Berita Dua Hari Lalu

Muhammad Rashief Fawaz

4 min read

“Katanya Mas Mada ikut nyalon DPR!”

Selentingan itu serta merta membuat siapapun menoleh. Joko baru datang dan tergopoh masuk saat cahaya siang membakar halaman KUA. Motor bututnya disimpan di bawah pohon mangga begitu saja. Dia memiliki informasi yang lebih penting tentang Mas Mada.

Mas Mada. Semacam ketertarikan ganjil selalu muncul ketika nama itu disebut. Apalagi di masa-masa panas menjelang pemilu setahun lagi. Pendatang baru bermunculan, nama-nama asing mendadak beradu citra, baik di bahu jalan maupun di pengajian-pengajian. Mas Mada bukan orang baru, semua orang mengenalnya, hanya saja tidak seorangpun mengira ia akan turut turun gunung menjajal pemilu.

Orang-orang di kantor segera mengangkat pantat serentak merubung Joko, si penyeletuk berita itu. Beberapa melongok dari kubikel, mencoba meraih suara di tengah kesibukan masing-masing. Di sisi lain beberapa orang tampak tidak peduli. Masa bodo pemilu tahun depan.

“Sudah, sudah. Kembali bekerja.” Sela Pak Riyanto terhadap kerumunan dari kubikelnya. “Kalau mau mengobrol, nanti sepulang kantor.” Sambungnya dengan jengkel.

Suara ketikan mengeras, Pak Riyanto menunjukkan ketidaksukaannya dengan jelas. Joko meringis. Ia segera menyelesaikan urusannya dan pergi diiringi tatapan tajam Pak Riyanto. Selayaknya memang pegawai pemerintah menjauhkan diri dari omongan politik, lanjut Pak Riyanto pada orang-orang. Dari dapur, diam-diam Iyan turut mengamini.

Kabar Mas Mada ikut mencalonkan diri untuk pemilu tahun depan sebenarnya bukan cerita baru. Dua hari yang lalu—bertepatan pasaran pon saat pasar menjadi sangat ramai—Iyan mendengar kabar keluar dari mulut-mulut pedagang sayur Lemahbang. Segera semuanya menjadi heboh, meskipun isu itu belum sampai berdengung sepasukan tawon. Setidaknya di kalangan santri alumni Pondok Lemahbang.

Iyan keluar dari dapur membawa boks-boks katering makan siang, program Pak Husein kepala kantor yang baru, membaginya kepada pegawai satu-satu. Di dalam hatinya ia mencela orang-orang rumpi barusan dengan muak. Mereka tidak sepenuhnya salah, hanya saja bertepatan hatinya mengeras karena topik itu.

Iyan tidak menyukai bagaimana orang-orang merangkak mencari dukungan, malam harinya mendadak menjadi manusia suci duduk di hadapan jamaah pengajian, di siang harinya sibuk menyawer biduan kaum abangan. Orang menjadi begitu busuk, bahkan yang paling alim berubah menjadi pengkhianat.

Ia tidak pernah berpikir bahwa tokoh junjungannya akan dikhianati sedemikian kejam. Parahnya lagi adalah bahwa kali ini yang menjadi karakter pengkhianat itu berasal dari keluarga Abah Kyai.

“Yang sabar, Yan.” Suara Kyai Syuaib dua hari yang lalu bahkan masih terngiang di telinganya.

Kalau bukan gurunya yang menenangkan pagi itu, Iyan sudah menggugat ke Ndalem Lemahbang, kediaman keluarga Abah Kyai. Diam lirih, Iyan mengulang istighfar berkali-kali.

Sepulang dari kantor Iyan menyempatkan salat asar di masjid. Waktu jamaah sudah berlalu, masjid sepi. Ia terkejut menemukan Kyai Syuaib masih berada di mihrab pengimaman. Sinar matahari sore menyiramnya dari kaca patri. Tubuhnya begitu tua, membungkuk dengan tasbih di jemari tangan.

Bukan tanpa alasan. Kyai Syuaib tampaknya belum dapat menerima apa yang terjadi dua hari yang lalu. Berkali-kali ia berusaha mencari hikmah dari kejadian itu; berkali-kali pula dadanya kembali terasa sakit. Berbagai wirid ia bisikkan, tetapi hatinya masih gundah. Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, Gusti, panjenengan lebih mengetahui. Terus-menerus, berharap mantra itu menyembuhkan rasa kecewa dan kebingungannya.

Ingatan Kyai Syuaib kembali pada kejadian dua hari yang lalu, ketika berita itu sampai ke kediamannya. Seorang santri Lemahbang datang tergopoh mengetuk pintu rumah saat hari masih gelap gulita. Pagi buta, bahkan tarhim belum digaungkan. Santri itu datang dengan wajah gelisah.

“Ngapunten, Kyai. Saya membawa berita.” Ia menyampaikannya dengan terburu. Santri itu datang sendiri. Mata merahnya mengatakan semalaman ia belum tidur. Ia memandang Kyai Syuaib dengan wajah pias, suatu hal buruk telah terjadi. Kyai Syuaib menyuruhnya masuk.

“Minum dulu.” Segelas teh hangat disajikan; berita penting segera disampaikan. Segera setelah tandas, santri itu langsung kembali ke Lemahbang. Meninggalkan Kyai Syuaib yang termangu oleh rasa terkejut dan tidak percaya. Kyai Syuaib meraba dadanya yang mendadak diisi rasa pedih tak berkesudahan.

Berita buruk itu adalah mengenai Syarqowi. Seorang guru madrasah yang tinggal tidak jauh dari Pondok Lemahbang. Seorang yang baik. Ia ramah dan terkenal ikhlas dalam kesehariannya sebagai guru. Sebelumnya ia pernah ditawari untuk mengajar di sekolah negeri dan dijanjikan akan diangkat menjadi PNS. Namun ia tetap memilih mengajar di madrasah pondok dengan bayaran tidak seberapa. Toh ia juga memiliki beberapa sawah dan lumbung yang dikerjakan orang-orang bayaran. Rumahnya berkeramik, pertanda ia termasuk kalangan berkecukupan.

Selain itu Syarqowi juga aktif di organisasi Jam’iyyah. Ia memang terkenal senang berada di sekitar kyai-kyai. Pribadinya yang lurus dan jujur disenangi banyak orang. Itu juga yang akhirnya membawa orang penting dari kabupaten sowan ke rumahnya beberapa bulan yang lalu. Tak berselang lama dari kunjungan itu tersiar kabar Syarqowi mencalonkan diri menjadi DPRD kabupaten untuk pemilu tahun depan.

“Katanya, koe mencalonkan diri, Le?” tanya Kyai Syuaib saat itu.

Syarqowi menjawab dengan tersenyum, “Mohon doanya, Kyai.”

“Sudah sowan ke Ndalem Lemahbang?” memang sudah menjadi keharusan bagi santri untuk berkunjung ke ndalem, untuk meminta pertimbangan dan memohon doa restu. Apalagi untuk keputusan penting seperti ini.

Syarqowi mengangguk. “Sudah, Kyai. Abah sendiri juga merekomendasikan.”

Kyai Syuaib bersyukur. Ia juga merupakan murid langsung Abah Kyai di Pondok Lemahbang sebelum akhirnya lulus dan menetap sebagai takmir Masjid Gedhe. Baginya, kerelaan guru adalah segalanya.

Semua berjalan amat lancar. Masyarakat menyambut keputusan Syarqowi dengan senang hati. Syarqowi mulai berkampanye kecil-kecilan dengan menghadiri acara-acara di kota kecamatan. Kyai Syuaib juga turut mendampingi di beberapa kesempatan. Ia bahkan juga turut menyumbang untuk membantu pendanaan kampanye Syarqowi. Walau berkali-kali pula Syarqowi menolak uang itu. Harapan baik menyertai Syarqowi baik dari Kyai Syuaib sendiri maupun dari masyarakat. Kyai Syuaib mengharapkan Syarqowi benar-benar menang di pemilu. Setidaknya ia bisa menyalurkan aspirasi orang-orang Jam’iyyah.

Sampai dua hari yang lalu, disampaikan dengan ringkas dan risau, berita itu datang menyengat telinga Kyai Syuaib. “Mas Mada mencalonkan diri.” Seketika itu langit menjadi gelap.

Mas Mada adalah putra pertama Abah Kyai, pewaris tahta kepemimpinan Pondok Lemahbang. Ia adalah dosen mahad aly, semacam universitas milik pondok, dan kerap diundang mengisi ceramah di sana sini. Walaupun demikian ia sejatinya adalah seorang yang tertutup. Pribadinya pendiam dan lebih suka membaca kitab untuk dirinya sendiri, demikian Kyai Syuaib mengenal Mas Mada sebagai muridnya sendiri.

Kegiatan Mas Mada mayoritas diatur sendiri oleh Abah Kyai. Bukan sebab dorongan diri sendiri. Bahkan konon demikian sudah berawal semenjak ia mengenyam bangku sekolah menengah, hingga perkuliahannya di timur tengah. Bukan hal yang aneh bila Abah Kyai menekan Mas Mada, mengingat ia akan menjadi pimpinan pondok selanjutnya. Hal seperti itu juga telah lumrah berlaku di kebanyakan keluarga trah kyai. Namun tentu saja orang-orang tidak menyangka Mas Mada juga akan mencalonkan diri, di samping Syarqowi.

Sehingga dapat ditebak bahwa Mas Mada mencalonkan diri bukan kehendak pribadi melainkan arahan dari Abah Kyai. Mengingat ia juga merupakan murid Syarqowi, sudah barang tentu ia tidak akan sampai hati mengkhianati gurunya sendiri. Sungguh, tidak ada yang menyangka, bahkan dari kalangan Ndalem Lemahbang sendiri.

Berita itu sontak membuat banyak orang tersulut dan meratap. Demikian pula Iyan, murid terdekat Syarqowi yang bekerja di KUA. Pagi itu ia tergesa mendatangi Kyai Syuaib dengan tubuh bergetar. Ia baru pulang dari pasar subuh mengantar istrinya berbelanja. Ia mengadu, meminta penjelasan.

“Assalamualaikum, Kyai.” Suaranya bergetar antara kalut dan marah.

“Waalaikumussalam warahmatullah.” Jawab Kyai Syuaib dengan suara parau. Mereka mengambil tempat duduk di beranda masjid. Memberi isyarat pada Malik untuk membuatkan dua cangkir teh hangat dan menyuguhkan camilan seadanya. Ia tahu Iyan pasti berada di kondisi yang bisa mengamuk kapan saja. Namun sungguh, mau bagaimanapun ia berusaha menenangkan Iyan, kata-kata begitu kelu untuk dikeluarkan.

Kyai Syuaib sendiri belum tuntas menenangkan dirinya. Napasnya kian berat membayangkan keadaan Syarqowi.

Kyai Syuaib menghela napas berat, “Bagaimanapun juga, Mas Mada itu gusmu, Yan.” Yai syuaib melanjutkan pembicaraan dengan suara tercekat.

“Dia putra kyaimu. Putra guruku juga.” Suaranya bergetar. Ia mengingatkan bakti abadi yang ia tanggung, bakti yang ditanggung oleh mereka berdua dan seluruh santri Lemahbang. Kyai Syuaib merasakan tenggorokannya tercekat.

“Tapi apakah benar mengkhianati Pak Syarqowi, Kyai?” Iyan menggugat Kyai Syuaib. Tangannya mengepal di ujung lutut. Suaranya getir penuh dendam. Air matanya perlahan mengalir. Kebenciannya menggumpal.

Kyai Syuaib mendongakkan kepala, berusaha mencegah air mata yang nyaris jatuh. Berusaha mengenyahkan segala buruk sangka. Abah Kyai tentu telah mempertimbangkan semuanya, seharusnya demikian. Tentu saja tidak ada kepentingan pribadi di sini. Semuanya adalah demi kemaslahatan umat. Seharusnya demikian, Kyai Syuaib berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Kyai Syuaib memandang jalanan dengan sayu. Hatinya bergemuruh, pikirannya begitu berat dan penuh. Prasangka berputar-putar, lalu bergelayut seperti awan gulita malam. Sepanjang ia hidup mungkin baru kali ini perkara duniawi memukulnya begitu keras. Matanya berair, “Gusti, panjenengan lebih mengetahui.”

Tuhan lebih mengetahui.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Muhammad Rashief Fawaz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email