Kurogoh kembali sebatang rokok dari atas meja. Entah sudah berapa batang yang telah kubakar dan kuhisap kali ini. Kulirik jam berlatar gambar partai yang tergantung di dinding, sudah pukul dua pagi. Namun, mataku tak lelah sedikit pun. Dadaku makin terasa berdebar, pasti ini efek kafein dari kopi yang telah tinggal separuh di atas meja. Ah, tidak, ini pasti karena nikotin di dalam rokok yang telah habis sekotak kuhisap. Bodoh! Tentu saja bukan karena itu semua, ini sebab cemas akan dosa.
Karman mati tadi pagi. Saat rapat tiba-tiba saja ia terbatuk dan memercikkan darah. Darah segar itu membasahi proposal foto kopi yang kuberikan padanya. Ah, kenapa harus kupikirkan, jelas saja itu karena dia sakit, bisa saja TBC, atau pembuluh darahnya pecah sebab penyakit darah tinggi yang dideritanya. Tidak! Itu jelas salahku, aku yang membunuhnya.
“Aaah!” teriakku frustasi.
Seharusnya tidak kudatangi dukun keparat itu. Tidak! Karman jelas harus diberi pelajaran. Pria yang sok pintar itu tiba-tiba datang dari kota dan mengambil posisi kepala dinas. Aku yang sudah bertahun-tahun di sini, harus puas dengan posisi kepala seksi tanpa jelas kapan ada pengangkatan.
Orang dalam? Tentu saja aku juga punya. Percuma saja punya teman semasa kecil yang menjabat sebagai sekretaris gubernur. Tunggu, bisa saja si Jun–temanku–itu memang tidak mengurusnya. Ah, seharusnya langsung saja kubayar sesuai harga. Pasti ia berpikir tak ada yang gratis di dunia ini. Sial! Jun memang bedebah!
Dan dukun itu, siapa sangka ilmunya cukup sakti. Teluh itu cuma bermodal nama, hanya berupa sebungkus kain putih berisi rambut si Karman, jarum, peniti, kertas tulisan mantra, dan entah apa lagi itu, yang kutanam di pekarangan rumahnya. Saat itu sedang ada acara makan-makan di sana. Aku yang memaksa istrinya membuat acara selamatan sebagai acara syukuran. Karman pasti tak menyangka kalau aku sempat menanamkan bungkusan itu di sudut tiang rumah dinas yang ia tempati.
Ah, tidak! Tidak mungkin bungkusan itu ampuh. Aku yakin Karman memang sakit. Toh, seperti ceritanya, ia punya banyak penyakit. Dari darah tinggi sampai pernah cuci darah. Sudah tahu mau mati, tetap saja haus jabatan. Cih! Matilah ia dalam gelimang harta. Tunggu, bagaimana kalau ada polisi, bagaimana kalau tiba-tiba keluarganya menemukan bungkusan itu. Habislah aku!
Tidak! Mana bisa teluh dibawa ke meja hijau. Lagi pula, tak ada namaku di bungkusan itu. Mana mungkin polisi tahu siapa pelakunya. Ah, tidak, mana ada polisi percaya santet. Tenanglah, Man, kau takkan masuk penjara.
“Kenapa belum tidur, Bang?”
“Alamak!”
Aku terkejut saat istriku tiba-tiba saja keluar dari kamar. Rambut panjangnya–yang kusut–dibiarkan terurai. Hampir saja aku terlompat dari tempat aku duduk.
“Ah, kau Mur. Terkejut aku.”
“Hm, sudahlah, Bang. Mur tahu, Abang sedih sebab Pak Karman meninggal, kan? Dah lah tu, dah ajal. Tidurlah lagi, esok Abang tentu sibuk mengurus jenazah.”
Mur menepuk pundakku pelan. Tentu saja perhatiannya itu tak mampu meredakan kegelisahanku. Namun, tetap kuikuti kemauannya. Aku pun menyusul Mur ke tempat tidur, meski mataku tetap saja terbuka hingga azan dari mesjid terdengar.
***
Karman akan dimandikan. Aku tentu saja ikut, tak boleh ada yang tahu kalau aku bahkan sempat menyumpahi jenazah semasa hidupnya. Tidak, aku harus berlakon bak seorang sahabat yang loyal sampai akhir.
Ah, banyak sekali darahnya. Seolah darah itu tak henti mengalir dari tepi bibirnya. Bau anyir membuat kepalaku sakit, perutku yang memang sulit terisi sejak pagi pun rasa ingin meledak, lidahku bahkan sudah merasakan asam lambungku yang mulai memanjat naik. Ah, sial, bahkan sudah mati pun kau membuatku kesal, Karman.
“Apa kita segerakan memandikan jenazah? Tak elok menunggu lebih lama lagi,” ujar salah seorang petugas dari masjid terdekat.
Aku pun setuju, kusampaikan perihal itu pada istrinya. Mereka memang sedang menunggu kedatangan seorang lagi anak Karman yang tengah bekerja di luar kota. Mungkin ia sulit mendapatkan pesawat sejak semalam. Perihal virus yang mendunia ini memang membuat perjalanan antar kota jadi sulit.
Mau tak mau istri Karman pun setuju. Jenazah segera diangkat ke tempat pemandian. Ah, sial, bau busuk itu menguar dari tubuhnya saat aku ikut mengangkat jenazah Karman. Aku tak tahan lagi, aku muntah sesaat setelah meletakkan mayatnya ke bak mandi khusus jenazah. Cairan kuning terasa asam dan perih di tenggorokanku.
“Bapak sakit? Kalau sakit tak payah ikut, biar kami yang urus mandi jenazah,” ujar salah seorang menantu almarhum.
“Tidak, aku sehat. Biar aku ikut selesaikan ini.”
“Bertuah betul Ayah punya sahabat sebaik Bapak. Terima kasih, ya, Pak,” ujarnya lagi.
Ah, sialan mulutnya. Tak perlu memuji begitu. Kalau saja ia tahu aku yang membuat organ dalam si Karman pecah, mungkin melihatku pun ia enggan.
Akan tetapi, bagaimana aku menahan bau busuk ini. Bahkan masker yang kugunakan tak dapat menghalau bau itu. Makin tubuh Karman disirami air, makin bau itu menguar. Tidak, aku harus bertahan sebentar lagi. Segera kubantu menggosok tubuh jenazah.
Sial! Perutku bergejolak lagi, kali ini sudah sampai ke tenggorokan, perih rasanya. Lagi-lagi aku muntah di tepi tampat mandi. Kepalaku seakan berputar. Tidak pula sekali, muntah susulan membuatku sulit bertahan. Tubuhku yang lemas tak bisa kuajak berdiri.
Seseorang segera membawaku ke dalam rumah. Lalu menyodorkan padaku segelas teh hangat. Segera kuseruput teh manis hangat itu. Perlahan air hangat itu turun ke perutku, menyiram sisa asam lambung yang sempat menyesak keluar.
“Bapak sebaiknya istirahat di sini saja,” ujar salah seorang putri almarhum.
Mungkin ia pula yang membawakan aku teh tadi. Rasa pening di kepala sehabis muntah tadi membuatku tak sempat melihatnya.
“Bapak tu teman Ayah, pasti beliau ikut syok. Apalagi beliau yang saat itu melihat Ayah muntah darah.”
Aku dengar putrinya tadi berbicara tentangku entah pada siapa. Lihat, ternyata peranku cukup baik. Mereka percaya kalau aku memang ikut terpukul atas kematian Karman.
Jenazah Karman selesai dimandikan. Kini saatnya dikafani. Aku cukup melihat dari jauh. Lagi-lagi bau busuk itu masih menguar dari tubuhnya. Padahal sudah dimandikan. Ah, kau memang busuk Karman. Sebusuk itulah sifat tamakmu itu.
Tunggu, apa cuma aku yang mencium bau busuk itu? Kenapa mereka tidak terganggu dengan baunya. Padahal jelas sekali bau itu cukup membuat perutku kembali bergolak. Sebentar lagi aku pasti harus mencari tempat untuk muntah.
Kupandangi para petugas jenazah, tidak ada dari mereka yang memakai masker. Wajah mereka bahkan tidak menyeringai seperti orang yang sedang mencium bau busuk. Padahal baunya busuk sekali. Ah, aku tidak tahan, aku harus keluar dari tempat ini. Isi perutku harus segera dikeluarkan.
Sialan kau Karman. Kau benar-benar busuk! Sejak awal kau adalah bau busuk yang datang menghancurkan hidupku. Sampai sudah jadi mayat pun kau tetap busuk! Sial!