Seluruh orang di kampungku memang sudah tidak waras. Jauh-jauh aku pulang dari perantauan, malah dicaci maki dan dilempari perabotan dapur. Dikata aku gila lah, sinting lah, edan lah. Padahal aku sudah rela memesan tiket kereta dengan menghabiskan sisa-sisa uang di dompet lusuhku, memakai setelan terbaikku; kemeja putih rapi, celana hitam kedodoran, serta rambut klimis dibelah tengah. Sungguh, seharusnya Mamak bangga memiliki bujangan tampan sepertiku. Bukannya malah menatapku seolah-olah aku ini orang asing saat aku berdiri di depan pintu dan mengucapkan salam penuh kerinduan.
“Kamu bukan anakku!” Hardiknya.
Aku menghela napas. Sedikit memaklumi kalau-kalau Mamak masih marah perihal aku yang gagal jadi anggota dewan hingga semua harta yang kubawa habis di kota. Lagipula, aku sudah mencari pekerjaan lain meskipun memiliki sistem kontrak sehingga setelah kontrak itu berakhir, aku harus memperbaruinya lagi dan lagi agar tidak kelimpungan mencari pekerjaan di tanah orang.
“Pergi kamu! Dasar gila!”
Demi Tuhan, sudah berapa kali aku dibilang gila? Dari setiap langkahku dari stasiun menuju rumah sendiri, aku selalu jadi bahan gunjingan warga. Mereka akan berbisik-bisik ketika aku melewati pekarangan rumah mereka. Padahal dulu aku ini anak desa yang ramah, punya banyak teman, dan selalu aktif di kegiatan pemuda masjid.
“Ada apa, Mak? Kenapa teriak-teriak di depan pintu?” Kudengar suara perempuan sayup-sayup dari dalam rumah. Aku yakin dia adalah Siti, adik perempuanku yang paling cantik.
Ketika aku hendak masuk, Mamak mendorong tubuhku kasar dengan seluruh tenaganya. Tangan ringkihnya bergetar karena menahan tangis. Tak tahan dengan keributan, Siti keluar rumah dengan dasternya dan menatapku dengan mata membelalak seolah melihat setan.
“Bang Bani? Kenapa pulang, Bang? Kemarin Bapak sudah ngirim surat kalau Abang tidak usah pulang saja. Sekarang kenapa di sini?” Siti berseru sambil menghampiriku. Aku yang jatuh terduduk karena dorongan Mamak hanya tersenyum ringan, mengusap rambut sehitam tinta cina milik Siti.
“Aku ingin tinggal di sini saja,” jawabku.
“Tidak boleh. Sekarang ke rumah sakit saja ya, Bang. Siti panggil Bapak dulu di balai desa.”
“Kenapa ke rumah sakit? Aku tidak sakit. Aku baik-baik saja.”
“Abang sakit! Abang sudah tidak waras!”
Aku menatap Mamak dan Siti bergantian, meminta penjelasan. Tapi Mamak di ambang pintu hanya menangis sambil menutupi wajahnya seolah sedang menampik sebuah kenyataan. Sementara Siti dengan sikap tenangnya hanya tersenyum kepadaku.
Tiba-tiba seorang anak kecil muncul dari balik pagar rumahku yang nyaris semuanya tertutupi oleh tumbuhan menjalar. Dia berkepala botak dan tidak sadar kalau ingusnya menetes-netes. Bocah itu berteriak, “kata Bapak bawa Bang Bani ke balai desa sekarang!”
Tanpa aba-aba, Siti langsung menarik tanganku dan menyeretku ke balai desa. Dengan jarak yang hanya beberapa meter, aku terheran-heran kenapa harus lari dan buru-buru seperti ini. Setibanya di sana, lagi-lagi tatapan warga menusuk seperti menembus kepalaku. Ada apa sebenarnya? Aku ini seratus persen masih waras! Kalau sudah gila kenapa aku bisa pulang dari kota ke kampung dengan keadaan baik-baik saja bahkan sempat kepikiran membeli baju kurung untuk Mamak?
Bapak duduk di baris paling depan dan ketika melihatku, pria tua itu malah menamparku dengan kasar di depan semua warga desa. Aku buru-buru mengusap-usap pipiku yang terasa terbakar dan menatap Bapak dengan bengis. Aku cuma butuh sambutan hangat ketika pulang, bukan perlakuan tidak masuk akal seperti ini.
“Sialan!” Bentakku. “Aku pulang untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya! Kenapa kalian malah membombardirku dengan makian dan kekerasan? Aku masih waras, demi Tuhan! Aku ingin mengganti uang Bapak dan Mamak dengan bekerja keras di kampung, menikah dengan seorang gadis, lalu hidup normal! Aku sudah tidak ingat ingin jadi pejabat lagi!”
Semua orang tertawa. Hatiku semakin remuk rasanya. “Menikah katanya? Mana ada perawan yang mau kawin dengan orang gila macam dia?” Aku mendengar kalimat itu terlontar dari barisan pemuda dan sungguh disayangkan yang mengatakannya adalah Riyadi, orang yang sejak dulu selalu kuanggap teman. Kudengar dia sudah sukses dengan kebun salaknya yang sekarang sudah berhektar-hektar.
“Aku tidak gila!”
Semakin aku membantah, tawa mereka malah semakin keras. Sekelompok pemuda yang bahkan setengah dari mereka adalah teman sepermainanku sewaktu keci. Mereka kini malah memegangi tanganku, mengikatnya dengan tambang dan menyeretku untuk berjalan dan diarak keliling kampung. Ibu-ibu dan anak-anak kecil di tepian jalan menatapku bagaikan aku ini hiburan baru.
“Mak, lihat, orang gilanya marah!” Tunjuk seorang anak kecil ke arahku yang meronta karena diperlakukan sehina ini. Ketika melewati depan rumahku, kulihat Mamakku menangis di depan pagar sementara di sampingnya berjejer enam saudaraku yang lain termasuk Siti yang mencoba untuk tetap tersenyum kepadaku.
Semua orang di sini memang sudah terputus urat malunya. Mana ada warga yang memperlakukan seorang pemuda dari perantauan seperti orang sakit jiwa. Dasar edan mereka semua!
Kejadian aneh semakin hari semakin menjadi. Terbukti dengan diriku yang sekarang ditinggalkan sendiri di sebuah gudang kayu dengan kondisi kaki terpasung dan tangan yang masih diikat dengan tali tambang. Di depanku hanya ada makanan yang tadi pagi dimasak oleh Siti. Benar-benar seperti perlakuan pada orang gila.
“Bang?” Aku mendongak dan mendapati Siti membuka pintu hingga sinar matahari sedikit memasuki ruangan yang pencahayaannya hanya sedikit ini. “Kenapa belum dimakan? Sini Siti suapi,” ujarnya ketika melihat piringku masih utuh. Dia berjongkok dan menyodorkan makanan itu ke arahku.
Aku hanya menggeleng. Bagaimana bisa aku nafsu makan kalau mereka tidak mau menjelaskan apa yang menjadikanku diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar merasa masih waras. Bukan hal yang sulit untuk berkomunikasi dengan Siti, makanya aku heran sekali kenapa mereka setega ini kepadaku.
“Abang masih marah, ya? Dengarkan Siti, Bang. Bapak itu tidak punya biaya buat bawa Abang ke rumah sakit jiwa, makanya Abang ditaruh di sini. Sebenarnya Siti juga tidak setuju kalau Abang di sini terus karena tidak ada yang mengurusi Abang kalau bukan Siti sendiri,” katanya.
Melihat wajahnya yang ayu aku menjatuhkan air mataku. Dia adalah adikku satu-satunya yang mengerti keadaanku sekarang, meskipun dia sama seperti orang lain yang menganggapku gila, tapi dia tidak mencerca dan memarahiku. Dia hanya akan tersenyum dan mengusap kepalaku. Setelah itu aku akan merasa sangat tenang dan damai, menyadari bahwa masih ada keluargaku yang menginginkan kehadiranku di sini.
“Aku bisa mengurus diriku sendiri,” celetukku. Siti tertawa. Dia kembali menyodorkan sendok dan aku dengan berat hari memakannya. Mengunyahnya sambil mendengarkan celotehnya. Dia bercerita tentang kehidupan keluarga kami selama aku tidak ada, rasa kecewa Bapak dan Mamak yang tahu bahwa aku membawa lari uang mereka, hingga masalah-masalahnya sendiri seperti dirinya yang putus sekolah demi menyekolahkan adik-adikku yang lain dan pemuda desa sebelah yang kerap mengiriminya surat cinta.
“Abang harus sembuh pokoknya. Ada Mbak Sumirah yang nungguin lamaran Abang. Kalau Abang seperti ini terus, keburu dia dibawa lari lelaki lain.”
Untuk kalimat yang satu itu, aku langsung menegakkan tubuhku dan Siti terkejut dengan responku yang kelewat cepat. “Su-sumirah?” Tanyaku terbata-bata.
Siti mengangguk dan tersenyum lugu. “Mbak Sumirah yang dulu tiap berangkat sekolah lewat sini dan Abang langsung suka sama dia. Tidak ingat?”
Aku menangis lagi. Siapa yang tidak ingat pada kembang desa yang cuma melihatku di antara ratusan pemuda desa yang menginginkannya. Aku hanya ingat sebelum pergi merantau, dia hanya ingin aku pulang dengan sehat dan dia akan menungguku selama apa pun aku mencari pundi-pundi uang untuk masa depan.
Tanpa sadar aku berteriak kencang dan setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi. Intinya, aku mendengar teriakan Siti yang ketakutan melihatku dan Mamak yang tergopoh-gopoh lari dari arah rumah. “Mak! Bang Bani mengamuk, Mak!” Suara teriakan Siti menggema di telingaku.
Gudang kayu yang menjadi tempat mereka memasungku adalah bangunan di pinggir jalan yang bisa dilihat siapa saja termasuk orang yang lewat. Akhir-akhir ini ada banyak anak kecil yang pulang sekolah melongok ke dalam gudang ini sambil melemparkan ejekan-ejekan kepadaku. Terkadang aku marah, tapi lebih sering kuabaikan saja mereka karena masih anak-anak.
Ketika Siti sedang berbaik hati melepaskan kakiku yang terpasung, aku akan berjalan-jalan keliling kampung untuk menemukan apa yang selama ini kucari dan menjadi pertanyaan besar di hidupku. Kenapa aku diperlakukan seperti orang gila? Kenapa ketika aku hendak bertanya pada penjual sayur keliling atau ibu-ibu yang kebetulan berbincang seru di depan rumah, mereka malah menghindar dan melempariku dengan batu?
“Dengar-dengar, yang merawat Bani itu adiknya, ya? Si Siti itu, gadis paling baik di keluarganya Parman. Kalau besok anakku pulang dari kota, dia pasti akan merengek-rengek minta buat melamar Siti,” celetuk salah satu ibu-ibu.
Aku yang bingung hendak pergi ke mana hanya duduk bersila di pelataran sambil mendengarkan mereka berbicara meskipun beberapa kali mereka mencoba mengusirku karena risih.
“Iya. Tidak tahu terbuat dari apa hati Si Siti itu. Baik benar dia mau mengurusi abangnya yang buang air saja berceceran. Makan disuapi. Kalau disuruh mandi teriak-teriak macam orang kesurupan. Sudah seperti mengurusi bayi.” Mereka semua tertawa untuk ketidakwarasanku dan iba untuk nasib Siti yang menjadi pengurusku karena orangtuaku tidak punya biaya untuk membayar rumah sakit jiwa.
Sok tahu. Aku tidak bisa buang air dengan benar karena tubuhku sering sakit-sakitan sekarang. Aku tidur dan menghabiskan siang serta malam di gudang kayu tanpa beralaskan apa pun, wajar saja kalau aku sering tidak enak badan.
“Heh, kamu! Kalau memang ingin jadi anggota dewan mending kamu nggak usah pulang saja dari kota, malah sampai bawa kabur duit orang tua. Dasar anak tidak tahu diuntung!” Seorang ibu-ibu melemparkan sandalnya ke arahku.
Aku hanya berusaha menghindar dan merengut marah. Sofyan, temanku dari Jakarta, waktu itu menjanjikanku untuk menang dengan membagikan amplop berisi uang untuk calon pemilih. Bahkan aku sudah berkunjung ke tempat-tempat mistis tertentu untuk mendapat bantuan agar aku bisa menang di putaran pertama. Namun, sepertinya takdir berkata lain. Kemudian aku memutuskan untuk pulang dan bersujud di depan kedua orangtuaku untuk mendapatkan maaf.
Tunggu. Ketidakwarasanku ini bukan karena tumbal untuk makhluk-makhluk tak kasat mata yang dulu kumintai tolong itu, kan? Ah, tentu saja tidak mungkin. Kalau aku menang, mungkin bisa jadi. Nyatanya aku kalah telak. Mana bisa jadi tumbal. Yang jelas, aku tidak akan gila semudah ini! Hahaha!
Aku tertawa puas.
“Bani, jangan ngamuk di sini, sialan! Pergi kamu! Pergi!”
“Segenap kewarasanku bilang kalau semua orang di kampung ini sudah sinting,” ujarku ketika Siti tengah menjalani rutinitas menyuapiku karena aku mogok makan lagi. Kulihat bahunya naik turun karena menahan tawa.
“Memangnya Abang waras?” Tanyanya.
Beberapa anak kecil yang baru pulang sekolah lagi-lagi melongok ke dalam gudang kayu yang kutempati. Mereka mengintip dari celah kecil yang membuat sinar matahari masuk dari sana.
“Jangan diganggu, Dik. Dia lagi makan,” kata Siti dengan lembut. Anak-anak berseragam sekolah itu mengangguk dan hanya menatapku dari luar gudang seolah-olah aku ini binatang yang dipamerkan di kebun binatang. Sial.
“Dia sakit, Mbak?” Tanya salah satu dari mereka. Aku sedikit lega mereka tidak mengatakan kosakata ‘gila’ untuk menanyakan kondisiku. Muak sangat aku dengan semua itu.
Siti mengangguk. “Besok juga akan sembuh. Sekarang pulang saja, Dik. Mamak kalian sudah memasakkan makan siang barangkali.” Anak-anak itu langsung menjauh dari celah gudang dan berlarian menuju rumah masing-masing. Aku menatap Siti seolah berterima kasih dan dia hanya tersenyum.
Ah, senyum yang ingin kujaga sampai mati.
“Pak! Bang Bani masuk sumur, Pak!” Adik laki-lakiku, Dayat, terengah-engah setelah berlari karena melihat percobaan bunuh diriku dan mengadukannya pada Bapak yang masih mencangkul di sawah. Bapak menghentikan pekerjaannya dan sontak ikut berlari ke arah sumur yang dimaksud.
Semua warga berkumpul di sekitar sumur. Mereka berteriak-teriak ke arahku. Ada yang menyuruhku masuk ke dalam sana supaya cepat mati, ada juga yang khawatir, berkata tidak usah dan jangan gegabah. Peduli setan. Mendengar kabar bahwa Sumirah sudah dipersunting lelaki kaya dari kampung sebelah membuat seluruh jiwaku terbakar. Tidak ada harapan lagi untukku.
Ketika Bapak datang, aku tersentak dan nyaris saja jatuh ke sumur. Beliau memandangku dengan tatapan yang gelap dan tidak tergambarkan. “Kalau memang kamu merasa bunuh diri bisa menebus semua dosamu, lompat saja ke dalam sana. Siapa tahu dapat surga,” ujar Bapak. Semua warga terdiam.
Bahkan tetua kampung yang kini memandangku dengan cemas hanya bisa ikut terdiam mendengar pernyataan Bapak barusan. Aku masih dalam keadaan tidak percaya dan menyangkal fakta bahwa gadis yang kucintai tega meninggalkanku yang terpuruk dan merasa sakit seperti ini sendirian.
“Bang! Jangan! Mbak Sumirah pasti akan tambah kecewa kalau tahu Abang malah seperti ini setelah ditinggal dia menikah!” Siti dari arah kerumunan ibu-ibu mencoba menyelinap dan menghampiriku. Dia memeluk punggungku dari belakang dan menangis tersedu-sedu. Bahkan Mamak sekalipun tidak pernah memohon sampai seperti ini kepadaku.
Aku ingat bahwa masih ada Siti yang selalu mengurusku meski aku dalam keadaan yang paling rendah sekalipun. Dia yang selalu ada ketika aku mengalami kebingungan yang luar biasa bahkan ketika tidak seorang pun mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dia sudi menceritakannya padaku meski kesulitan.
Aku turun dari tepian sumur dan berbalik, menatap Siti dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sungguh, kenapa malaikat tanpa sayap ini bisa tersesat di antara ratusan iblis jahanam di kampung ini? Tega sekali Tuhan memberinya ujian bahkan dengan datangnya manusia biasa dari rantauan yang mereka cibir sebagai orang gila.
“Siti,” panggilku parau. Dia mendongak untuk menatapku dengan wajah bersimbah air mata. Sialan, aku sudah membuatnya menangis seperti ini. “Abang cinta sama kamu.”
Dengan kalimat itu, di hari Kamis Wage di mana Sumirah dipersunting lelaki lain, aku dengan segenap kewarasanku kembali mendekam di balik gudang kayu. Tanpa beralaskan tikar serta dengan semua anggota badan terpasung. Sejak saat itu Siti tidak pernah lagi datang ke gudang untuk mengurusku. Aku akan mati membusuk di sini tanpa diberi makan. Terima kasih semesta.
Aku menggeram rendah ketika suara musik dari kendang yang ditabuh mengalun dan terdengar hingga telingaku. Sempat kudengar dari pembicaraan orang yang lewat di depan gudang kayu ini bahwa ada seorang lelaki yang telah mempersunting Siti. Sitiku yang berharga dan tidak ada duanya.
Jelas saja aku marah. Setelah dia menyelamatkan hidupku berkali-kali, sekarang dia akan menyerahkan seluruh kebahagiaannya pada lelaki yang bahkan tidak tahu apa saja yang dilalui Siti dari masa kanak-kanak hingga sekarang. Lelaki itu bahkan tidak tahu secuil pun rahasia Siti.
Aku mengamuk. Kucoba melepaskan tali tambang yang mengikat erat pergelangan tanganku. Orang yang mengikatnya memang sinting, mana ada orang waras yang mengikat sekencang ini di daerah yang dekat dengan posisi nadi. Kayu berlubang yang menjadi tempat kakiku dipasung memang tidak bisa dilepaskan, tapi kalau aku memberontak dengan melepaskan ikatan tambang di tanganku, mungkin aku bisa mencobanya.
Beberapa pemuda yang berjaga-jaga di depan gudang kayu menatapku panik. Mereka mendobrak pintu gudang dan mencoba menenangkanku, tapi aku masih berontak. Kucoba semua upaya yang kubisa dan kugigit setiap anggota tubuh mereka yang mencoba mendekatiku.
Aku harus menyelamatkan Siti dari pelaminan terkutuk itu. Dengan beringas aku meronta dan mencoba memukul-mukul kayu di kakiku sekuat tenaga. Tambang yang semula mengikat erat pergelangan tanganku terlepas sudah. Aku mencoba lari dari gudang sebelum pemuda-pemuda tolol itu sempat sadarkan diri karena sebelumnya kuhempaskan mereka ke tanah dengan brutal.
Ketika sampai di dapur tempat di mana semua olahan pernikahan diracik, aku mencari pisau yang paling tajam dan aku keluar mengendap-endap setelah menukar pakaian lusuhku dengan pemuda yang terkapar tadi. Aku membelalakkan mata ketika melihat Siti tengah menyalami para tamu dengan wajah berseri-seri bersama seorang pemuda yang sangat kubenci karena mangataiku saat di balai desa.
Riyadi, si juragan salak itu memang cari mati di sini. Aku berjalan santai dan mengantre di belakang tamu lain yang hendak bersalaman. Ketika sudah mencapai giliranku, aku menyalami keduanya terlebih dahulu karena mereka tidak mengenaliku dengan pakaian bagus begini.
Saat kurasa sudah waktunya, kutusuk perut Riyadi dengan pisau tajam yang kubawa dari dapur. Siti menjerit kaget hingga seluruh hadirin menoleh ke arah mereka. Kutusuk berkali-kali perut, dada, serta kedua tangannya hingga bau anyir menyeruak di acara pernikahan ini.
Semua orang terkejut dan hendak menangkapku, tetapi aku sudah lebih dulu mengambil ancang-ancang dan kutebas siapa saja yang mencoba menghalangiku. Aku melirik ke arah Siti sejenak dan tersenyum. Aku akan hidup bahagia bersamanya setelah acara sialan ini selesai. Matilah semua orang gila!
Hari ini, langit menjadi berwarna merah saga karena segenap kewarasanku.
***