Redaksi Omong-Omong

Benang Merah Sang Tuan

Prihandini N R

5 min read

Tak ada yang punya kuasa mematahkan perisai tak kasat mata yang melindungi konsentrasi sang Tuan. Tak pula rasa ingin kencing atau dahaga berani meruntuhkan fokusnya. Detak jantung dan deru napasnya bahkan bekerja sehalus mungkin takut memutus keseriusan panjangnya. Sudah hampir empat jam ia duduk tanpa banyak bergerak untuk sekadar merentangkan badannya yang nyaris selalu membungkuk. Matanya memerah di balik kacamatanya. Dia bahkan belum beranjak dari kursinya hanya untuk mengambil camilan di dapur atau pergi ke toilet.

Sebenarnya sang Tuan tak betul-betul butuh camilan karena sudah ada setumpuk kaleng bir dan rokok teronggok di sekeliling meja kerja dan lantai. Kaleng keenam hampir habis dan bungkus rokok ketiga sisa beberapa batang. Tak ada tanda-tanda ia ingin ke toilet atau ia memang sengaja menahannya, yang mana ia paham betul menahan urinnya terlalu lama bisa membuat kandung kemihnya bengkak.

Persetan dengan kandung kemihnya, sang Tuan hanya ingin melanjutkan benang merah yang sedang diuntainya lewat kata-kata. Merangkai alur dan menentukan nasib figurnya sesukanya, karena dia adalah Tuan kata-kata.

River, laki-laki itu semakin tenggelam dalam tulisan dan pekatnya malam. Matanya semakin terasa perih karena ia enggan menyalakan lampu kamarnya. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu datang dari layar laptopnya. Organ tubuhnya pasti sangat membencinya karena ia sama sekali tak peduli pada kesehatannya. Tinggal menunggu waktu sampai seluruh organnya bersekongkol membunuhnya.

Lagi-lagi ia tak peduli. Dia hanya ingin menangkap kata-kata yang sedang berkerumun di dalam otaknya sebelum mereka terbang dan tak pernah datang lagi.

Terkadang, pria malang itu tak bisa merasakan apa pun. Di waktu lain, ia bisa saja berada dalam euforia dikelilingi perasaan bahagia yang luar biasa. Di sisa waktu lainnya, ia akan berada pada titik paling rendah dalam hidupnya, pada saat itu, sering kali hal-hal buruk terjadi. Dia hilang sadar kemudian mengamuk, memaki, sampai menyakiti dirinya sendiri dan orang lain. Dia tak tahu apa yang salah pada otaknya, mengapa tak ada satu pun dari suasana hatinya dapat ia kendalikan, mengapa emosi aneh itu selalu datang tiba-tiba.

Kemudian suara-suara aneh berteriak di sisi kiri dan kanan lubang telinganya, begitu mekekakkan. Gelombang suara itu kemudian merayap ke otaknya, mencekik saraf-saraf di kepalanya. Kadang pria itu berpikir kepalanya akan meledak. Pria itu sering berteriak sendiri menyuruh suara dalam kepalanya diam. Namun, yang ada suara itu malah mengejeknya.

Pria itu mencoba tidur sepanjang waktu, berharap jika ia memejamkan mata suara itu akan hilang sendirinya.

Suatu ketika, saat pria itu bangun dari tidurnya, tubuhnya terbaring di lantai berkubang dengan darah. Bukan dari dirinya, tapi dari pria tua yang sedang telungkup di kolong meja di dekatnya dengan pisau menancap di punggungnya.

Tak butuh waktu lama sampai polisi datang kemudian memborgol tangan pria malang itu. Polisi lalu menempeleng kepalanya saat ia berusaha menyangkal sangkaan. Dia bahkan tidak tau apa yang terjadi.

Dalam perjalanannya ke kantor polisi, suara-suara itu mengejeknya lagi. Tak ada yang bisa mendengarnya. Hanya dia.

Pembunuh. Kau pembunuh.

Pria yang malang, pikir River. Tetapi ia adalah Tuan dari rangkaian kata yang ditulisnya. Dia bisa menentukan akhir tokoh buatannya semaunya. Beruntung ia bukan Tuan yang kejam. Tak ada cerita buatannya yang berakhir pedih, tetapi juga tak layak disebut bahagia. River hanya membuat tokoh-tokohnya bertahan sampai cerita berakhir.

Tokoh utama novelnya yang pertama adalah seorang mantan tentara yang berhasil bebas dari kecanduan akibat kehilangan rekan-rekannya di medan perang. Novel kedua menceritakan bocah laki-laki yang berhasil lepas dari siksaan ayah kandungnya. Begitu pun novel-novel selanjutnya, mengisahkan kisah-kisah pria malang yang selalu berhasil bertahan dan melanjutkan hidup.

River selalu bisa mengaduk emosi pembaca. Itulah mengapa karyanya begitu dicintai. Wajahnya ada di mana-mana setiap buku terbarunya terbit; di surat kabar, di majalah, di televisi, di internet. Itu dulu. Bertahun-tahun lalu. Sebelum wadah menulis berkembang biak seperti lalat dan menerbitkan cerita-cerita sampah yang bahkan River tak paham apa pesannya. Ah, mungkin ia hanya iri melihat banyak cerita baru bermunculan sementara ia belum bisa menghasilkan apa-apa lagi.

Huruf-huruf bewarna hitam memenuhi layar laptopnya. Lembar demi lembar, bab demi bab. Dia beruntung akhir-akhir ini otaknya bersedia untuk diperas.

Pria malang yang beruntung. Dia beruntung karena kegilaannya. Hakim membebaskannya karena bukti menunjukkan dia mengidap sakit jiwa.

Dalam waktu dekat, ia akan dibawa ke pusat rehabilitasi. Petugas yang profesional akan membantunya, obat-obatan bisa me

Ketikan River terhenti di udara saat ponselnya berdering. Nama perempuan yang tak ingin ia dengar suaranya muncul di layar. Alih-alih menonaktifkan benda itu, ia justru mengangkatnya.

“Aku ada di depan gedung apartemenmu. Bisa tidak kau memasangkan tali di leher Lou? Aku lupa membawanya.”

“Ya, akan kulakukan. Langsung masuk saja, aku tak mengubah password pintunya.” Begitu saja ia memutuskan sambungannya.

River berhenti mengetik lalu menghela napas. Tiba-tiba saja ia bangkit dari kursinya, pertama kali dalam beberapa jam. Dia keluar kamar, mendekati anjing siberian husky yang meringkuk di sofa ruang tengah lalu membelainya. Kemudian ia memasangkan tali yang ada di atas meja ke leher anjing itu.

Ana, perempuan itu masih memiliki daya atas dirinya bahkan setelah hubungan mereka berakhir. Entah dengan sihir apa perempuan itu selalu membuat River mengikuti maunya.

Ting tong

Ana memencet bel seolah-olah ia orang asing di sini, pikir River saat ia hendak buka pintu.

Mata Ana terbelalak melihat penampilan laki-laki itu. Mata merah, rambut berantakan, kumis dan janggut yang mulai tumbuh sembarangan. Laki-laki itu terlihat begitu kacau.

River membuka pintu semakin lebar, memberikan akses kepada Ana.

“Ya ampun! Kau kelihatan kacau. Kau… tidak apa-apa?” Telapak tangan mungil perempuan itu meraba jejak kebiruan kasar di area pipi dan dagu River.

“Banyak hal terjadi padaku, An.” River berusaha menoleh ke arah lain, menghindar dari sentuhan Ana. Dari jarak beberapa sentimeter, Ana bisa mencium bau campuran rokok dan alkohol dari tubuh laki-laki itu.

“Kau bisa berbagi denganku, kau tahu itu, kan. Aku masih di sini kalau kau butuh aku.”

“Akan kutuangkan semuanya ke dalam tulisanku.”

Ana mengernyit, beberapa detik kemudian sudut bibirnya terangkat naik. “Kau mulai menulis lagi?”

“Hmm.”

“Tentang apa kali ini?”

“Pria yang menderita.”

Perempuan itu memutar bola matanya. Lelaki paling keras kepala yang pernah dia kenal.

“Di akhir cerita, pria itu akan bertahan, kan?”

River diam saja. Bukan karena ia tidak ingin memberi tahu Ana, tapi karena ia belum menentukan akhir ceritanya.

“Kau tak mau memberitahuku, ya?”

“Kau akan tahu akhirnya saat ceritanya selesai. Oh ya, kau bisa membawa Lou sekarang. Tak usah banyak basa-basi padaku lagi.”

Ana mengabaikannya dan berjalan semakin jauh ke dalam apartemen bermaksud mengecek keadaan laki-laki itu. Dia melewati River menuju ruang tengah di mana Lou masih meringkuk, kemudian menuju kamar yang pintunya terbuka lebar.

Ana menggelengkan kepala dan mengumpat begitu pelan dari ambang pintu saat melihat keadaan kamar laki-laki itu.

“Kau yakin baik-baik saja?”

River diam saja.

“Aku kira kau sudah berhenti merokok?! dan… kau minum alkohol lagi?” Ana meninggikan suaranya agar terdengar ke ujung ruangan.

“Jangan pedulikan aku, An. Cepat ambil Lou dan keluar dari rumahku!”

“Kapan terakhir kali kamu menemui doktermu?”

River berusaha menahan emosinya yang entah muncul dari mana. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Seminggu yang lalu. Puas? Aku bertemu dokter Lyn seminggu yang lalu dan ia terus menyuruhku melakukan ini dan itu, termasuk berhenti bertemu denganmu.”

“Kenapa?”

“Karena aku bisa saja menyakitimu.”

“Apa?”

“Jangan pura-pura tidak mengerti, Ana. Aku hampir memukulmu dengan tongkat baseball saat aku marah waktu itu. Kamu begitu ketakutan, kabur dari rumah ini, dan takut untuk kembali ke sini. Iya, kan?”

“Aku tahu itu di luar keinginanmu untuk bertindak seperti itu, kamu hanya….” Kalimat Ana menggantung. Dia tak bisa menyelesaikannya. Benar, terakhir kali mereka bertengkar River nyaris menghajarnya dengan tongkat baseball hingga ia takut setengah mati dan pergi meninggalkan rumah yang mereka tinggali bersama. Itulah mengapa hubungan mereka berakhir.

“Kau datang ke sini mengambil Lou karena kau tahu betul aku bisa saja menyakiti anjing itu, kan? Bawa dia. Aku juga takut jika emosiku tak terkontrol aku akan menyakitinya. Aku menyayangi Lou. Kau tahu itu.”

Air mata menumpuk di sudut mata perempuan itu. Ana menjauh dari kamar River lalu berjalan cepat-cepat. Rasa takut yang berusaha keras ia sembunyikan muncul lagi. Ana buru-buru mengambil anjing itu dan menggendongnya.

“Kumohon carilah pertolongan. Maaf aku tidak bisa bersamamu. Aku menyayangimu.”

“Tolong urus Lou dangan baik dan hiduplah dengan bahagia. Aku minta maaf untuk kejadian waktu itu.”

Ana hanya mengangguk mengerti. Perempuan itu berjalan keluar dengan River mengekornya.

“Jangan lupakan obatmu. Please.”

River menutup pintunya dan kembali ke kamar. Dia kembali melanjutkan apa yang tadi ia kerjakan.

Sampai mana tadi?

Obat.

Obat-obatan bisa me

Apa yang harus aku lakukan pada pria malang ini? Pikir River. Dia selalu merasa obat yang dikonsumsinya tidak betul-betul membantunya. Resep obat yang diberikan dokter Lyn tak juga membuatnya merasa lebih baik. Dia tak ingin tokoh utama dalam ceritanya kali ini hanya mengonsumsi obat untuk bertahan. Obat tidak akan cukup untuk menghentikan kegilaaan. Apa yang bisa menghentikan kegilaan?

Kematian.

River sudah memutuskan akhir cerita yang ditulisnya. Dia akan mengakhiri hidup si pria malang. Dia tak ingin tokoh utama ini hanya sekadar bertahan seperti cerita-ceritanya terdahulu, River ingin ia bebas. Kematian membuatnya bebas.

Tulisan River selalu dicintai karena semua kisahnya terasa begitu nyata. Itu karena River selalu menautkan benang merah kisah hidupnya sendiri dalam cerita buatannya. Benang merah itu semakin mamanjang seiring banyaknya cerita. Terurai di mana-mana, kusut mengerumuninya, mengikat dirinya dan pelakon tulisannya hingga mencekik jiwanya. Dia hanya ingin bebas, River akan memutus benang merah itu.

River mengengok ke arah jendela apartemennya yang dipenuhi titik-titik air hujan yang jatuh dari langit yang hitam.

Dia akan memikirkan bagaimana cara mengakhiri hidup si pria malang nanti. Suara-suara di sisi kiri dan kanan lubang telinganya mulai meneriakinya lagi. River ingin tidur, berharap suara-suara itu hilang saat ia memejamkan mata.

Prihandini N R
Prihandini N R Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email