat di atas dadanya, menekannya ke bawah, jantungnya serasa dihujam belati. Paru-parunya mengais sisa-sisa oksigen yang masih ada di udara, namun asap itu membuatnya mual, muntah keluar tak tertahan. Isi perut itu masih deras lolos dari mulutnya saat dia mencoba untuk memiringkan tubuh, makanan sarapan menempel di baju dan sarung tangannya.

Tak ada kesempatan untuk beristirahat, Iwan meraba-raba ke lantai untuk mencari selang air, hanya itu satu-satunya benda yang bisa menunjukkannya arah jalan keluar. Jika salah langkah, taruhannya adalah nyawa. Panas api semakin menyengat kulitnya, Iwan menutupi mukanya dengan telapak tangan kiri dan hanya bisa mengintip di antara jemari. Bola matanya seperti direbus setiap kali dia mencoba melihat. Tangan kanannya menemukan satu benda yang memanjang ke atas.

Daun pintu?!

Iwan bergegas menumpukan kaki dan mengangkat tubuhnya untuk beranjak. Dia harus segera mencari Benjo, waktunya tidak banyak. Namun, lututnya tak mau bekerjasama, badannya terhuyung dan ia terjerembab ke depan.

Bukan, mungkin bukan lututnya, tapi kesadarannya yang telah mengkhianatinya. Lagi-lagi dia melihat wajah seseorang muncul di hadapannya, wajah itu juga familiar, seperti baru tadi siang dia melihat wajahnya.

Pak Andik membalikkan tubuh Iwan yang menelungkup di lantai. Mengangkat badan itu dari belakang, sementara Benjo yang memegang bagian kaki. Mereka lalu menggotongnya menuruni tangga, menerobos api yang masih buas menjalar-jalar.

***

Aku tak pernah mengira air yang menyiprat ke wajahku ini akan terasa begitu menyenangkan. Seperti kembali saat masih kecil dulu, berbasah-basah berburu bekicot di tengah hujan.

Biasanya kami berangkat sehabis magrib, bersama tiga kawanku membawa senter dan karung beras, berjalan masuk ke dalam hutan dan menyelidik ke pangkal-pangkal daun talas, mencari binatang berlendir yang biasa berkumpul di antaranya.

Sebagian langsung kami rebus hingga matang, sebelum satu persatu dagingnya kami keluarkan dari cangkang, tak lupa diberi perasan jeruk purut juga sesendok garam.

Rasanya gurih, Ben. Kapan-kapan mampirlah ke tempatku. Akan kuajak kau mengelilingi hutan.

Ben? Benjo! Mengapa kamu menatapku seperti itu? Wajahmu sangat lucu, syukurlah kamu tidak apa-apa, itu tadi sangat menyeramkan bukan? Haha. Tapi lebih seram wajah Pak Andik sekarang, kedua alisnya mengatup erat, sebentar lagi kalau dia tidak waspada bisa muncul tanduk dari keningnya. Berhentilah berteriak-teriak Pak, aku ingin tidur.

***

Suara sirine, tapi aku tahu ini bukanlah truk pemadam, terlalu putih dan terang. Posisiku setengah berbaring, ada selang yang menancap di pergelangan tangan kananku. Aku melihat Benjo duduk di belakang sana, mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu, raut wajahnya masih lucu. Aku ingin tertawa tapi dadaku kembali sakit. Kupanggil dia, entah mengapa suaraku terdengar aneh, seperti terperangkap di dalam botol, tapi tampaknya Benjo bisa menangkap apa yang aku tanyakan. Dia menjawab kalau bangunan itu kosong dan tak ada korban, dia lalu menyuruhku untuk tidak usah khawatir dan beristirahat saja. Syukurlah kalau begitu. Syukurlah.

***

Mungkin ini yang mereka sebut teleportasi. Hanya sejenak aku menutup mata, namun aku sudah berada di tempat yang berbeda lagi. Ada ketukan nada minor yang menggema di ruangan ini, begitu runut dan menghanyutkan.

Aku menduga wanita ini adalah dokter yang menanganiku, sedang dua orang yang berdiri di sampingnya mungkin adalah perawat atau mahasiswa praktik. Terlihat berbeda cara mereka berbicara. Berapa lama aku harus di sini? Tampaknya dokter itu tidak mendengarku. Yah, paling tidak aku tak usah mengkhawatirkan panggilan api lagi, yang lebih kuperhatikan seminggu ke depan adalah tentang bagaimana cara mengganti perban-perban ini.

Aku ingin segera pulang ke rumah, meminta Nenek untuk masak garang asem 100 bungkus, mengajak Kakek bersenda gurau, lalu memeras keringat di ladang. Hasilnya akan aku kirim ke Pasar Sloka. Aku sudah punya kawan di tempat itu, tinggal masuk saja. Membuat kanal Youtube juga sepertinya menarik, tentang eksplorasi alam barangkali. Aku sudah tak sabar. Sebelum pulang aku akan mentraktir Pak Andik dan Benjo, masakan padang atau ikan bakar terserah mereka saja.

Ada dua orang lain yang datang menghampiri dokter itu. Pria dengan guratan wajah yang dalam, juga wanita berleher jenjang. Suara ketukan nada minor tadi berubah ritme, jarak tiap nadanya seperti menjauh.

Oh bukan, kedua orang itu tidak menghampiri dokter, mereka menghampiriku. Aku ingat sekarang, wajah yang selalu terpajang di meja ruang tengah. Aku tak pernah tahu harus memanggil njenengan berdua apa, dalam doaku aku menyebut njenengan Bapak dan Mamak, atau haruskah kupanggil Ibu dan Ayah?

Janganlah hanya tersenyum. Aku sangat serius. Baiklah kalau begitu akan tetap aku panggil Bapak dan Mamak saja. Sudah terlanjur dan terbiasa begitu.

Kenapa harus cepat-cepat pergi? Tapi tak mengapa, akan aku ceritakan pada Kakek dan Nenek saat pulang nanti, terima kasih sudah datang menengok, aku akan sangat merindukan kalian.

Tapi tampaknya aku salah sangka. mereka ke sini bukan untuk menjengukku, tapi untuk menjemputku.

***

Lokasi : ▆▆▆▆▆▆▆, ▆▆▆▆▆▆

Waktu : 13.30 WIB

Korban Sipil (#) : Nihil

Korban Petugas (#) :  1 (Satu)

Keterangan :

 

 

Editor: Ghufroni An’ars

 

Jon Gareng

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email