Penyalin Cahaya, sebuah film yang mengangkat isu kekerasan seksual, pemenang 12 Piala Citra 2021, ternyata ditulis oleh seorang pelaku kekerasan seksual. Sungguh sebuah ironi. Namun, di industri perfilman, kekerasan seksual sesungguhnya bukanlah hal yang asing.
Pada 2020, Mian Tiara, aktor yang juga bermain di Penyalin Cahaya, menulis sebuah utas di Twitter yang menceritakan pengalamannya menjadi korban kekerasan seksual ketika sedang menjalani syuting. Hannah Al Rashid, sesama aktor yang juga aktivis kesetaraan gender menyampaikan dukungannya dan ikut bersuara tentang pengalaman serupa.
Baca juga Penyalin Cahaya dan Dilema Kita
Utas Twitter dari Mian Tiara diikuti dukungan dari banyak sineas hingga memunculkan gerakan sosial secara daring dengan menciptakan tagar #SinematikGakHarusToxic. Tagar ini menjadi simbol sekaligus medium perlawanan terhadap kekerasan seksual di industri perfilman Indonesia.
Hashtag activism atau aktivisme tagar untuk mendukung korban kekerasan seksual dan menuntut keadilan menjadi bentuk perlawanan baru seiring dengan berkembangnya kehidupan di ranah virtual. Sebelum tagar #SinematikGakHarusToxic, tagar #MeToo menggaung di banyak negara sebagai bentuk dukungan pada para korban kekerasan seksual sekaligus mendorong keberanian korban untuk bersuara hingga mendapatkan keadilan. Tagar #MeToo berawal dari kasus Harvey Winstein, produser film Hollywood yang melakukan kekerasan seksual kepada lebih dari 80 perempuan.
Aktivisme tagar juga terlihat dalam kasus Agni yang merupakan korban pelecehan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tagar #KitaAgni dan #NamaBaikKampus hadir sebagai bentuk solidaritas dan mendorong ruang aman bagi perempuan di kampus.
Tagar #1Hari1Oknum dan #PercumaLaporPolisi menjadi suara untuk kasus bullying dan pelecehan seksual pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) oleh rekan kerjanya; perkosaan 3 anak di Luwu Utara oleh ayah kandung; kasus bunuh diri mahasiswa NWR akibat terkena kekerasan dari pacarnya yang merupakan seorang polisi; kekerasan seksual yang dilakukan oleh pengurus pesantren terhadap para santriwatinya; seorang ibu yang menangkap pelaku pelecehan seksual yang menimpa anaknya sendiri karena polisi tidak membantunya.
Baca Editorial: A Twitter National Called Indonesia
Mengandalkan Publik
Buku #HashtagActivism: Networks of Race and Gender Justice oleh Sarah J. Jackson dan rekan-rekannya menunjukkan bagaimana kelompok marjinal, khususnya para penyintas dan perempuan lainnya menggunakan teknologi untuk menciptakan narasi yang membangun kesadaran atas kekerasan berbasis gender.
Media arus utama dianggap gagal untuk dapat meliput kekerasan berbasis gender. Lewat media sosial perempuan membentuk narasi tandingan atau counter-narrative dan membangun koneksi untuk dapat terlibat dalam memperluas debat publik mengenai isu kekerasan seksual.
Partisipasi perempuan di media sosial membuat kita dapat menemukan berbagai macam opini soal isu kekerasan seksual di ruang publik virtual kita. Di era digitalisasi informasi, publik dapat menjadi subjek aktif untuk dapat membentuk wacana.
Hasil survei daring yang dilakukan oleh Lentera Sintras Indonesia, media daring Magdalene, dan Change.org pada 2016 menunjukkan terdapat 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya. Hal ini terjadi karena korban takut serta sulitnya membuktikan kasus. Hasil survei ini menggambarkan kondisi nyata di Indonesia bahkan terus relevan hingga hari ini.
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang akhirnya viral di media sosial selalu dilatarbelakangi oleh keputusasaan para korban untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum. Tagar berupa #1Hari1Oknum dan #PercumaLaporPolisi muncul karena publik menilai aparat negara gagal dalam mengurus kasus kekerasan seksual.
Baca Editorial: No Use of Filing Police Report? How Indonesian Police Keep Siding with Sexual Predators
Melalui tagar, kita dapat melihat bagaimana ruang publik menjalankan tugasnya sebagai mediator antara state atau negara dengan publik seperti yang digambarkan Jürgen Habermas. Kebobrokan para aparat negara kita terpampang bertubi-tubi sehingga publik mendorong aparat untuk dapat mereformasi lembaganya.
Persamaan dari semua kasus ini terletak pada rendahnya pelayanan polisi dan penegak hukum dalam mengurus kasus kekerasan seksual. Korban-korban telah diabaikan oleh aparat negara kita. Bahkan, di beberapa kasus, polisi adalah pelaku kekerasan seksual itu sendiri.
Meski demikian, semua upaya yang dilakukan korban maupun dukungan dari publik yang dilakukan secara daring tak menjamin bahwa keadilan akan bisa terwujud. Apalagi ketika polisi dan penegak hukum adalah bagian dari pelaku itu sendiri.
Baca juga: Gagal Mencari Keadilan lewat Cuitan
Negara juga belum bisa memberikan ruang aman dari kekerasan seksual kepada masyarakat. Apalagi hingga saat ini RUU Perlindungan Kekerasan Seksual belum disahkan dan UU ITE terus digunakan untuk membungkam laporan korban.
Masyarakat semakin perlu menjadi subjek aktif untuk dapat mewujudkan keadilan bagi para korban. Meski belum menjamin terwujudnya keadilan, aktivisme tagar dan seruan No Viral No Justice menjadi upaya publik dalam membantu korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan.
No Viral No Justice menegaskan bahwa bagi publik, untuk mendapatkan keadilan tidak ada yang bisa diandalkan selain dorongan yang berasal dari publik sendiri.