Balai-Balai Depan Rumah

Dita Radiatis

4 min read

“As, Emak kapan hari mimpi.”

Hari masih pagi ketika Emak berbisik sambil mencolek bahuku. Wajah rentanya yang dihias oleh keriput juga gurat-gurat lelah selama puluhan tahun, menatapku serius.

Aku yang sibuk memasukkan daun pandan iris, bunga kertas, dan melati ke daun pisang sebelum memincuknya, hanya bisa mengangkat alis sekilas. Aku paham betul ke mana arah pembicaraan Emak kalau sudah menyangkut mimpi.

“Di depan rumah kita, ada balai-balai. Besar. Sudah tua dengan satu kaki patah. Emak lalu dengar bisikan, bahwa balai-balai itu milik salah satu Mbah buyutmu yang sakti.”

Emak masih tetap menggebu sambil tangannya menerima pincukan daun dariku dan menguncinya dengan irisan lidi. “Di samping balai-balai itu, ada pohon pisang.”

“Terus memangnya kenapa, Mak?”

“Coba nanti kamu tanyakan ke Man Sas. Dia pasti paham maksud mimpi Emak. Karena jujur saja, As. Mimpi ini sudah tiga kali Emak alami. Biasanya bukan mimpi sembarangan.”

“Mak,” aku terpaksa menghentikan kegiatan. “Ndak boleh kita terlalu percaya hal begitu. Mimpi itu ndak selamanya harus dianggap serius.”

“Ini pasti petunjuk, As. Biar keluarga kita ndak hidup melarat terus.”

Lah, apalagi yang emak katakan sekarang? Apa urusannya balai-balai dengan melarat?

“Sudah, Mak. Ayo kita selesaikan bungkus ini. Nanti keburu Man Pri datang jemput Emak.”

Ini adalah kegiatanku setiap menjelang malam jumat legi, membantu emak menyiapkan jualannya berupa kembang kirim untuk dibawa ke pasar. Orang-orang daerah kami masih begitu menjunjung adat nyekar setiap hari Jumat, apalagi kalau sudah Jumat legi. Yah, aku tahu tujuan mereka membeli bunga tak hanya untuk mengirim pada keluarga yang sudah meninggal saja. Tapi juga untuk hal-hal yang berbau mistis begitu. Sama mistisnya dengan pikiran Emak perihal mimpi.

Mungkin untuk sebagian orang, mimpi dianggap sebagai bunga tidur semata. Penghias alam bawah sadar. Namun, beda dengan Emak. Beliau selalu meyakini bahwa setiap mimpi yang datang adalah suatu pertanda. Kalau baik, sih, tidak apa-apa. Seringnya yang selalu datang itu adalah pertanda buruk.

Pernah suatu kali beliau bermimpi potong rambut. Selama beberapa hari, wajah emak terlihat murung. Khawatir, siapa di antara keluarganya yang akan tertimpa musibah. Ternyata beliau mendapat kabar kalau Paman Ali -adik Emak- jatuh ketika ngunduh kelapa.

Begitupun beliau pernah bermimpi kalau aku sedang hamil.

“Akan ada rezeki buatmu, As,” ujar emak semringah.

Aku hanya melongo tak habis pikir. Aku percaya rezeki datang dari Tuhan, bukannya dari mimpi. Maka selama beberapa hari itu pun, Emak seperti menunggu sesuatu. Tapi hingga kemarin tak ada apa pun terjadi. Aku tetap menjadi guru dengan gaji tak lebih dari tiga ratus ribu per bulan. Walau meleset, Emak tak patah arang. Beliau semakin waspada pada mimpinya.

“Mungkin ada sesuatu yang terlewat sehingga perkiraan Emak tak tepat,” begitu katanya.

Seperti yang baru saja beliau bahas, bermimpi muncul sesuatu di rumah warisan kami. Lagipula, mana mungkin rumah tua peninggalan Bapak yang sudah tak ditempati selama belasan tahun itu akan ada sesuatu di dalamnya? Kalau demit sih, mungkin ada.

“Emak tahu kamu ndak akan percaya. Biar Emak buktikan sendiri nanti kalau mimpi Emak benar.”

***

Rumah Bapak yang Emak maksudkan itu berada tepat di belakang bangunan rumah yang kami tinggali sekarang. Kalau siang, akan tampak seperti rumah tua biasa. Tapi kalau sudah malam, tak ada yang berani lewat. Walaupun di samping rumah itu adalah satu-satunya jalan menuju sungai untuk para tetangga buang hajat dan mandi.

Aku menggeleng bila ingat perkataan Emak kemarin mengenai mimpinya itu. Memang kenapa dengan balai-balai? Terus apa katanya lagi? Pohon pisang? Ya, anggap saja kedua benda itu lambang kalau nanti rumah itu akan kembali kutempati bila sudah berkeluarga.

Aku masih sibuk menyirami setiap pot bunga dengan siwur di halaman belakang, ketika tak berapa lama, sayup-sayup kudengar suara dari halaman depan. Aku tajamkan pendengaran, seperti ada yang memanggil namaku.

Benar saja. Emakku yang baru pulang dari pasar dan membawa keranjang andalannya terlihat bersemangat. Tak tampak wajahnya yang biasa bertekuk karena kelelahan jualan. Rona bahagia terukir jelas. Kalau sudah begini, berarti dagangannya habis.

“As, di sini kamu rupanya!” Emak meletakkan keranjang di lantai dapur.

Aku terus melakukan kegiatanku. “Ada apa, Mak?”

“Eh, tadi Emak ketemu dengan Man Sas. Dia lagi anterin istrinya ke pasar dan Emak langsung tanya-tanya mengenai mimpi itu.”

Masih sempatnya beliau menceritakan mimpinya di pasar. Sudah berapa kali pula kusampaikan, untuk terus menyimpan apa yang masuk ke mimpinya rapat-rapat. Pamali kalau sampai orang lain tahu. Apalagi mengenai pertanda-pertanda begitu. Emak ini ya, benar-benar ngeyel.

“Man Sas bilang, kalau balai-balai dengan satu kaki patah itu dulunya memang milik mbah buyutmu yang sakti. Sementara pohon pisang itu pertanda kalau harta benda yang dulu dikubur di dalam rumah, akan muncul. Terus dia bilang lagi, harta itu harus ditemukan segera, kalau ndak, akan hilang selamanya. Harta itu bisa dijual dan uangnya tidak sedikit, As. Emak bisa umroh dengan itu dan kamu pun bisa renovasi rumah Bapak,” kata Emak sembari menunjuk ke arah teras rumah belakang.

Makin ngawur. Aku tak mengerti dia dapat teori dari mana. Mengubur harta benda? Diambil dengan cara gaib? Terus dijual? Tak mungkin ada orang yang mau membeli barang tak kasat mata begitu, apalagi dengan harga tinggi. Ngaco.

“Nanti malam, Man Sas akan ke sini. Bakar dupa dan nabur kantil di sana. Minta izin ke penunggu rumah itu. Emak sudah nyiapin. Titip di kulkas dulu, ya. Jangan kamu apa-apakan.”

Aku tak bisa berkomentar. Semua info itu kutelaah secara cepat dan aku hanya menggeleng menyikapi antusiasme Emak.

***

Ayam kampung dua ekor, bunga tujuh rupa, nasi gulung tujuh bungkus, telur ayam kampung tujuh butir, dan juga dupa, sudah siap ditata di atas nampan besar beralas daun mengkudu di meja dapur sore itu ketika aku baru pulang mengajar.

Kulihat Emak yang baru muncul dari halaman belakang menuju dapur, tersenyum senang.

“Ini buat persembahan nanti malam. Man Sas akan mengajak temannya yang sakti itu untuk mengambil harta benda yang terkubur di rumah belakang.”

Aku sudah tak tahan lagi. “Mak, istighfar!”

Bukannya mendengarkan kalimatku, emak yang selalu ngeyel, sibuk dengan argumennya sendiri.

“Ini namanya usaha, As. Jalan mencari rezeki Emak sudah diatur seperti ini. Lagipula itu juga bukan harta orang lain, tapi harta milik Almarhum kakekmu yang diserahkan pada Almarhum ayahmu. Tentu saja itu hakmu juga. Emak hanya memperjuangkan semua hak kita.”

“Terserah. Aku ndak mau ikut campur. Bila terjadi apa-apa, aku ndak mau tahu.”

Dan benar saja, tepat saat aku akan mengambil wudhu untuk salat malam, indra pembauku langsung menghirup wangi dupa yang begitu menyengat. Suara langkah kaki juga kudengar menginjak ranting-ranting dan daun kering di halaman belakang. Ritualnya sudah dimulai betulan. Rapalan entah apa itu, terdengar seperti orang berkumur.

Aku menyelesaikan wudhu dan bersiap kembali ke kamarku. Namun, aku menghentikan langkah saat melewati kamar Emak yang pintunya sedikit terbuka. Aku melongo ke dalam dan kulihat sosok rentanya sedang mengigau. Seperti mengatakan sesuatu dalam mimpinya, tapi tak bicara apa.

***

Setiap pagi biasanya Emak akan sibuk memasak. Menyiapkan sarapan sebelum aku berangkat mengajar, sambil bercerita tentang mimpi atau harapan-harapannya yang setinggi langit itu. Tapi pagi itu, sepulangku dari surau selepas mengaji subuh, tak kutemukan sosoknya. Bahkan, kamarnya pun masih berantakan dan jendela rumah juga tidak dibuka.

Aku lihat pintu yang menghubungkan dapur dan halaman rumah belakang memang tertutup, tapi tidak dikunci. Mungkin sedang ke sungai untuk menjalankan rutinitas pagi, pikirku sambil membuka lebar pintu itu.

Namun, apa yang kutemukan justru membuat mataku membelalak.

***

Balai-balai depan rumah dan pohon pisang. Kini kulihat kedua benda itu teronggok betulan. Balai-balainya, masih basah. Baru selesai digunakan untuk memandikan jenazah Emak. Pohon pisangnya pun sudah dipotong menjadi beberapa bagian karena batangnya dibawa ke makam, dan kini hanya tersisa daun juga pelepahnya.

Para tetangga berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa padaku. Temasuk Man Sas yang datang bersama istrinya.

“Ritual kemarin malam tidak berhasil. Penghuni gaib rumah itu tidak mau mengeluarkan harta yang terpendam karena keturunannya tidak mengizinkan. Jadi mereka mengamuk.” Suara Man Sas tercekat saat menjelaskan itu padaku. “Man ndak mengira kalau mereka marah pada emakmu sampai seperti ini.”

Itu penyebab Emak meninggal menurut Man Sas. Setan ngamuk. Namun, menurut Pak Mantri yang datang dan sempat memastikan keadaan Emak, beliau terpeleset dan kepalanya terbentur keras. Pendarahan dalam yang hebat terjadi, menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak.

Aku tidak tahu, harus kecewa pada siapa, mengamuk pada siapa, dan marah pada siapa. Setelah semua orang pulang, aku berdiri di ambang pintu menatap rumah tua itu, mempertanyakan kembali batas nalarku sendiri.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Dita Radiatis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email