Ayahku menolak hadir pada aqiqahan putri pertama kami. Alasannya sepele. Ia tidak sepakat dengan rencanaku dan istri untuk menamai si bayi dengan Beatrice, alih-alih Kesya atau Nayla.
“Kau beri aku alasan kenapa harus Beatrice!” tegas ayahku untuk terakhir kalinya sebelum dia menutup telepon dengan kasar.
Aku baru saja akan menjelaskannya andai dia mau bersabar sedikit. Ibuku yang selalu moderat mengelus pundakku, memberikan pengertian bahwa mungkin ayahku lelah karena tak mampu meyakinkanku dengan beberapa yang terbaik dari buku 1000 Nama Bayi Muslim Milenial.
Ayahku benar-benar melaksanakan ancamannya. Dia tidak muncul hari ini, tidak juga mengucapkan doa atau selamat lewat telepon. Meskipun demikian selalu saja ada kerabat yang datang menanyakan hal itu kepadaku. Aku tahu, saudara dan sepupu-sepupuku memiliki rasa penasaran yang sama dan nampaknya mereka melimpahkan kesalahan ini kepadaku. Jadi, aku katakan dengan sedikit kesal bahwa Beatrice adalah putri pertama kami dan persoalan nama adalah hak sepenuhnya aku dan Vivi sebagai orang tuanya.
Lagipula, kami pun tak pernah ambil pusing mengurusi nama anak-anak mereka. Aku dan istriku hanya sedikit takjub dengan nama-nama panjang milik si kembar Adeeva Afsheen Myesha, yang dipuji setinggi langit oleh ayahku karena bermakna ‘karunia kehidupan yang bersinar seperti bintang di langit yang menyenangkan’. Atau Adiba Shakila Atmarini yang memiliki arti tak kalah menakjubkannya, ‘perempuan cantik rupawan yang berpengetahuan dan memiliki ketajaman hidup’. Semua nama itu adalah pemberian ayahku kepada cucu-cucunya.
Dan Beatrice? Kira-kira begitu mereka akan bertanya.
“Ya, itu sih memang hak kamu,” kata kakakku Agus, bapak si kembar, “selama gak bertentangan dengan syariat.”
“Syariat yang mana?”
“Loh, Beatrice itu kan bukan nama Islam. Itu nama Kristen. Ayah tidak bisa mengerti dengan jalan pikiranmu itu…”
“Dan bukan cuma Kristen,” balasku geram. Aku sudah siap untuk bertengkar di hari bahagia anakku, “Beatrice adalah nama seorang mamah Papua.”
Tamu undangan yang jumlahnya terbatas serempak menoleh. Semua memandang kepadaku dan mengernyitkan dahi.
Aku melihat istriku, bibirnya mengucap istigfar pelan.
“Kau tahu nama itu adalah doa. Kau tak boleh seenaknya memberikan nama kepada anakmu. Apa kau ingin anakmu seperti orang kafir?” Cecar Agus. Aku tak heran bila ia yang mengatakan itu. Setelah menikah ia dan istrinya rutin mengikuti festival hijrah. Mereka kini banyak berubah, luar dan dalam. Agus bahkan mengganti nama facebooknya menjadi Singa Allah dan mulai memelihara kebiasaan mendominasi pembicaraan pada setiap acara ngumpul-ngumpul keluarga.
Aku memandangi ibuku, berharap bantuan tapi ia hanya tersenyum kecut. Sebelum gagasan hadirin melebar ke mana-mana dan menimbulkan fitnah aku meminta mereka bersabar sejenak agar aku bisa menata pikiranku. Aku mengambil Beatrice lalu duduk di samping istriku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan meminta semua orang mendengarkan.
“Ini tak lepas dari kejadian yang menimpa kami beberapa waktu lalu di Wamena,” kataku memulai cerita.
***
Aku dan istriku baru sebulan membuka kios pakaian impor di Wamena ketika kerusuhan itu meledak. Siang itu aku telah mempunyai firasat tak enak terkait istriku. Vivi sedang hamil besar tujuh bulan dan sejak pagi dia begitu rewel dan bersikap kekanak-kanakan. Aku menyarankannya untuk beristirahat saja di rumah. Kukatakan kepadanya bahwa beginilah konsekuensinya cari uang jauh dari keluarga. Yang sebenarnya ingin kukatakan adalah ia menginginkan aku jadi suaminya maka ia juga harus mencintai pekerjaanku, termasuk hidup terlempar jauh ke ujung timur Indonesia.
Namun Vivi yang begitu sensitif sangat senang mempermasalahkan banyak hal. Ia mengeluhkan cuaca panas, benda-benda yang ingin dibelinya tapi tak ditemukan di sana, mesin pompa air kontrakan kami yang macet, hingga seorang asli Papua yang katanya sejak hari pertama kedatangan kami selalu muncul di jendela dan mengawasinya saat sendirian.
“Seorang perempuan,” kata istriku, “Suaranya besar seperti terompet dan berperawakan keras. Ia berteriak dan tertawa di jalanan pada pukul dua belas siang.”
Aku katakan kepada Vivi bahwa itu adalah hal yang biasa di sini. Persoalan adaptasi saja. Di luar sana ada banyak juga pendatang seperti kami; Minang, Jawa dan sekampung kami dari Makassar. Ia hanya perlu berjalan sejauh dua blok dan akan menemukan banyak pedagang melayu di pinggir jalan. Aku berjanji kepada Vivi akan mengenalkannya dengan beberapa kerabat jauh ibuku dan mengundang mereka ke rumah agar dia tak kesepian.
“Tapi sebelumnya, kau harus belajar menerima lingkungan barumu,” kataku.
“Saya takut,” kata Vivi, “Kau kira saya tidak tahu kondisi yang terjadi saat ini. Saya lihat di televisi di beberapa kota terjadi kerusuhan. Pelajar Papua berdemonstrasi di mana-mana. Sementara itu para pemberontak memanfaatkan situasi untuk menuntut kemerdekaan dari pemerintah Indonesia. Situasinya sedang genting, dan saya tak perlu jadi seorang pengamat politik untuk tahu bahwa jika terjadi sesuatu yang buruk, maka yang pertama-tama akan kena imbasnya adalah kita, para pendatang.”
Istriku benar. Kami mungkin datang di saat yang tidak tepat. Hanya beberapa minggu setelah aku dan Vivi tiba di tanah Papua, terjadi demonstasi besar-besaran sebagai buntut perlakuan rasis yang dialami para pelajar Papua di beberapa kota di Indonesia. Sejumlah kota lumpuh dan terganggu aktivitas ekonominya. Pemerintah lalu merespon hal tersebut dengan mengirim lebih banyak tentara dan mematikan akses internet. Tindakan itu ternyata tidak efektif. Hubungan baik masyarakat asli dan pendatang yang telah terawat berpuluh-puluh tahun lamanya jadi terancam. Samsudding, sopir ojek yang berasal dari kampung yang sama dengan ibuku mengaku sangat merasakan perubahan itu. “Mereka mulai melihat kita para pendatang secara berjarak.”
Aku mencium kening istriku dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Ia sebaiknya tak mencoba meladeni atau mengunci pintu rapat-rapat bila perempuan itu muncul.
Namun, ternyata kekhawatiran Vivi menular kepadaku, menghantuiku hingga ke kios. Ada rasa kecut dalam hatiku setelah benar-benar menyadari diri bahwa kami, para pendatang tengah berdiri di atas tumpukan sekam yang menimbun bara api. Konflik ini setiap saat bisa saja meledak. Lalu kekhawatiran istriku tentang perempuan bersuara besar itu mulai mendapat tempat dalam perhatianku. Apa tujuannya muncul di jendela kontrakan kami di waktu-waktu seperti ini.
Aku tak sempat membayangkan banyak kemungkinan tentangnya, ketika teriakan pertama memecah kesunyian siang itu. Bocah laki-laki sebelas tahun bernama Edu, menghambur masuk ke kios dan menarikku keluar. “Kaka, ayo sembunyi,” ia berkata dalam logat khas Papua, “Ada rusuh di luar sana.”
Aku tak mampu lagi memahami detil selanjutnya. Bersama beberapa orang lainnya, kami berlari untuk sembunyi di dalam sebuah ruko yang berada yang tak jauh dari kiosku. Aku bahkan tak sempat mengunci pintu karena terseret arus orang-orang yang bergelombang, berlomba menyelamatkan diri masing-masing. Melalui celah kecil di roling door aku melihat sekelompok orang asli Papua berlarian di jalanan dengan membawa balok dan batu. Beberapa di antara mereka anak-anak remaja. Sesaat kemudian menyusul orang-orang lain bergabung dari perempatan. Seseorang mematikan lampu ruangan dan menyuruh kami semua diam.
Aku menyadari bahwa jumlah kami terus bertambah seiring derap langkah kaki di luar sana yang juga semakin membesar. Mereka berteriak dan menghantam-hantam roling door, terdengar seseorang meminta api dan bensin. Mereka mungkin hendak membakar kami hidup-hidup. Sementara itu orang-orang terus bermunculan dari pintu belakang, berbisik-bisik. Beberapa perempuan menahan tangis. Aku mengenali beberapa di antara mereka. Ada pasangan suami istri Minang yang selalu menyapaku tiap pagi di tikungan, pemilik bengkel yang seorang Bugis, beberapa tukang ojek yang aku hanya kenal muka dan enam orang asli Papua.
Kami semua tak perlu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi karena setiap orang, khususnya pendatang seperti kami telah mengantisipasi hari ini. Edu, yang ikut bersamaku menceritakan asal muasal kerusuhan; desas desus mengatakan, seorang guru pendatang mengucapkan hinaan rasis kepada seorang siswa yang memancing kemarahan orang-orang. Namun, yang membuatku tersentak adalah kenyataan bahwa aku telah melupakan istriku untuk waktu yang lama.
“Ya Tuhan,” seruku kepada Edu, “Aku harus segera kembali ke rumah.”
“Tra bisa,” seseorang lelaki Papua memotong ucapanku, “Kita tra bisa keluar dari sini. Pendatang atau asli Papua semua sedang sembunyi. Apa yang akan terjadi kalau mereka lihat ko berkeliaran di luar sana?”
Aku tak mengenali lelaki itu, tapi gaya bicaranya menunjukkan ia seorang terpelajar. Ia mengenakan jas abu-abu dan jam tangan yang memancarkan cahaya stabilo di kegelapan. Nada suaranya begitu mendikte. Aku bersikeras bahwa lebih baik mati daripada tak tahu nasib istriku. Beberapa lelaki berusaha menahanku di pintu. Pemilik bengkel mengatakan bahwa tentara sedang menuju ke sini, dan upaya terbaik yang mesti dilakukan tiap orang adalah bersembunyi.
“Ko mau tanggung jawab kalau mereka dapa kita semua di tempat ini?” Lelaki berjas abu-abu itu menekanku ke dinding.
“Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri,” kataku memberontak, “kalian tak punya hak untuk menahan saya di sini.” Lalu tiba-tiba saja aku jatuh dalam perasaan bersalah. Entahlah, aku malu melihat tatapan nanar beberapa perempuan yang duduk di pojok, sedang menangis ketakutan. Aku malu kepada diriku sendiri, karena istriku mungkin sedang terjebak di luar sana dan… Apa yang sedang kulakukan di sini…
“Tunggu sampai orang-orang ini lewat,” Edu memegang tanganku. Ia berjanji akan menemaniku mencari Vivi. Bocah itu juga mengatakan kemungkinan iring-iringan bergerak mengikuti jalan besar dan jika itu terjadi butuh waktu yang lama sebelum sampai di jalan tempat kami tinggal. Pada saat itu kami bisa mengambil kesempatan untuk mendahului mereka dengan memotong jalan. Entah mengapa mendengar itu membuatku merasa sedikit tenang.
Namun, itu adalah waktu yang sangat lama. Mustahil menunggu konvoi manusia di luar sana habis. Tapi Edu tetap berusaha meyakinkanku. Sekitar sepuluh menit kami menunggu, ketika yakin rombongan yang marah sudah bergerak cukup jauh aku tak menunggu lagi untuk keluar.
Kami berdua bergerak dengan hati-hati. Berlindung di bawah kanopi-kanopi ruko untuk segera menyeberang ke sebuah pasar kecil. Aku melihat sampah-sampah berserakan, gerobak bakso terguling di tengah jalan dan suasana mencekam begitu terasa di udara. Sepertinya hanya kami berdua saja yang ada di jalanan siang itu. Di balik atap sebuah bangunan aku melihat gumpalan asap hitam membumbung ke langit. Edu bilang mereka telah membakar sesuatu, mungkin mobil atau sepeda motor.
Dari kejauhan aku bisa mendengar letusan tembakan dan bunyi tiang telepon dipukuli tanpa henti. Tentara atau polisi harusnya telah berada di sekitar sini untuk menyelamatkan kami. Tapi bayangan itu tak membuatku tenang sedikitpun. Saat itu aku lebih percaya pada Eduard, bocah yang setiap hari muncul di depan kiosku untuk menanyakan apakah ada pekerjaan untuknya. Edu anak yang manis. Ia sangat suka tersenyum, bahkan dalam kondisi terdesak seperti saat ini. Edu harus bisa membawaku ke tempat Vivi secepatnya.
Sialnya, kami belumlah setengah jalan ketika secara tak sengaja aku berpapasan mata dengan beberapa remaja SMA dalam seragam putih abu-abu yang berboncengan tiga di atas sebuah RX King. Kesalahanku adalah berhenti di tengah-tengah jalan dan memperhatikan mereka lama. Sementara tindakanku selanjutnya, yakni lari malah justru mengundang konfrontasi. Ketiga anak itu berteriak memanggil temannya yang lain.
Edu menuntun paksa tanganku. Kami berlari cepat, sangat cepat. Kami meliuk dari satu blok ke blok lain sampai tiba di sebuah pagar tembok. Jalan buntu. Aku nyaris kehabisan nafas memanjati dinding itu sehingga ketika telah sampai di atas aku pasrah saja membiarkan tubuhku mendarat di rumpun semak-semak sebuah halaman belakang.
Aku bangkit berdiri mengikuti Edu yang terlihat mendorong pintu, nampaknya sebuah rumah warga. Kami menghambur masuk dan jantungku serasa mau copot ketika kami telah berada di dalam. Dalam gelap, aku memperhatikan benda-benda sekeliling; kompor kecil, gentong air dari plastik, dan rak piring. Edu masih mengintip para pengejar itu dari balik pintu ketika seseorang tiba-tiba muncul dan memergoki kami berdua.
Siluet seorang perempuan, rambutnya ikal dengan bahu yang berotot memandangiku aneh. Mungkin ia akan mengira aku maling kalau saja tidak segera mengenali bocah yang bersamaku.
“Eduarddd!” Ia berseru. Suaranya sangat besar.
“Mace Beatrice…” Jawab Edu gugup, “tolong kami… Orang-orang kejar kami…”
Perempuan itu tersenyum lebar, seperti menyeringai. Gigi-giginya berbaris rapi dan putih. Aku berpaling ke Edu. Bocah laki-laki itu juga tersenyum.
***
Perempuan bernama Mace Beatrice itu lalu membawa kami ke sebuah ruangan, mungkin ruangan tengah di mana aku mendapati belasan warga pendatang sedang duduk di lantai. Seperti sebuah mukjizat aku menemukan Vivi ada di antara mereka. Istriku nampak shok berat dan menangis begitu melihatku muncul dari dapur. Aku mencoba menenangkannya, cukup bahagia dengan melihatnya di tempat ini. Kami memang belum aman tapi setidaknya aku dan istriku bisa bersama saat ini. Kami berpelukan lama sebelum Vivi, yang tahu keheranan dalam wajahku menceritakan bagaimana dirinya sampai ke tempat ini.
Pada saat peristiwa itu berlangsung istriku langsung mengunci pintu sesuai perintahku. Ia mengintip dari korden orang-orang berlarian masuk ke rumah masing-masing, sementara teriakan-teriakan massa terdengar semakin dekat. Vivi mendorong kursi dan meja untuk menahan pintu lalu berjalan hilir mudik dengan cemas. Ia sempat menyesali dirinya sendiri karena seharusnya ia keluar dan mencari seseorang atau ikut dalam rombongan yang mencari perlindungan di kantor polisi. Gagasan terburuk bahwa ia kemungkinan akan celaka sendirian di rumah itu dengan bayi tujuh bulan di perutnya membuatnya menangis.
Tepat pada saat itulah terdengar ketukan di pintu. Awalnya Vivi tak tahu apa yang harus dilakukannya, ia takut setengah mati. Tapi ketukan itu semakin cepat dan keras membuat istriku memberanikan diri mengintip.
Betapa terkejutnya ia mendapati perempuan yang beberapa hari belakangan sering memperhatikannya di jendela memberi tanda kepadanya untuk membuka pintu.
Istriku yang menganggap perempuan itu merupakan bagian dari kekacauan langsung menghubungkan kemunculannya di sekitar rumah kami sebagai kejahatan yang telah direncanakan.
Vivi menutup gorden dan mencari perlindungan di pojok. Ia telah pasrah untuk hal-hal buruk ketika ketukan itu berhenti sesaat. Ada keheningan beberapa detik sebelum sebuah bunyi debum menghantam pintu. Kursi dan meja terpelanting berhamburan. Dua dari tiga engsel daun pintu koyak. Perempuan itu berhasil menerobos masuk dengan menabrakkan tubuh besarnya. Vivi menjerit-jerit ketika perempuan itu mendekatinya dan meletakkan tangan di pipinya. Berlawanan dengan kebiasaannya berteriak di jalanan selama beberapa hari ini, ia justru berbicara pelan, “Tenang adek. Sa mau bawa adek pigi sembunyi. Ayo.”
Vivi berhenti berbicara. Ia memandangiku lalu berpaling ke arah Mace Beatrice yang tersenyum kepadanya. “Aku tahu,” kataku mengelus tangannya yang masih gemetar.
Mace Beatrice tak hanya menyelamatkan Vivi seorang. Setiap rumah pendatang digedornya, laki-laki atau perempuan yang ditemuinya tengah kebingungan di jalanan dirangkulnya dan disembunyikan di rumah ini. Aku menghitung jumlah pengungsi di ruangan ini. Total delapan belas orang, ditambah diriku. Dan aku baru saja akan mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Mace Betarice ketika seorang bocah perempuan berlari masuk ke dalam dengan panik dan mengatakan bahwa sekelompok orang dengan senjata tajam muncul di halaman depan.
Seketika suasana gaduh. Orang-orang berbisik dan saling berpandangan. Teror ini barulah permulaan. Sekarang, di depan kami terbentang katidakpastian nasib. Aku menggenggam tangan istriku dan kami semua menjalankan instruksi Mace Beatrice untuk tiarap ke lantai.
Suasana mendadak sunyi. Suara keramaian di luar sana masuk ke dalam ruangan lewat celah-celah jendela. Orang-orang datang bergerombol semakin banyak. Mereka pasti mencari aku dan Edu. Mace Beatrice bangkit lalu keluar untuk menemui mereka. Terdengar bunyi daun pintu berdecit dan cahaya panjang masuk menjangkau kami sekejap, lalu menghilang. Pintu tertutup kembali. Setiap dari kami bisa mendengar bunyi nafas masing-masing. Aku berusaha berkonsentrasi mengikuti keadaan di luar sana.
Ada suara yang meninggi, nyaris menjadi bentakan, tapi seperti sebuah monolog. Aku hanya bisa mendengar suara mace Beatrice sepanjang waktu itu. Ia seperti berbicara dengan seorang di seberang sambungan telepon. Tangan Vivi menggenggam tanganku dan ia tersenyum. Belakangan hari ia mengakui bahwa optimisme yang terlontar dari mulutnya waktu itu keluar begitu saja tanpa pertimbangan. Istriku bilang, “tenang saja, perempuan itu sangat kuat. Dia bisa menggoyangkan gunung.”
Dan itu benar. Kami akhirnya lepas dari ketegangan ketika mace Beatrice muncul kembali dengan senyumnya khasnya. Ia mengatakan bahwa orang-orang itu telah pergi. Sedikit sesumbar mace Beatrice mempraktekkan adegan ketika ia mengangkat sendalnya dan menantang siapapun untuk berduel jika bersikeras hendak masuk ke rumah ini.
Kami yang belum bisa lepas dari sisa-sisa kepanikan memaksa diri untuk tersenyum. Mace Beatrice tahu itu lalu tertawa sekali lagi dan mengalihkan topik bahwa tentara telah berhasil membubarkan massa dan sebentar lagi mereka akan datang untuk mengangkut kami ke tempat pengungsian sementara.
***
Para tamu undangan yang hadir nampak saling berpandangan. Mereka tak berbicara satu sama lain. Mereka sepertinya ingin memastikan bahwa setiap orang mendengar cerita yang sama. Aku tahu televisi telah banyak membicarakan kerusuhan yang merenggut nyawa puluhan orang tak berdosa ini. Bahwa banyak rumah-rumah warga yang hancur dan menjadi korban amukan massa yang marah aku tak meragukan itu. Akupun tak kurang rugi harta dari yang lain. Orang-orang juga kemungkinan telah mendengar heroisme warga setempat yang berdiri untuk menyelamatkan para pendatang. Aku tak akan mengambil alih pekerjaan wartawan untuk menjelaskan semuanya di sini.
Satu hal yang pasti bahwa dampak psikologis yang ditimbulkan bagi para korban mungkin akan berlangsung lama. Sebagaimana fakta bahwa setelah para pengungsi dipulangkan ke tempat asal masing-masing, istriku tetap menyimpan trauma untuk kembali lagi ke sana.
Namun jika ada hal yang patut disesalkan dari kejadian ini adalah kami tak pernah lagi bertemu dengan mace Beatrice atau Edu setelah hari itu. Ingatan kami tentang mereka berdua berakhir pada sore ketika keduanya melepaskan kepergian kami naik ke atas truk militer. Sebelum berpisah Mace Beatrice mengelus-elus perut Vivi dan membenarkan letak jilbabnya. Keduanya lalu berpelukan erat dan ia membisikkan sesuatu ke telinga istriku. Aku tak tahu apa tapi Vivi menangis sampai berhari-hari setelahnya.
“Sekarang kalian sudah tahu ceritanya…” Kataku lega. Aku tak menunggu tanggapan apapun dari mereka. Kami tak punya kewajiban apa-apa lagi. Masalah nama harusnya cukup sampai di sini saja.
Aku memandangi bayi Beatrice yang terlelap damai di pangkuanku. Mungkin nama anak kami tak sebagus cucu-cucu ayahku yang lain. Juga tak begitu panjang untuk dilafalkan lidah. Hanya dua sylabel, bet dan ris. Kalaupun harus ditambahkan sesuatu aku akan menaruh namaku sendiri di belakang. Pada akhirnya nama-nama indah tak akan selalu dikenang dan kebaikanlah yang abadi. Pada akhirnya, baik Kesya, Nayla atau pun Beatrice sama saja. Ini perkara sepele yang seharusnya tak merusak hari bahagia seorang bayi perempuan.
Bagi aku dan Vivi, mungkin ceritanya akan sedikit berbeda bila yang lahir adalah laki-laki, meski aku tak yakin hal itu bisa membuat ayahku datang karena kami pasti menamainya dengan Eduard.[]
Tulisan yang kereb