Upaya sejumlah netizen untuk memboikot produk atau brand yang mendukung Israel menuai pro dan kontra di media sosial. Sekelompok warganet terus menyuarakan pemboikotan atas produk-produk yang berkontribusi dalam pendudukan Israel atas Palestina. Di sisi lain, ada pula yang tidak setuju dan mempertanyakan efektivitas boikot tersebut. Pertanyaan yang sering muncul ialah memangnya boikot dapat langsung memberhentikan genosida?
Dalam artikel The Boycott Puzzle: Consumer Motivations for Purchase Sacrifice (2003), John dan Klein mengemukakan, “Boycotters might believe that their actions will have no impact because they are too small to be noticed.” Artinya, pada setiap aksi boikot, kemunculan pertanyaan terkait efektivitas aksi boikot tersebut memang tak terelakkan.
Baca juga:
Namun, sebelum membicarakan efektivitas, pertama-tama kita perlu tahu terlebih dahulu tujuan boikot. Bhagavad Sambadha, seorang fotografer dan jurnalis yang vokal membicarakan isu kemanusiaan menyatakan pendapatnya dalam sebuah postingan. Menurutnya, boikot adalah bentuk non-violence direct action. Boikot bukanlah ikhtiar instan yang dapat menghentikan kekerasan, melainkan sebuah simbol dalam panjangnya rantai perlawanan.
Seorang penulis, Kalis Mardiasih, juga menyuarakan hal serupa. Lewat postingan Instagram-nya, beliau bercerita tentang pengalaman pribadinya ketika berhenti makan di restoran favorit karena manajemen restoran tidak memberikan apresiasi layak kepada karyawan di sana. Apakah restoran itu serta merta bangkrut? Tidak. Namun, apakah Kalis menyesal? Tidak. Baginya, kemewahan yang kita punya sebagai pihak yang tidak berkuasa adalah menghidupi prinsip. Boikot adalah salah satu caranya.
Boikot, senada dengan apa yang diutarakan oleh Mas Bhaga dan Mbak Kalis, justru pada mulanya bertujuan menumbuhkan kesadaran hingga menggerakkan nurani individu. Di balik upaya untuk mendesak konsumen dalam membeli sesuatu, terkandung nilai-nilai yang sedang diperjuangkan. Kalau tidak mampu menggerakkan satu orang, paling tidak, boikot dapat mengganggu kenyamanan sekitar.
Boikot juga dapat “menggeser” sorotan media. Maurice Schweitzer, seorang profesor di bidang Manajemen Operasi dan Informasi di University of Pennsylvania, mengatakan, “Pada praktiknya, sebagian besar gerakan boikot bertujuan mendapatkan atensi media.” Inilah salah satu instrumen untuk mengukur berhasil atau tidaknya sebuah boikot. “Boikot jarang menjadi faktor utama yang memicu perubahan. Boikot justru meningkatkan kesadaran dan perhatian, bahkan intensitas perasaan terhadap sebuah isu yang dirasakan oleh suatu kelompok,” lanjutnya.
Jika ditilik balik, boikot sudah diterapkan sejak abad ke-14 dan memberikan perubahan positif bagi kelompok yang tidak berkuasa. Di Amerika Serikat, boikot mendorong terciptanya serikat pekerja. Boikot bus di Montgomery pada 1955 bahkan menjadi pangkal untuk gerakan hak-hak sipil modern. Di sinilah kita mulai mengenal Martin Luther King Jr. sebagai salah satu pelopor boikot terhadap isu segregasi rasial.
Banyak contoh boikot lainnya yang berhasil di taraf global. Pada Januari 2021, misalnya, masifnya penggunaan tagar #BanTrumpForDemocracy mendorong platform Twitter untuk membekukan akun Donald Trump. Pada 2019, Brunei membatalkan pemberlakuan hukuman mati bagi mereka yang terbukti melakukan seks anal setelah mendapatkan boikot dari mata dunia. Kemudian, pada 2018, HSBC melakukan divestasi penuh dari Elbit System yang menjual senjata kepada Israel dalam serangan terhadap Palestina. HSBC menerapkan hal tersebut setelah menerima lebih dari 24.000 surel yang meminta pihaknya untuk berhenti berinvestasi kepada Elbit System dan manufaktur senjata lain yang dipasok ke Israel. Di luar tiga contoh tersebut, ada banyak sekali aksi boikot yang juga sukses mendorong “kelas atas” untuk bertindak.
Dengan adanya boikot, orang yang tidak tahu-menahu mungkin akan terpantik untuk mendalami sesuatu. Bermula dari sebuah prinsip, boikot bisa menjadi bahan bakar untuk tekanan massal yang memantik diskusi dan mendorong elit untuk menginisiasi perubahan.
Namun, saya paham ada kegelisahan lain yang menghantui gerakan boikot. Barang dan platform yang kita gunakan saat ini mungkin tidak bisa disubtitusikan.
Apakah produk sampo yang saya gunakan harus saya boikot? Haruskah saya berhenti menggunakan sebuah aplikasi karena keberpihakannya yang berseberangan dengan prinsip saya? Padahal, mata pencaharian saya berhubungan dengan platform tersebut.
Ditambah lagi, selera tidak bisa dipaksakan. Sulit untuk berhenti mengonsumsi makanan atau minuman favorit kita kendati mereka memiliki nilai yang berlawanan dengan pendirian kita. Alhasil, kita memboikot dengan tanggung. Boikot rasanya jadi tidak maksimal, setengah-setengah. Kita menganggap ini sebagai hal yang nifak. Maka, tidak jarang, berhenti mendengarkan suara hati adalah pilihan terbaik: terus mengonsumsi meski terasa ternodai.
Mari ingat kembali bahwa kita adalah konsumen (baca: korban) dalam cengkeraman kapitalisme global. Sebagai entitas yang sering kali kalah dalam banyak aspek kehidupan, barangkali yang bisa kita lakukan untuk melawan adalah berpegang teguh pada akal sehat, empati, dan kemanusiaan. Pintar dan bijaklah dalam memilah serta mencari alternatif.
Dalam upaya memboikot, kita perlu tahu posisi kita: di mana dan untuk siapa kita berdiri serta bersuara? Sadari apa yang dapat kita usahakan sembari eling tentang siapa penjahat kemanusiaan yang sebenarnya.
Editor: Emma Amelia