Menulis untuk ada

Berbondong-bondong Menuju Metaverse

heri purwoko

3 min read

Seni dan teknologi berjalan paralel, tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Jules Verne (1850-1905), seorang novelis Perancis, membuat karya-karya yang bahkan dari judulnya saja sudah memantik teknologi yang muncul di masa yang akan datang, seperti 20,000 Leagues Under The Sea (1870), Around The World In 80 Days (1872), Journey to The Center of The Earth (1864), From The Earth to The Moon (1865), dan In The Year 2889 (1889, cerita pendek yang diteruskan anaknya, Michel Verne). Dari karya-karyanya, kita bisa menemukan bahwa Verne sudah memprediksi masa depan dengan adanya mobil terbang, konferensi video, estimasi batas hidup manusia di usia sekitar 68 tahun, ditemukannya planet-planet baru, hingga cyronics.

Konsep Metaverse yang kini tiba-tiba menjadi tren pembicaraan bahkan diucapkan Presiden Jokowi dalam pidatonya, sesungguhnya dicetuskan Neal Stephenson dalam novelnya Snow Crash (1992). Dalam novel tersebut, Stephenson sudah memprediksi sebuah dunia virtual masa depan, di mana relasi antar-manusia dan segala jenis aktivitas dilakukan di alam virtual Metaverse.

Selain di bidang sastra, jauh sebelumnya ada Leonardo da Vinci (1452-1519), seorang polimatik. Ingat Leonardo, tentu ingat juga dengan lukisan Monalisa dan sketsa Vitruvian Man. Tidak hanya karya seni lukisnya, berbagai catatan, ekspresimen, dan sketsa Leonardo membuktikan bahwa ia mumpuni di ranah teknik sipil, kimia, geologi, hidrodinamika, matematika, optik, dan zoologi. Dalam sketsa-sketsa tersebut misalnya, Leonardo menorehkan idenya terkait dengan alat dan teknologi yang dibutuhkan manusia di masa depan, seperti parasut, helikopter, kalkulator, hingga solar panel. Dari Verne dan Leonardo, banyak orang kemudian terpicu untuk melakukan eksplorasi teknis dan kemungkinan menghadirkan masa depan menjadi kenyataan.

Melalui buku The Age of Intelligent Machines (1990), Ray Kurzweil menyebut bahwa teknologi akan berkembang pesat dalam satu dekade berikutnya. Artificial intelligence atau kecerdasan buatan akan membantu manusia dalam banyak hal, lebih jauh dari itu bahkan bisa menandingi dan mengalahkan manusia. Kurzweil mengklaim bahwa 86% dari prediksinya akan akurat, seperti misalnya di tahun 2000, manusia akan dikalahkan dalam pertandingan catur. Siapa sangka kemudian Garry Kasparov, juara dunia catur, benar-benar dikalahkan oleh program bernama Deep Blue dalam suatu pertandingan catur pada tahun 1997. Sedikit meleset dari prediksi Kurzweil, meleset maju tiga tahun.

Teknologi yang terus bergerak maju secara progesif ini melahirkan banyak perenungan, konsep, dan juga aplikasi yang tidak sedikit. Sastra, musik, film, pertunjukan, hingga seni rupa telah menjadi ladang subur untuk memberi ruang bagi teknologi masa depan untuk unjuk cerita.

Dalam film, kita tentu sudah melihat bagaimana Metropolis (1927) menggambarkan masa depan di tahun 2000 dengan kecanggihan teknologi, sentuhan mistik, dan nuansa distopia. Sementara di Modern Times (1936) kita diperlihatkan bagaimana robot mulai mengambil peran dalam proses produksi dan permudah aktifitas manusia, serta cctv yang hadir di setiap penjuru pabrik untuk mengontrol para pegawainya. Dari dua film ini saja kita bisa melihat betapa rentannya teknologi. Hubungan antara manusia dengan kecerdasan buatan juga secara tidak langsung menjadi isu yang penting untuk terus mendapatkan perhatian.

Baca juga Kolaborasi Manusia dan Mesin

Minority Report (2002) menampilkan teknologi sebagai ancaman. Cerita yang berlatar di tahun 2054 ini menampilkan retina-scanner, personalized advertising, dan multi-touch interfaces yang tentu kini sudah banyak digunakan. Kehadiran pre-cogs atau pemrediksi kejahatan yang menjadi titik penting di film ini kemudian menjadi hal yang sangat mengusik privasi dan cenderung melanggar misteri alam. Bagaimana tidak, kejahatan diprediksi dan pelakunya ditangkap sebelum ia melakukan kejahatan tersebut.

Dalam I, Robot (2004), Del Spooner harus mempercayai adanya yang salah dari kehadiran robot humanoid yang ditemukan di tiap lini kehidupan manusia, baik di ranah privat maupun sosial. Ketika kejahatan terjadi, Spooner harus mencari tahu sendiri tentang Sonny, robot yang memiliki perasaan dan secara prinsip telah melanggar aturan. Wall E (2008) juga menghadirkan kecerdasan buatan yang bisa berpikir dan merasa, hingga pada akhirnya memiliki ambisi untuk melampaui manusia secara agresif. Robot-robot soliter yang muncul dalam Wall E sekaligus penanda bahwa kemungkinan kecerdasan buatan ini memiliki kehidupannya sendiri sangat mungkin dan sekali lagi menjadi ancaman yang serius bagi manusia. Tidak perlu berpikir terlalu jauh, kita saat ini sedang mengalaminya. Di era pandemi, sebagian besar manusia melakukan banyak hal dari dalam rumah, dari dalam kamar, dan dari tempat duduknya. Semuanya bisa digapai dengan jari, tanpa perlu bergerak ke sana kemari.

Film-film tersebut tentu adalah sebagian kecil dalam jagat naratif dengan genre science fiction. Pertentangan manusia sebagai protagonis dan kecerdasan buatan sebagai antagonisnya banyak ditemukan dengan pola yang hampir sama. Film-film itu menunjukkan kemungkinan teknologi yang akan berevolusi, sementara manusia akan tertinggal di belakangnya.

Kekaguman terhadap teknologi sudah terlihat sejak awal teknologi itu diberi ruang. Kita dengan mudahnya terpesona akan penemuan roket yang menjelajah angkasa luar, robot-robot di pabrik, aplikasi pinjaman tunai dalam hitungan menit persetujuan, lampu yang memiliki sensor cahaya, atau smartphone yang bisa memicu revolusi. Atas dasar edukasi, hiburan, dan keterbukaan pikiran, maka kita dengan mudahnya membuat banyak akun, membagikan data pribadi secara sukarela melalui situs penjualan online, media sosial, atau angket-angket pemerintahan, tanpa kita sadari bahwa data dan kode unik numerik menjadi kunci terbukanya banyak pintu.

Baca juga Superhero yang Bertarung, Politik Identitas yang Diusung

Kecerdasan buatan tentu hanya kreasi manusia dan tidak dapat diidentifikasi sebagai makhluk hidup secara biologis. Manusia sebagai pembuat tidak bisa kemudian menyerahkan begitu saja predikat kehidupan pada kecerdasan buatan yang sejatinya berfungsi membantu hal-hal sulit bagi manusia. Di satu sisi, manusia membutuhkan teknologi untuk beradaptasi dan menaklukkan segala keterbatasan. Di sisi lain, ada juga yang sedang bergerak dan mengalami evolusi menjadi kehidupan yang baru. Terlepas dari segala kemungkinan, kita sebenarnya sama-sama mengamini bahwa masa depan adalah ruang bagi segala yang hidup.

***

Depok, 21 Desember 2021

heri purwoko
heri purwoko Menulis untuk ada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email