International Standard Book Number (ISBN) diperlakukan secara ambigu justru oleh lembaga resmi yang mengurusnya, Tim ISBN Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022 tentang Layanan Angka Standar Buku Internasional Pasal 2 menjelaskan bahwa ISBN diberikan untuk karya cetak dan karya rekam yang diterbitkan di Indonesia. Namun, karya tersebut harus memenuhi kriteria disebarluaskan secara umum dan dapat diakses secara umum.
Peraturan tersebut menggantikan peraturan sebelumnya ketika ada kekacauan penggunaan ISBN di Indonesia. Pihak ISBN pusat yang berkedudukan di London heran, lalu menegur Perpusnas RI bahwa penggunaan ISBN Indonesia meningkat secara tidak wajar pada tiga sampai empat tahun terakhir. Konsekuensi dari peraturan baru tersebut utamanya penekanan bahwa buku yang ber-ISBN wajib disebarluaskan dan mesti ada pembatasan pemberian ISBN.
Tidak semua buku bisa mendapatkan ISBN. Hari ini, buku-buku yang berasal dari tugas sekolah, tugas kuliah, program pengembangan literasi, laporan pengabdian, serta hasil penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi tidak semujur seperti ketika Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 7 Tahun 2016 masih berlaku. Tidak ada alasan detail plus masuk akal mengapa buku yang berasal dari jenis literatur tersebut tersebut tidak bisa mendapatkan ISBN.
Memang, buku dari jenis literatur ilmiah seperti itulah yang jumlah pengajuan ISBN-nya lebih banyak dibandingkan dengan buku jenis lain. Namun, tidak menutup kemungkinan ada faktor selain tingginya pengajuan ISBN.
Baca juga:
Dalam setiap kesempatan sosialisasi peraturan baru, Tim ISBN Perpusnas mengingatkan bahwa ISBN bukanlah sebagai prestise. Dengan kata lain, kepemilikan ISBN tidak menentukan kualitas sebuah buku, tidak pula menunjukkan pula bahwa penulisnya profesional. Sama sekali tidak. ISBN hanyalah penanda unik yang menjadi identitas sebuah buku dalam rantai distribusi bahan bacaan.
Namun, pada kenyataannya, ISBN tidak diperlakukan sebagaimana hakikatnya. Asumsi yang umum berkembang ialah buku-buku yang tidak ber-ISBN berarti buku yang tidak layak. Karya ilmiah yang dibukukan begitu saja dianggap tidak cukup serius, hanya latihan, tidak dikerjakan sungguh-sungguh, dan sederet penilaian merendahkan lainnya sehingga tidak layak diberi ISBN.
Selain itu, ISBN juga tidak diberikan untuk buku yang ditulis oleh pemula. Kriteria ini salah satu yang paling aneh. Mengapa Tim ISBN membuat diri sendiri kerepotan dengan menilai penulis ini adalah pemula, penulis itu kawak? Saya tidak habis pikir terhadap kecanggihan kriteria untuk menentukan mana penulis pemula dan penulis profesional itu.
Meskipun begitu, ada perlakuan yang agak berbeda terhadap hasil penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi yang disajikan dalam format lebih umum. Peluang dapat ISBN jadi besar ketika karya ilmiah telah dikonversi ke penyampaian yang tidak saklek ilmiah. Namun, seberapa umum dan tidak saklek ini juga tak disertai dengan penjelasan yang mendetail perihal kriteria atau batasan ilmiah-populernya. Semua diserahkan kembali kepada tafsiran dan kreativitas penerbit.
Selain perlu disajikan dalam format atau gaya yang umum, setiap terbitan ber-ISBN juga harus disebarluaskan secara umum. Artinya, buku itu dapat diakses oleh masyarakat umum secara gratis maupun berbayar. Buntut dari penekanan tersebut, muncul regulasi baru bahwa untuk mendapatkan ISBN setiap penerbit harus memiliki website resmi sebagai katalog produk yang diterbitkan. Selain lokapasar atau pintu yang lain, website ditujukan sebagai titik akses, sebagai ruang pemantauan untuk memastikan bahwa buku disebarluaskan.
Sayangnya, regulasi tersebut memberi kesan bahwa Perpusnas RI terlambat memahami fungsi asli ISBN. Sudah berpuluh tahun sejak layanan ISBN diberikan, tepatnya sejak peluncuran pertamanya pada tahun 1986, ISBN baru dibuatkan regulasi tahun 2022. Artinya, selama hampir 40 tahun, Perpusnas RI tidak mengetahui rimba peredaran buku.
Sungguh, bila dicermati kembali, tugas Tim ISBN Perpusnas RI amat berat. Mereka setidaknya perlu memantau soal ketersebaran setiap buku yang ber-ISBN dari sekian ribu penerbit di Indonesia. Idealnya, mereka harus memeriksa apakah buku-buku terbitan lembaga-lembaga pemerintah dan perguruan tinggi itu benar-benar dikelola distribusinya. Belum lagi, mereka juga harus menilai mana buku yang layak disebut buku atau tidak, baik itu dari kualitas isi maupun latar belakang penulisnya.
Di tengah setumpuk tugas itu, jadi mengejutkan ketika muncul usulan agar Perpusnas RI membuat ISBN versi Indonesia. Mengurus validasi permohonan Katalog Dalam Terbitan (KDT) saja Perpusnas RI mengaku sangat keteteran, masa malah diminta membuat sistem identifikasi baru dari nol?
Editor: Emma Amelia