1
Mari kita rayakan seorang ibu
yang tiap pagi, dengan mata lebam
dihajar suami, sesudah mencari nafkah
untuk miras, pengantar lelapnya
Untuk menyuapai bajingan kecilnya
yang dilahirkan, dari rahim kelaparan
katakanlah “ia sedang berpuasa”
Ungu menuju jingga
menyelami tulang punggung keluarga,
sesekali ia melawan sinar sore
di ujung mata buram bajingan kecilnya
“ayah kapan pulang?”
Mari kita rayakan kesetaraan tangga rumah
yang bisa dinaiki-dituruni, dengan diinjak
sebab, rumus berkeluarga
selalu dimulai dari peler.
2
Siapa yang pantas bermain, kadang tak
terlalu pandai, rupa-rupa lekuk tubuhnya
Sayang, panggilannya direkam waktu,
tamparan sebab aku mencintai, lekas sembuh
aku.
Suara perempuan bagai emas, tak
pengaruh pada inflasi, tak pengaruh kondisi, ia bertahan
dengan kaum yang menciptakan wadah air mata, untuk lelaki
yang haus
3
Bibirnya menyimpan gincu
gincu tak pernah rata, tertutup aib
pasangan.
Bibirnya alat sensor terburuk,
gincu rona merah menampung luka,
kesepian dicumbu pendusta.
Gincu ialah topeng beracun, ia luput dari
dunia, menelan hasrat lendir para bajingan, untuk
membunuh masa depan.
Gincunya dibeli sang kekasih, dikembalikan kekasih, sebelum dikuasai
pelumas menuju perbudakan, menikam ujung kepala ke ujung kaki
4
Tubuh ini karet, mengikat sisa-sisa, merapikan
kekusutan, lebih mampu bertahan, atau mereka
menyebut mati rasa
Nona, bayangan dirimu lebih merdeka
Konon, Tuhan tak mengutuk bayangan
Lestarinya, ia senang melebur
Sebagai tinjauan preman rumah tangga
dan, seorang bapak memeras ternaknya
tanpa berduka, menimbang laut susu, sebelum
dijual ke pasar.
5
Perempuan ini menolak gravitasi, ia tak ingin dikibuli dua kali,
apalagi diajak ke Mars, ditunggangi roket dua kali
O, sekejap menjadi berlian, dilindungi sebelum dikurungnya
O, bajingan berkumis, belum cukur menyisakan roti di lembah payudara
O, November ceria, benar? bulan sebelas yang setara.